Pemberdayaan Petani Milenial

Refleksi Hari Tani Nasional 24 September:

Oleh :
Sutawi
Dosen Fakultas Pertanian Peternakan Universitas Muhammadiyah Malang

Setiap tanggal 24 September petani Indonesia memperingati Hari Tani Nasional (HTN). HTN ditetapkan oleh Presiden Soekarno melalui Keppres No. 169/1963 bertepatan terbitnya UU No. 5/1960 tentang Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) tanggal 24 September 1960. Penetapan HTN merupakan sebuah perhargaan tertinggi terhadap masyarakat petani yang berjuang menegakkan kedaulatan, kemandirian, dan ketahanan pangan bagi bangsa Indonesia. Selama pandemi Covid-19 yang berlangsung hampir 2 tahun, petani Indonesia berhasil menyelamatkan perekonomian sebagai penyumbang pertumbuhan positif 2,59% terhadap perekonomian nasional yang mengalami kontraksi minus 2,09%.

Di tengah ketangguhannya terhadap pandemi Covid-19, sektor pertanian sebenarnya mengalami kerapuhan yang cukup serius, yaitu mulai ditinggalkan oleh generasi milenial. Hasil Survei Pertanian Antar Sensus (SUTAS) 2019 mencatat dari 33,49 juta penduduk yang berprofesi sebagai petani, hanya 4,99 juta (14,90%) petani muda yang berusia di bawah 34 tahun, sedangkan petani tua berusia lebih dari 55 tahun berjumlah 11,14 juta (33,28%). Jumlah petani muda menyusut 3,4% per tahun, lebih cepat dibanding petani tua yang menyusut hanya 0,5% per tahun. Selain masalah usia yang menua, petani Indonesia juga berpendidikan rendah. Sebanyak 22,24 juta (66,42%) petani berpendidikan SD dan tidak tamat SD, sedangkan yang berpendidikan tinggi hanya 1,05 juta (0,03%). Tampak jelas bahwa petani saat ini adalah angkatan kerja usia tua yang telah melewati usia produktif dan berpendidikan rendah, sedangkan sisanya adalah sedikit kaum muda yang terpaksa bertani karena kalah bersaing mendapat pekerjaan lain yang diidamkan.

FAO (2014) mengungkapkan beberapa alasan generasi milenial (usia 19-39 tahun) enggan bekerja di sektor pertanian. Pertama, citra petani sebagai pekerjaan yang rendah, kotor, tidak bergengsi, dan kurang memerlukan keterampilan. Kedua, pendapatan petani sangat rendah. BPS (2017) mencatat penghasilan petani padi hanya Rp 1,238 juta/bulan, jagung Rp 1,047 juta/bulan, kacang tanah Rp 1,052 juta/bulan, ubi kayu Rp869 ribu/bulan, kacang hijau Rp469 ribu/bulan, dan kedelai Rp 307 ribu/bulan. Pendapatan tersebut jauh di bawah Upah Minimum Provinsi (UMP) di Indonesia antara Rp 1,765 juta sampai 4,276 juta/bulan dan garis kemiskinan Rp 454.652 per kapita per bulan. Ketiga, alih fungsi lahan pertanian ke industri meningkatkan pemiskinan petani. Di Indonesia terjadi konversi lahan pertanian seluas 120 ribu hektar lahan setiap tahun. Survei BPS menyebutkan sebanyak 57,97 persen petani hanya memiliki lahan di bawah 0,1 ha dan 29,47 persen petani memiliki 0,1 sampai 0,49 ha. Keempat, infrastruktur perdesaan dan fasilitas agroindustri kurang menarik kaum milenial tinggal di perdesaan. Kelima, akses finansial susah dijangkau untuk mengembangkan usaha pertanian. Keenam, kurikulum pertanian di universitas tidak mendorong petani milenial untuk mengejar karir di pertanian. Ketujuh, terbatasnya organisasi petani milenial dan kurang dilibatkannya pemuda tani dalam perumusan kebijakan pertanian.

Fenomena penuaan petani (aging farmers) dan semakin berkurangnya tenaga kerja milenial pertanian terjadi baik di negara maju maupun berkembang, seperti AS, Australia, UE, Jepang, Korea, Thailand, dan Vietnam. Upaya untuk menarik dan mempertahankan generasi muda petani terus dilakukan di berbagai negara. Pemerintah AS memberi fasilitas pinjaman kepada petani milenial untuk memulai bisnis pertanian melalui Farm Service Agency (FSA). FSA diberikan dalam bentuk program jaminan pinjaman, program pinjaman langsung, dan program jaminan sewa lahan. Program jaminan pinjaman dilakukan dengan menjamin pinjaman petani milenial ke bank komersial, kredit petani, dan lembaga kredit lainnya dengan memberikan jaminan kerugian sampai 95%. Besarnya pinjaman bisa mencapai $300.000 (sekitar Rp4,35 miliar) dengan jangka waktu sampai 40 tahun.

Di Australia terdapat tiga skema pembiayaan Young Farmer Finance Scheme yang difasilitasi Rural Finance untuk petani milenial berusia kurang dari 40 tahun. Ketiga macam fasilitas pinjaman tersebut adalah: (1) Pembelian bahan baku dan peralatan, berjangka waktu delapan tahun dengan suku bunga 2% lebih rendah dari tingkat bunga komersial selama tiga tahun pertama, (2) Pembelian tanah, berjangka waktu 15 tahun dengan tingkat suku bunga 2% lebih rendah dari tingkat bunga komersial selama lima tahun pertama, dan (3) One to grow, diperuntukkan bagi petani milenial yang ingin membeli lahan pertanian pertama kali dengan tujuan berusaha pertanian komersial, berjangka waktu sampai 12 tahun dengan diskon suku bunga 1% dari suku bunga komersial selama lima tahun.

Uni Eropa menerapkan kebijakan insentif melalui dua skema, yaitu: (1) Skema pensiun dini (early retirement schemes), yaitu skema pemberian insentif kepada petani berusia antara 55-66 tahun yang bersedia mentransfer usaha pertanian mereka kepada petani milenial, dan (2) Skema petani muda (the young farmers scheme), yaitu skema insentif untuk menarik pemuda berusia kurang dari 40 tahun ke sektor pertanian. Selama periode 2007-2013, sebanyak 24 negara UE menerapkan skema bantuan petani milenial, sementara 16 negara UE menerapkan skema pensiun dini. Untuk skema petani milenial, negara Uni Eropa berkewajiban menggunakan anggaran nasional sampai 2%.

Jepang memanjakan petani dengan berbagai insentif. Pertama, subsidi pendapatan bagi petani tanaman berdasarkan volume produksi dan luas lahan. Kedua, subsidi pendapatan petani untuk produk strategis, sistem tumpang sari, sistem pertanian terpadu, dan lahan produktif. Ketiga, subsidi pendapatan petani padi dan subsidi selisih harga. Keempat, insentif tambahan untuk peningkatan mutu, peningkatan skala produksi, pertanian organik, kelompok petani, dan promosi bisnis. Dengan berbagai insentif tersebut, rata-rata penghasilan petani Jepang mencapai 10 juta yen (Rp1,34 miliar)/tahun, 25-30% lebih tinggi dibanding pendapatan per kapita penduduk.

Di Korea Selatan, kebijakan regenerasi petani dilakukan melalui program farm successor postering, petani milenial dapat memperoleh pinjaman selama 10 tahun. Di Thailand, negara yang berslogan “kitchen of the world” (dapur dunia), regenerasi petani berlangsung melalui program petani muda cerdas (young smart farmers) dengan batasan umur kurang dari 45 tahun. Pemerintah Thailand membuat kebijakan reformasi lahan pertanian, kartu kredit petani, menyediakan dana yang mudah diakses, dan mempromosikan profesi pertanian secara positif. Melalui model ekonomi “Thailand 4.0”, pemerintah Thailand menargetkan pendapatan petani sampai 7 kali lipat, dari 56.000 Baht (Rp26,60 juta) menjadi 390.000 Baht (Rp185,25 juta) pada tahun 2037.

Di Indonesia, pemberdayaan petani milenial diimplementasikan melalui berbagai program sekolah lapang petani baik di dalam maupun di luar negeri dan modernisasi alat dan mesin pertanian, serta Program Sejuta Petani Milenial. Namun, permasalahan teknis (lahan, teknologi, risiko gagal), ekonomis (modal, rantai pasar, fluktuasi harga), dan politis (kebijakan pemerintah) yang cukup berat menyebabkan mereka tetap enggan berprofesi sebagai petani. Bagi generasi milenial, bekerja sebagai pengemudi online, menjadi youtuber atau influencer, pedagang kaki lima (PKL), buruh pabrik di kota-kota besar, atau menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di luar negeri, jauh lebih bergengsi daripada menjadi petani di perdesaan. Tidak mengherankan jika daerah-daerah perdesaan mulai sepi dari kegiatan pertanian yang ditinggalkan generasi milenialnya. ***

———- *** ———–

Rate this article!
Tags: