Pemuliaan “Martabat” Garam Lokal

(Cegah Ali Fungsi Lahan dan Profesi Per-tambak-an)

Oleh :
Yunus Supanto
Wartawan senior, penggiat dakwah sosial politik. 

Harga garam melonjak tinggi, tetapi petambak garam tidak dapat menikmati. Selain tidak mampu “bersaing” dengan garam impor, produk lokal selalu di-olok-olok tidak bermutu. Karena garam lokal ber-salinitas rendah (kurang asin). Iklim usaha garam yang makin sulit, menyebabkan banyak tambak garam beralih fungsi, menjadi lahan pertanian. Petambak garam juga beralih profesi. Semakin merosotnya produksi garam lokal, bisa menimbulkan ke-putus asa-an penyediaan garam.
Berdasar telaah senyawa mineral, sesungguhnyagaram lokal memiliki kualitas manfaat sangat besar. Bahkan garam lokal diam-diam telah di-ekspor ke berbagai negara (antaralain Jepang). Garam yang diekspor, bukan untuk bahan dapur. Melainkan sebagai bahan pangan tambahan (suplemen). Ternyata, bekas air limbah garam di Kalianget, Sumenep (Madura) memiliki kandungan mineral sangat tinggi. Bisa menjadi pengharapan petambak garam.
Seiring anomali cuaca selama beberapa musim, lahan tambak garam sering gagal panen. Misalnya tahun 2016 lalu, musim hujan mengguyur lebih panjang, menyebabkan produksi garam tidak mencukupi kebutuhan. Periode panen (Agustus – Oktober) garam hanya dihasilkan 144 ribu ton atau hanya 4,5% dari target produksi 3,1 juta ton. Menjadi periode panen paling buruk sepanjang satu dekade terakhir. Mutu (garam) juga tidak bagus, harga jeblok.
Selama 10 tahun terakhir, panen terbaik tercatat pada Agustus hingga September tahun 2012 lalu. Itupun produksinya cuma 222 ribu ton. Maka sejak saat itu, target produksi garam hanya sekitar separuh dari target lama (menjadi 1,5 juta ton).Hasil panen garam selalu merosot, menyebabkan pemerintah makin menambah kuota impor. karena selama tiga tahun terakhir (2015 2016, dan 2017) hasil panen garam terus merosot makin drastis.
Pada sisi lain, garam lokal hanya tersimpan di gudang. Masih ribuan ton stok lama yang tidak terserap pasar. Konon, garam lokal tidak layak konsumsi karena kandungan yodium yang rendah. Karena itu dihargai sangat murah, sehingga petani memilih menimbun garam, menunggu harga sedikit pantas. Namun yang membutuhkan perputaran modal, terpaksa melepas garam pada tengkulak, walau dengan harga sangat murah.
Cuaca menjadi faktor teknis utama kegagalan periode panen garam. Karena lebih panjang membawa angin basah yang selalu mencairkan buih-buih ombak. Akibatnya, potensi (buih bakal garam) tidak bisa “matang.”Curah hujan rata-rata selama tiga tahun terakhir berkisar antara 200 mm hingga 400 mm per-bulan. Sedangkan curah hujan yang “ramah” terhadap tambak garam, maksimal 160 mm per-bulan.
PerlindunganProduk Lokal
Musim silih berganti, situasi semakin menciutkan nyali petambak. Berdasar paradigma suplai dan ketersediaan, kelangkaan garam seharusnya bisa meningkatkan harga. Namun kenyataannya, harga garam lokal makin jeblok pula. Pemerintah memilih impor garam, sampai stok mencukupi (bahkan lebih). Kebijakan impor garam dalam jumlah besar di-geber pada tahun 2015. Melalui Permendag (Peraturan Menteri Perdagangan) Nomor 125 tahun tahun 2015).
Di pasaran terdapat selisih harga antara harga garam lokal dengan garam eks-impor. Berdasar patokan pemerintah, garam lokal kualitas terbaik seharga 750,- per-kilogram. Tetapi harga patokan itu tidak pernah tercapai. Maksimal hanya laku Rp 500,-. Sedangkan garam eks-impor untuk industri, dipatok seharga Rp 400,-. Selisih harga inilah yang menyebabkan garam lokal (milik rakyat) tidak dapat bersaing.
Di balik impor garam, seharusnya pemerintah sekaligus melindungi garam rakyat, agar terserap pasar. Misalnya, dengan membebani importir untuk (wajib) membeli garam rakyat sebanyak-banyaknya. Serta upaya pembatasan kuota, agar harga garam mencapai ke-ekonomi-an memadai. Karena tidak adanya perlindungan terhadap garam rakyat, maka berbagai daerah sentra garam menolak Permendag, terutama Jawa Timur.
Tetapi biasanya, protes yang kalah alasan tidak akan mengubah kebijakan. Konon problem utama garam rakyat adalah rendahnya mutu, memerlukan proses tambahan. Dus, membebani ongkos produksi menjadi mahal. Serta pada saat tambahan prosesfinning (pembersihan), volume garam mengalami penyusutan. Itu menjadi “lingkaran setan” ketersediaan garam tidak mencukupi untuk kebutuhan nasional.
Sebagai “jagoan” garam peringkat tiga di dunia, seharusnya lebih memilih intensifikasi dan proses perbaikan mutu. Namun harus diakui, terdapat perbedaan proses pembentukan garam, antara negara ber-iklim dingin, dengan iklim tropis (banyak hujan). Di negara dingin, garam bagai tambang, tanpa melalui proses apapun. Melainkan hanya dikeruk seperti menambang kapur. Ongkos produksinya sangat rendah, sehingga bisa dijual murah.
Akibat makin besarnya kuota impor,di sepanjang pantura (pantai utara pulau Jawa) terjadi penumpukan menggunung garam rakyat. Sehingga hanya sebagian kecil petani garam betah bertahan, disebabkan harga komoditas tidak menguntungkan. Hanya sebagian kecil petambak garam bisa menikmati harga garam mahal (Rp 2.500,- kemasan 250 gram). Yakni, petambak yang menggunakan teknologi (sederhana) tepat guna. Antaralain penggunaan terpal sebagai pelapis lahan.
Pe-mulia-an Garam Lokal
Inovasi teknologi, seyogianya difasilitasi pemerintah (Kementerian Kelautan dan Perikanan).Anggaran fasilitasi bisa diambil dari keuntungan impor garam oleh BUMN (PT Garam). Bukan sekadar perbaikan kincir angin, dan gudang penyimpanan. Melainkan juga teknis on-farm (kinerja lahan) patut di-fasilitasi lebih sistemik. Berbagai hasil penelitian oleh perguruan tinggi, bisa dijadikan acuan perbaikan mutu lahan.
Namun yang paling staretgis, adalah menggali potensi sampingan (added value) garam lokal. Penemuan spektakuler, ternyataair garam lokal di Kalianget, Sumenep (Madura) dapat dijadikan dapat bahan baku utama cairan infus. Itu bagai prospek “tersembunyi” garam lokal. Bisa meningkatkan “martabat” garam lokal. Bergeser dari dapur ke rumahsakit.
Konon prospek “tersembunyi” dijejaki dari pengusaha Jepang yang meminta garam asal Kalianget, Sumenep. Awalnya, dengan sedikit sentuhan teknologi, garam Kalianget bisa menjadi garam meja, disuguhkan pada saat hidangan makan. Ternyata, garam Kalianget diketahui memiliki kandungan mineral sangat tinggi. Dengan salinitas yang tidak greng (kurang asin), garam lokal bagai bumbu masak organik (non-pabrikan kimia).
Namun posisi garam Kalianget, bukan sekadar “naik kelas,” bergeser dari dapur ke meja makan. Melainkan juga bisa naik kelas lagi, dengan berkah harga makin mahal. Beberapa sivitas perguruan tinggi negeri di Surabaya, telah meneliti manfaat lain garam lokal. Universitas Airlangga, dan ITS (Institut Teknologi 10 November Surabaya), bahkan memiliki usaha obat-obatan (dan suplemen makanan) berbahan baku air garam lokal.
Urusan per-garam-an, sebenarnya memiliki “payung” perlindungan yang kokoh. Yakni, UU Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan Budidaya Ikan dan Petani Garam.Maka layak memperoleh perlakuan lebih baik. Termasuk added value melalui teknologi ekstraksi. Dengan kandungan mineral yang sangat tinggi, garam lokal (khususnya Kalianget)seharusnya me-menang-kan merebut pangsa pasar.
Tidak perlu risau karena kalah asin (salinitas kurang dari 90%). Karena pangsa pasar garam lokal telah naik kelas. Kelak, petambak garam bukan hanya biasa mengelus dada. Melainkan bisa menepuk dada. Sekaligus makin melapangkan hamparan tambak garam.

——— 000 ———

Rate this article!
Tags: