Orang Tua, Anak, dan Doktrin yang Dipaksanakan

Rio F. RachmanOleh:
Rio F. Rachman
Alumnus S2 Media dan Komunikasi Universitas Airlangga

Di masyarakat Indonesia, ada ungkapan yang begitu populer. Bahkan, menjadi semacam doktrin yang dipaksakan. Berbunyi, “Didiklah anak sesuai zamannya”. Tulisan ini tidak akan membahas tentang darimana asal kalimat nasihat tersebut. Entah dari salah satu sahabat Nabi bernama Ali bin Abi Thalib, penyair Kahlil Gibran, atau pakar pendidikan Prof Arief Rahman. Perkara sumber, tidak bakal didiskusikan di sini.
Yang menjadi pokok perhatian adalah soal esensi dari kalimat tersebut. Makna yang diserap dari ungkapan itu mesti berefek positif: konstruktif. Khususnya, sebagai inspirasi atau panduan babon mendidik anak.
Jangan justru menjadikan gaya pendidikan orang tua permisif atau kompromis terhadap zaman. Sehingga, tidak perlu ada celetukan, “Ya, begitulah anak zaman sekarang,”. Kesan celetuk tadi adalah laku menyerah. Pertanda orang tua atau pendidik “mengalah” pada model perkembangan anak yang secara simultan dididik oleh lingkungan sesuai perkembangan zaman.
Semua ajaran agama, norma sosial, dan prananta hidup lainnya, secara garis besar, memiliki kerangka aturan tentang kewajiban orang tua mempersiapkan anaknya sebaik mungkin di masa datang. Misalnya, terdapat agama yang mengajarkan, bakti dan doa anak setelah orang tuanya wafat, akan ikut mengalir ke akhirat. Lantas, memberi pahala atau keuntungan berupa kelancaran hidup orang tua tersebut di alam baka.
Ada pula norma sosial yang menyebutkan, anak adalah “aset” berharga masa depan. Anakbisamemberikanketurunansehinggadapatmenjaganama baik keluarga. Bahkan, memelihara harta peninggalan yang sudah lestari secara turun-temurun.
Intinya, anak merupakan masa depan orang tua. Maka itu, orang tua wajib menggembleng anak dengan baik. Terlebih, persoalan ini tidak semata tentang masa depan hubungan vertikal orang tuadananak. Karena bukankah, anak selalu memiliki hubungan horizontal dengan teman-teman dan lingkungannya?
Apabila orang tua gagal membimbing, yang kocar-kacir bukan hanya masa depan dia dan sang anak. Melainkan, hubungan baik keluarga dengan lingkungan sekitar. Ada lingkup yang lebih luas dalam perkara yang tampak sempit (soal orang tua dan anak) tersebut.
Kesimpulannya, ungkapan “Didiklah anak sesuai zamannya” merujuk pada keharusan orang tuauntuk menyesuaikan diri pada zaman. Bukan malah “mengalah” pada perkembangan abad yang bergerak lekas dalam hitungan detik. Kemajuan teknologi, tidak boleh mematahkan keharusan orang tua untuk mendidik anak. Tidak ada pemakluman, di sini.
Jangan hanya karena ada gadget, perintah untuk meng hormati orang yang lebih tua, berkurang ketegasannya. Jangan hanya karena ada smart phone yang memungkinkan bocah keliling dunia bermodal jempol, kewajiban belajar agama tersingkir. Karena ungkapan tadi, bukan bendera putih pada masa yang semakin tuaini. Sebaliknya, itu adalah tuntutan kongkret bagi orang tua : agar tidak ketinggalan zaman.
Siapa yang kali pertama bertanggung jawab untuk mendidik anak? Orang tua: Ibu dan ayah. Di mana sekolah pertama anak? Rumahnya sendiri. Kemajuan teknologi tidak boleh menggempur pertahanan Ibu dan ayah. Perkembangan ilmu pengetahuan yang sudah memungkinkan bocah melihat kultur asing dari balik kamar tidurnya, tidak boleh mengakali Ibu dan ayah. Keluarga adalah benteng pertama, dan mungkin yang terakhir.Mungkin pula, sebenarnya hanya keluarga satu-satunya benteng bagi anak di duniaini.
Pada tangan orang tua, landasan moral, agama, dan sosial anak, mesti dibentuk dengan kokoh. Bila pondasinya asal-asalan, pertumbungan mental dan jiwa anak bakal serampangan. Sekolah dan lingkungan menjadi tidak dominan lagi dalam pembangunan sosok anak tersebut. Sebaliknya, faktor-faktor eksternal itu yang dominan mempengaruhi hidupnya.
Di media massa, jejaring sosial, dan kabar sekitar, sudah jamak didengar, kenakalan remaja dilakukan bersama teman sekolah: yang bersangkutan sedang pakai baju sekolah. Mungkin bisa diasumsikan, sekolah dan lingkungan sudah mengiringi tindakan kenakalan itu. Dari sisi ini, bila sejak di rumah karakter yang kuat sudah diolah sedemikian rupa, pastilah tidak bobol kala mesti “bertempur” di luar.
Memang, tidak pas jugabila hanya menyalahkan sekolah atau lingkungan tertentu.Tapi, kontekstulisan ini bukanlah menuduh pihak-pihak tertentu. Melainkan, untuk menegaskan bahwa orang tua dan rumah adalah kunci pendidikan karakter anak.
Makaitu, sejak awal perspektif orang tua mesti benar. Jangan menganggap zaman sebagai ancaman atau teman (yang sekali lagi, bisa diberi pemakluman). Namun, tetaplah menganggapnya sebagai tantangan dan keniscayaan. Seperti momen pergantian umur, bahkan kematian, yang sudah pasti menerjang siapa saja.
Kemajuan zaman bukan hal yang mesti ditakuti. Meski kadang, berparas mengerikan. Butuh keberanian untuk menapak langkah dalam dunia yang terasa makin “dilipat” dan dekat satu sama lain seperti saat ini. Sementara itu, keberanian saja, selalu tidak cukup. Orang tua, juga mesti mengikuti perkembangan yang ada. Ikut, bukan larut. Sehingga sanggup mendidik anak sesuai zamannya guna menyongsong masa depan.

                                                                                            ————- *** ————-

Tags: