Papua, Menguji Keindonesiaan Kita

Oleh :
Wahyu Kuncoro SN
Wartawan Harian Bhirawa
Rentetan kerusuhan di sejumlah kota di Papua memperpanjang luka dan derita. Perusakan fasilitas umum di beberapa kota, seperti Manokwari, Sorong, dan Jayapura, tentu disayangkan dan merugikan banyak orang. Karena itu, sungguh penting memastikan bahwa insiden tragis ini akan menghadirkan skema penyelesaian konflik yang adil untuk orang Papua.
Ini adalah persoalan serius. Sehingga tidak cukup hanya dengan maaf lantas seolah semuanya bisa berlalu begitu saja. Keterhinaan dan tersakitinya saudara-saudara kita di Papua akibat kesombongan kita adalah potret nyata betapa di antara kita memang belum menjadi Indonesia secara paripurna. Benar memang, ada sebagian saudara kita di Papua yang belum merasa Indonesia, namun sadarlah bahwa masih ada juga di antara kita –dari rakyat jelata sampai pejabat penguasa– yang memandang Papua seolah bukan Indonesia. Lantaran itu, kegaduhan yang tersajikan hari ini adalah lukisan nyata untuk melihat seberapa Indonesiakah kita.
Kita memang perlu diuji untuk menakar derajat keindonesiaan kita. Bukan hanya karena kasus Papua, tetapi juga untuk bersiap menghadapi ancaman masa masa depan yang pasti akan membutuhkan sikap keindonesiaan kita.
Bahwa begitu konflik Papua tersulut, betapa riuhnya dunia media sosial. Kita yang mengaku orang Indonesia pun tanpa canggung ikut menjadi orang yang seolah baru belajar tentang Indonesia. Beragam informasi dan berita yang rawan menyulut emosi begitu mudah kita nikmati dan sebarkan. Dan Papua pun akhirnya membara. Kenapa? Karena di antara kita ternyata banyak yang belum Indonesia, yang harusnya ikut menjaga Papua tetapi sebaliknya malah memperkeruh suasana. Yah, Papua memang telah mempertontonkan kepada kita betapa di antara kita masih ada yang belum Indonesia.
Komitmen Bersama
Sungguh, rasanya sulit dipercaya akal sehat kalau konflik di Papua ternyata tidak bisa segera diselesaikan. Bangsa Indonesia sejatinya dikenal sebagai bangsa yang memiliki komitmen yang tinggi dalam menjaga perdamaian. Kemampuan diplomasi Indonesia dalam mengakhiri konflik di berbagai belahan dunia tidak perlu lagi dipertanyakan. Lantas, mengapa Indonesia tidak juga mampu mengakhiri konflik di Papua? Bisa jadi jawabnya adalah karena Papua memang masih berbeda dengan kita?
Sejarah panjang konflik di Papua memang tidak sederhana untuk diuraikan. Bolehlah semua bermain kata untuk mengatakan bahwa Papua adalah Indonesia? Namun faktanya, sampai hari ini Papua masih terlalu jauh berbeda dengan Indonesia yang ada di Jawa atau di Sumatra. Apa argumentasinya untuk menjawab mengapa Papua jauh terbelakang dibandingkan Jawa? Sungguh terlalu telanjang kesenjangan yang terlihat antara Papua dibanding wilayah lain di Indonesia.
Entah sudah berapa panjang kisah dan janji manis para pemimpin bangsa ini untuk meningkatkan kehidupan masyarakat Papua. Dan entah sudah berapa kali episode juga yang mementaskan kisah kepedihan yang masih saja terjadi di sana.
Berlarutnya penyelesaian konflik di Papua membuat prasangka dan kecurigaan saling bermain mata. Dari sekadar anggapan bahwa pemerintah memang tidak pernah serius untuk membangun Papua, hingga kecurigaan yang menganggap bahwa Papua memang hanya sebagai alat untuk tawar menawar politik semata. Keterpurukan, keterbelakangan dan kesenjangan yang menganga di Papua bagaikan dipelihara. Akibatnya, orang pun dengan mudah menyangka kalau itu hanyalah isu untuk mengalihkan suasana. Baik pengalihan dari wacana perpindahan ibukota, atau malah sekadar kode keras untuk pesan jatah kursi menteri ke istana. Orang pun menjadi begitu mudah untuk mengatakan bahwa konflik Papua diremote dari Jakarta.
Sungguh logika yang pasti akan sangat melukai rakyat Papua, karena seolah mereka hanya jadi boneka. Bisa jadi rakyat Papua tidak memikirkan ibukota pindah atau tidak, atau bisa jadi rakyat papua juga tidak pernah memikirkan dapat jatah berapa dari kursi kabinet nantinya, namun yang hampir pasti adalah rakyat Papua ingin hidup sebagaimana rakyat Indonesia yang lain.
Papua tidak sedang membutuhan tangisan duka atau basa basi cinta sebagaimana yang indah terlihat di layar kaca. Semua mendendangkan lagu cinta untuk Papua. Panggung panggung seminar, pentas pentas budaya seolah kompak menarasikan rasa cinta untuk Papua. Namun, siapa yang berani menjamin bahwa alunan lagu cinta untuk Papua itu didendangkan sepenuh jiwa? Atau malah jangan jangan nyanyian itu hanya sekadar mematuhi instruksi atau malah hanya basa basi yang tidak merepresentasikan simpati apalagi empati.
Bahwa konflik Papua yang terjadi hari ini sesungguhnya semakin menegaskan betapa Papua menyimpan bara yang bisa kapan saja membakar negeri ini.
Memang berbagai pembangunan infrastruktur harus diakui tergelar sangat signifikan di era pemerintahan sekarang. Namun yang mungkin harus diketahui adalah persoalan Papua ternyata tidak selesai hanya diberi insfratsruktur. Kita masih sering berbicara dan bersikap dengan bahasa kita, seolah-olah kita sama dengan Papua. Seolah-olah mereka diperlakukan sama dengan kita, sehingga kita berharap merekapun bersikap dan berpikir seperti kita Indonesia. Ingatlah bahwa Papua telah diperlakukan berbeda oleh Indonesia.
Penulis termasuk yang meyakini bahwa memang ada pihak ketiga yang mencoba memanfaatkan situasi yang tengah terjadi hari ini di Papua. Namun hadirnya pihak ketika tentu tidak akan terjadi kalau kita tidak mengundangnya. Undangan paling menarik yang bagi pihak ketiga untuk hadir adalah semua yang bisa melecutkan sentimen papua.
Sejak awal, jika kita semua bertindak proporsional dan adil dalam menangani laporan perusakan bendera Merah Putih di asrama mahasiswa Papua di Surabaya, mungkin saja rentetan amuk massa tidak sedemikian membara.
Puncaknya adalah ketika ada ‘serbuan’ masuk ke asrama mahasiswa Papua di Surabaya, seolah-olah mahasiswa di sana lebih berbahaya dari teroris. Padahal, seandainya benar mahasiswa Papua melecehkan bendera kebangsaan sekalipun, hal itu bukanlah alasan untuk mengusir dan mempermalukan mereka.
Pengusiran mahasiswa Papua di Jawa yang acap terjadi menunjukkan kontradiksi cara pandang banyak orang dalam memandang Papua. Di satu sisi, khalayak terus mendorong agar Papua tetap menjadi bagian dari Indonesia. Tapi, di sisi lain, keberadaan mahasiswa Papua terus diganggu isu rasisme dan tindak kekerasan. Kita sesungguhnyalah yang telah membuat mereka merasa menjadi tidak Indonesia.
Jangan Biarkan TNI Sendirian
Belajar dari kasus yang baru terjadi ini, sungguh menyadarkan kita bersama, bahwa persoalan Papua adalah persoalan kita bersama. Bahwa benar memang di Papua ada gerakan separatis yang selalu membawa organisasi Papua Merdeka (OPM). Bahwa memang benar itu tugas TNI untuk memberantasnya. Namun ingat, masalah besar di Papua bukan OPM, tetapi masalah besarnya adalah karena mereka belum merasa Indonesia. Kalau hanya OPM, pastilah sejak dulu TNI kita di Papua akan mampu menyelesaikannya. Sayangnya, yang dihadapi TNI bukan hanya OPM, tetapi TNI juga akan berpapasan dengan sekelompok masyarakat yang terpinggirkan, masyarakat yang luka dan kecewa. Tentu dalam menghadapi itu semua tidak mungkin kalau pendekatan keamanan yang dikedepankan. Tentu tidak proporsional kalau kemudian kita menyandarkan masalah Papua hanya pada TNI. Janganlah TNI juga dibebani dengan tugas bagaimana mendidik Papua, mengajari bertani, dan semua kebutuhan Papua seolah hanya TNI yang harus menjawabnya. Andai saja boleh memilih, tentu TNI pun tidak ingin terus di Papua. Sudah berapa banyak TNI kita yang gugur disana.
Negara memang harus hadir secara nyata di Papua. Kehadiran Negara bukan semata hanya dibaca dari berapa besar kekuatan TNI yang didatangkan untuk menjaga keamanan dan ketenangan masyarakat Papua. Tetapi yang lebih penting adalah bagaimana Negara membangun wilayah dan manusia di Papua.
Masifnya pembangunan insfrastruktur di Papua memang melegakan kita semua, namun itu juga belum cukup untuk menjadikan Papua menjadi lebih Indonesia. Papua butuh merasakan bagaimana menjadi Indonesia yang sesungguhnya. Bukan menjadi seolah-olah Indonesia.
Sungguh kita semua harus hadir di Papua. Semua kementerian dan lembaga harus hadir menggoreskan wajah Indonesia di Papua. Indonesia sungguh bukan hanya TNI yang sedang menggenggam senjata, sebagaimana sering terlihat di Papua. Lantaran itu, datanglah semua ke Papua. Jangan biarkan TNI sendirian di sana. Jangan biarkan TNI kesepian menanggung beban berat masalah di Papua.
Wallahu’alam Bhis-shawwab.

———– *** ————

Rate this article!
Tags: