Nilai Moderasi di Tengah Pusaran Tahun Politik

Oleh :
Ali Mursyid Azisi
Pengurus Asosiasi Penulis-Peneliti Islam Nusantara, Peneliti Centre for Research and Islamic Studies (CRIS) Foundation, Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Ampel, Surabaya

Menjelang tahun politik, selalu ada saja kejutan yang membuat publik tercengang. Mulai dari munculnya fenomena kawan menjadi lawan, koalisi menjadi opisisi, hingga ujaran kebencian yang niscaya membanjiri media sosial sebagai reaksi. Tentu tidak lain karena banyaknya sudut pandang dalam memahami politik, hingga pembacaan terhadap prinsip demokrasi yang beragam. Hal demikianlah yang tengah membaluti perbincangan di berbagai ruang, mulai dari warkop, ruang kuliah, hingga ruang digital sebagai tempat bola opini liar dilayangkan.
Terlebih ketika merespon beberapa calon pemimpin bangsa baru-baru ini, begitu banyak pro-kontra di dalamnya. Mulai dari sindiran pedas, hingga caci maki atas kejutan keputusan merupakan hal kontriversial yang terekam dalam sejarah perpolitikan Indonesia. Jika ditinjau dari aspek politik praktis, semacam ini merupakan hal yang lumrah, tidak mengenal siapa lawan dan kawan untuk suatu kepentingan. Pada prinsipnya, di dunia politik merupakan hal yang niscaya tikungan tajam selalu menghantui perjalanan menuju pagelaran akbar pemilu.

Lebih lanjut jika dipotret dari kacamata moralitas, tentu saling gigit kawan-lawan dan meninggalkan rekam jejak negatif merupakan hal yang jauh dari kata beradab. Seperti yang tertuang dalam redaksi Pancasila “Kemanusiaan yang adil dan Beradab”, penghianatan, perseteruan, pertengkaran, bahkan permusuhan bukanlah representasi dari kemajuan bangsa yang beradab. Bahkan demikian jauh dari nilai-nilai Pancasila sebagai ideologi bangsa (Moh. Mahfud MD, Politik Hukum d Indonesia, 2017).

Nilai Moderasi Menjelang Pemilu
Track record bangsa Indonesia telah memberikan banyak pelajaran bagi semua warganya, bahwa munculnya kubu “cebong” dan “kampret” adalah representasi kemerosotan moral yang nyata. Segala cara dihalalkan untuk saling menggulingkan lawan atau bahkan menaikkan elektabilitas jagoan pilihan. Tentu semacam ini mulai terasa saat ini, Begitu pula ketidakharmonisan di tengah pusaran sosial atas perbedaan ideologi politik, kini mulai gonjang-ganjing menghiasi realitas sosial. Mulai dari konflik di internal oerganisasi tertentu, hinga berbeda warna parpol menjadi sorotan di jagad maya.

Komentar netizen hingga saling sindir melalui twet/postingan instagram politisi maupun pengamat politik membanjiri kanal sosmed dalam merespon berbagai hal mengajutkan menjelang pemilu. Tidak jarang pula komentar masyarakat digital terlalu offside atau kelewat batas, dalam artian sudah tidak terkontrol. Semacam ini dapat berpotensi besar menyeret pada keterpecahbelahan dan kebencian terhadap sesama anak bangsa.

Untuk menghindari hal demikian, begitu penting untuk memahami prinsip beragama dan berbangsa sesuai dengan nilai-nilai agama secara universal. Moderasi beragama (Al-Wasathiyah) adalah salah satu term yang seksi dalam kajian akademik beberapa waktu terakhir. Diharapkan kajian ini tidak hanya menghiasi di ruang akademik saja, akan tetapi menyentuh di berbagai lapisan masyarakat dan berbagai situasi, termasuk detik-detik menuju panggung politik.

Hal ini bukan berarti mencampuradukkan antara agama dan politik, akan tetapi setidaknya nilai-nilai bijak agama dijadikan sebagai landasan dalam menjalankan segala aktivitas kehidupan. Setidaknya terdapat sembilan komponen nilai universalitas agama yang terkandung dala prinsip moderasi beragama: 1. Rahamutiyah (kasih sayang Tuhan); artinya, kedepankan prinsip kasih sayang antar sesama sebagai wujud dari representasi sifat-sifat Tuhan yang maha pengasih dan penyayang, 2. Insaniyah (kemanusiaan), nilai inilah yang dikedepankan oleh sosok Gus Dur sebagai pejuang kemanusiaan, artinya mampu memanusiakan manusia di berbagai kondisi, 3. Mubadalah (kesalingan/kesetaraan), istilah ini di ruang akademik dipersempit hanya pada hubungan suami dan istri dalam rumah tangga, namun jika ditarik lebih bsar dalam landscape negara prinsip kesalingan juga merupakan bagian fundamental, saling menjaga, saling bergandengan dan saling menjaga persaudaraan sesama anak bangsa(Ukhuwwah Wathaniyyah) (Faqihuddin Abdul Kodir, Qira’ah Mubadalah, 2019, 61).

Maslahah (kemaslahatan), dalam memasuki tahun politik hal penting yang perlu diilementasikan adalah memastikan timbulnya kemaslahatan terhadap berbagai kalangan, tidak berpihak pada golongan tertentu, tentu demikian adalah cita-cita yang diidamkan seluruh elemen masyarakat 5. Mu’ahadah Wathaniyyah (menjaga ikatan kebangsaan), timbulnya keterpecahbelahan karena tidak adanya kesadaran untuk menjaga ikatan kebangsaan, bahwa prinsip nasionalisme diterobos untuk kepentingan politik praktis, 6. Dusturiyyah (mentaati aturan/kesepakatan yang sudah disepakati), aturan yang dimaksud adalah Undang-Undang 1945 sebagai kitab negara. Sebagai pedoman bernegara dan disepakati, tentu aturan, hak, dan kewajiban harus dijalankan sesuai dengan ketentuan yang ada.

Tasamuhiyah (toleransi), event lima tahunan layaknya pemilu menanamkan sikap toleran atas dasar beda pilihan perlu untuk ditanamkan, terlebih di lingkup sosial terkecil seperti keluarga yang acap kali terdapat gesekan. 8. ‘Urfiyah (menghargai lokalitas/tradisi), tradisi merupakan hal yang fundamental untuk dipertahankan sebagai identitas kenegaraan, tentu tradisi tidak hanya terbatas pada keagamaan, akan tetapi tradisi apapun yang memiliki nilai kebaikan di berbagai ruang kehidupan, termasuk politik, dan 9. ‘Adliyyah (adil), sikap adil merupakan representasi dari ajaran agama dan bangsa (Tim Ditjen Bimas Islam, Moderasi Beragama Perspektif Bimas Islam, 2022, 94-118). Dalam agama, adil merupakan kewajiban, dan dalam ideologi bangsa menjadi pegangan. Sembilan nilai moderasi di atas saat ini perlu dan penting dipahami semua golongan supaya tidak mudah dipecahbelah dan menahan diri untuk tidak arogan dan fanatik buta di tahun politik.

Sembilan nilai moderasi tersebut jika dipahami dan diimplementasikan setidaknya akan berdampak pada sikap masyarakat yang lebih bijak dalam bertindak. Tidak hanya berlaku kepada masyarakat sipil saja, akan tetapi juga berlaku kepada politisi, pengamat politik, pejabat publik, bahkan calon pemimpin bangsa sekalipun. Hendaknya masyarakat bijak untuk memilih calon pemimpin Indonesia 2024 mendatang. Kemajuan dan keadaban bangsa tercermin dari karakter pemimpinnya. Dan masyarakat yang bijak suatu bangsa, hendaknya memilih pemimpin yang mampu membawa nilai-nilai moderasi di atas untuk Indonesia yang berkemajuan dan beradab.

———— *** ————

Tags: