“ODOL” Merusak jalan

Kondisi jalan rusak menjadi topik pembicaraan transportasi dan logistik. Truk ODOL (Over Dimension Over Load), disebut menjadi penyebab kerusakan jalan. Tetapi seluruh angkutan “ODOL” bebas melintas di berbagai jalan. Termasuk jalan kabupaten. Kerugian bukan sekadar terhambatnya waktu lintas logistik. Melainkan juga korban jiwa, dan raga, akibat kecelakaan lalulintas pada jalan yang rusak. Pemerintah perlu mengurangi angkutan “ODOL” dengan membuka kembali jembatan timbang.

Tidak ada lagi jembatan timbang (JT) di seluruh Indonesia. Mulai awal Pebruari (2017), Kementerian Perhubungan mengambil alih-kelola jembatan timbang di seluruh Indonesia. Kini seluruh JT telah ditutup, berhenti beroperasi. Konon penutupan JT disebabkan menjadi “sarang” pungli. Tetapi pada beberapa propinsi (termasuk Jawa Timur) telah menjadi “area itegritas.” Operasional JT dilengkapi sarana ukur (dan timbang) computerized, dan CCTV.

Juga terdapat kewajiban, bahwa seluruh badan truk harus masuk timbangan. Selama ini terjadi “akal-akalan.” Misalnya, hanya memasukkan bagian depan truk (kabin kemudi), sedangkan bagian badan (yang lebih berat) tidak masuk dalam titik timbang. Sehingga tonage-nya terdeteksi ringan. Sebagai gantinya, pengemudi truk menyerahkan uang “mel” (suap) kepada petugas. Bagai pungli secara sistemik, dan ter-struktur. Maka wajib diberantas dengan cara sistemik pula. Tetapi tidak mudah mengawasi operasional JT.

Operasional JT, sebenarnya merupakan urusan penagakan hukum di jalan raya milik negara. Tujuannya, agar kendaraan besar tidak melebihi tonage, secara konstruksi karoseri maupun berat muatan. Namun belum seluruh JT melaksanakan prinsip transparansi. Kecuali beberapa daerah, antaralain Jawa Timur, seluruh JT telah menggunakan komputer yang ter-akses dengan timbang kendaraan.

Pungli di JT, mulai marak sejak 40 tahun lalu. Sampai rezim Pak Harto, juga gemas. Ingat dulu (dekade 1980-an), dilakukan pemberantasan pungli, dipimpin oleh Pangkopkamtib Laksamana Sudomo. Sasaran utamanya (yang dijadikan pen-citraan), adalah jembatan timbang! Dalam sehari, “omzet” pungli di JT bisa mencapai puluhan juta rupiah. Karena dalam satu lokasi JT, biasa dilintasi sekitar seribu kendaraan angkutan barang.

Berbagai kritisi JT semakin gencar disuarakan, sekaligus mencegah pungli. Maka mulai awal Pebruari (2017), Kementerian Perhubungan mengambil alih-kelola jembatan timbang di seluruh Indonesia. Persiapannya telah dilakukan sejak tahun 2016, termasuk status kepegawaian dan perhitungan aset. Alih-kelola JT merupakan realisasi amanat UU Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah. Bahwa JT pada area jalan negara merupakan wewenang pemerintah pusat.

Namun tak lama, seluruh JT ditutup. Saat ini seluruh JT bagai barang rongsokan. Padahal JT memiliki banyak manfaat, terutama mencegah angkutan ODOL, kelancaran lalulintas, dan mengurangi kecelakaan. Juga pendapatan dari hasil penegakan hukum (penimbangan). Misalnya, di Jawa Timur, hasil retribusi JT menyetor PAD (Pendapatan Asli Daerah) sebesar Rp 80 milyar per-tahun. Pemerintah pusat tidak mengenal istilah “retribusi.” Padahal hasil “retribusi” JT bisa digolongkan PNBP (Penghasilan Negara Bukan Pajak).

Penutupan JT berdampak tidak menguntungkan. Bahkan karena JT ditutup, banyak angkutan ODOL bebas melintas. Lalulintas tersendat dalam antrean panjang, karena jalan berlubang, dan bergelombang. Selain menyebabkan kecelakaan lalulintas, dengan korban harta, jiwa, dan raga. Juga diperlukan biaya lebih besar dari APBD (provinsi serta kabupaten dan kota) untuk pemeliharaan jalan.

Sudah sering dikeluhkan kerusakan jalan. Serta permintaan mengaktifkan JT khusus di jalan provinsi. Banyak jalan arteri yang dahulu milik kabupaten dan kota, kini naik status menjadi milik propinsi. Kemantapan jalan patut dijaga, termasuk pengawasan tonage dengan sistem jembatan timbang. Kelayakan jalan raya niscaya meningkatkan perekonomian.

——— 000 ———

Rate this article!
“ODOL” Merusak jalan,5 / 5 ( 1votes )
Tags: