Pantaskah Artis Berpolitik ?

Ade Marantika Al hafidsOleh :
Ade Marantika Al-Hafidz
Alumni Pondok Pesantren Darunnajah Bogor, Peraih Beasiswa Unggulan Monash Institute Semarang

Pilkada serentak memasuki tahapan paling krusial tahun ini, terhitung dimulai dari 9 Desember. Masyarakat yang memiliki hak konstitusional sebagai pemilih akan menentukan daerahnya lima tahun ke depan. Pemilih akan mencoblos siapa pasangan calon pemimpin yang dianggap mampu membawa kemajuan daerah melalui pemilu lokal. Inilah wajah pilkada serentak kali pertama dilangsungkan sepanjang pelaksanaan pemilu di Indonesia.
Dalam hal ini, tentunya akan terjadinya pesta demokrasi pemilihan kepala daerah (pilkada) di daerah-daerah pelosok indonesia. Dengan diadakannya agenda ini tentunya membuka “lahan baru” bagi sejumlah artis yang mencoba/mengajukan dan ikut berebut kursi ataupun menjadi orang nomor satu di daerah yang ingin ia kuasai.
Dalam kajiannya, Politik memang dipandang sebagai suatu instrument untuk memperoleh, mempertahankan kekuasan yang mempengaruhi banyak orang/publik. Setiap insan/individu berhak atas berpolitik, karena setiap orang mempunyai hak perorangan untuk mencalonkan diri dalam pembangunan masyarakat  dari segala aspek. Sebagaimana hal ini yang tercantum dalam UUD 1945 pada pasal 28 yang menyebutkan “kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”.
Karena itulah muncul Fenomena selebritis politik,Fenomena selebritis politik sebenarnya telah terjadi di setiap negara. Peran pekerja seni memberikan warna yang lain dalam perpolitikan. Panggung perpolitikan semakin ramai dan seolah-olah tak terbendung lagi. Misalnya, pada tahun pemilihan umum 2009 dari Partai Amanat Nasional merupakan partai terbanyak yang menjadi incaran para selebritis untuk membuka jalannya untuk berkecimpung di dunia politik. Contohnya, Eko Patrio dari dapil Jawa Timur, Derry Drajat dapil Jawa Barat, Ikang Fauzi dapil Banten serta banyak lain artis yang mencalonkan diri di daerah pemilihan lainnya.Fenomena perang bintang ini membuat bingung pemilihnya ini pilkada apa festival ? tentu saja menjadi hal yang menarik untuk disikapi.
Hal tersebut menunjukkan bahwa keikutsertaan selebritis dalam perpolitikan merupakan bentuk partisipasi politik dalam bentuk aktif karena para selebritis tersebut menduduki jabatan-jabatan tertentu dalam organisasi politik. Dari segi dukungan, selebritis mengeruk dukungan terbanyak karena popularitas yang mereka miliki serta untuk eksistensi  partai politik yang menanungi mereka. Seperti yang telah diketahui bersama dalam sosioalisasi politik terdapat faktor eksistensi politik salah satunya popularitas tokoh partai. Hal inilah yang teraplikasi dalam wajah perpolitikan di Indonesia.
Banyak kalangan menilai munculnya fenomena artis ini akibat dari kegagalan pengkaderan di partai politik. Sehingga tidak mampu menciptakan kader yang mumpuni siap jual dan marketablenya melebihi dari artis.Disamping itu juga akibat erosi tata nilai yang menggerus partai politik sehingga telah menyeret banyak kandidat muda menjadi layu sebelum berkembang di pelaminan partai.
Bagi kontestan pengusung artis manfaat positifnya adalah akan membuat daya dukung untuk mendulang suaranya secara langsung.Karena dengan figure yang lebih popular akan lebih mudah dekat dengan para pemilihnya dibanding kalau mengusung figure yang kurang bernilai jual tentu akan merasa lebih berat sosialisasinya.
keuntugan bagi Partai Politik,fenomena artis politik adalah setali tiga uang bagi partai politik akan merasakan keuntungan dengan mencari figure non partai akan menghemat biaya partai karena tidak susah susah lagi mengkadernya dari sejak lama.Namun ini sebenarnya justru merupakan tamparan yang hebat bagi partai politik karena gagal melaksanakan pengkaderan dengan baik.
Dalam kajian behavior sendiri, popularitas adalah kunci sukses untuk merintis jalan menuju kekuasaan yang tidak dapat ditawar lagi. Tiga ranah, mengadopsi pendekatan psikologis dan edukasi, harus dilalui seorang kandidat jika ingin terpilih. Pertama adalah ranah kognisi, yaitu sebagai tahap pengenalan baik dalam bentuk minimalis (iklan, spanduk, dan lain-lain) atau pada tingkat yang lebih tinggi (tatap muka langsung) dengan masyarakat. Ranah inilah yang paling menentukan sebelum kalkulasi politik dilakukan. Sebab popularitas adalah modal dasar bagi seorang kandidat untuk terpilih (elektabilitas).
Setelah itu langkah – langkah elektabilitas bisa diproses di ranah afeksi, yaitu membius publik dengan janji-janji, serta arti pentingnya kehadiran kandidat dalam pemilihan. Popularitas tentu saja dapat berlangsung simultan dalam proses afeksi ini. Namun sayangnya seringkali kepentingan dalam proses untuk menaikkan citra dan kepopuleran lebih dominan dibandingkan proses pendidikan publik terhadap apa yang akan dibawa dan dilakukan oleh kandidat bila terpilih.
Dari proses-proses di atas tentu pada akhirnya diharapkan akan muncul suatu sikap tegas masyarakat yang berujung pada terpilihnya sang calon di bilik  pemilih. Hal ini tentu saja tidak akan atau sulit untuk terealisasi apabila kandidat tidak  populer. Dalam konteks inilah kehadiran artis menjadi sangat signifikan, karena setidaknya artis sudah mengantongi modal awal yaitu kepopuleran. Namun, disetiap kelebihan pasti mempunyai beberapa dampak negatif dalam hal ini, salah satu kerugiannya tentu bisa menciptakan hallo efec atau pengkaderan tanpa isi, dikarenakan program program yang marketable akan dikalahkan oleh popularitasfigure yang menjadi kader inti sari pilkada untuk menuju perubahan,
Namun tidak selamanya konsep ini berlaku karena amat sangat tergantung dari daya dukung capabilitasnya sebagai artis sekaligus public figure yang cemerlang. Disinilah para partai politik pun menimang-nimang sebelum meminangnya akan menyeleksi bobot bbibit bebet nya tentu tidak sembarang artis bernilai jual di arena pilkada.Tentu kita faham macam artis manakah yang bisa diterima oleh masyarakat yang pasti tentu bukan artis yang ecek-ecek atau artis yang asal tenar. Semua kalangan artispun sebelum mencalonkan diri pasti sudah mematutmatutkan diri apakah dirinya layak atau tidak menjadi kandidat. Yang pasti sudah mengukur baju terlebih dahulu.
Jadi, tidak ada salahnya jika  para artis yang sejatinya bergelut di ranah hiburan ikut berkecimpung di dunia perpolitikan, maka sebagai warga indonesia yang mempunyai hak pilih, sepatutnya bagi kita untuk menentukan pemimpin yang berkualitas dan berintegritas tinggi jangan hanya pamor belaka yang menjadi sensasi para artis tersebut harus memenuhi kriteria standar pemimpin yang bagus.

                                                                                                              ———— *** ————-

Rate this article!
Tags: