Pendidikan Mencerahkan Bersama Pancasila

Ani Sri RahayuOleh :
Ani Sri Rahayu
Pengajar Civic Hukum (PPKn)
Universitas Muhammadiyah Malang

“THE end (telos) of education is to produce good citizens, where ‘good’ here is partly determined in light of the constitution of the state.”
Kutipan dari karya Stephan Millett tersebut menjelaskan kaitan kepentingan yang erat antara manusia yang terdidik dan tercerahkan melalui ideologi sebuah negara yang digunakan sebagai kunci kemajuan sebuah bangsa. Begitupun demikian dengan bangsa ini, yang hanya akan bisa maju dan tak terus tertinggal dari bangsa – bangsa lain jika memiliki manusia – manusia pintar dan berintegritas.
Pada konteks itu pula, sistem pendidikan yang tepat rntak lagi dapat ditawar. Pembangunan pendidikan secara menyeluruh pun rnmenjadi sebuah keharusan yang wajib dikelola secara optimal oleh pemerintah. Tiada lagi alasan bagi pemerintah untuk tidak menyediakan pendidikan secara merata, adil, dan berkualitas bagi seluruh anak bangsa.
Benar bahwa pendidikan memang selalu menjadi fokus kendati pemerintah silih berganti. Ia mendapat perhatian utama, anggaran negara yang digelontorkan untuk pendidikan pun selalu yang terbesar. Namun, harus kita akui, output dari pembangunan di sektor pendidikan belumlah menggembirakan. Dalam daftar indeks pembangunan manusia yang salah satunya diukur dari pendidikan, misalnya, posisi Indonesia masih berkutat di urutan ke-108 dari 187 negara pada 2014.
Perlu keseriusan luar biasa bagi pengelola negeri ini untuk membuat rakyatnya pintar. Tak cuma pintar, rakyat Indonesia mesti berkepribadian dan kita patut menyambut baik karena pemerintah tampak gigih mewujudkan syarat – syarat ideal bagi kemajuan bangsa itu.
Pemerintah sadar betul bahwa generasi yang pandai dan berkarakterlah yang akan menentukan masa depan Republik ini. Pemerintah juga sadar, kita sudah cukup lama melupakan kepribadian luhur bernama Pancasila dalam berbangsa dan bernegara, termasuk dalam mengelola pendidikan.
Menepis “Alergi” Pendidikan Pancasila
Gelombang reformasi pada 1998 seolah – olah ingin menyapu simbol dan warisan orde sebelumnya, tak terkecuali Pancasila. Ada kesan era baru itu “alergi” dengan semua label Pancasila. Penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) dan Pendidikan Moral Pancasila tak lagi mendapat tempat. Saat Soekarno  pencetus Pancasila  “bangkit” pada Pemilu lalu, juga tak ada keberanian “menjual” kemasan Pancasila. Mungkin masih “alergi” dan takut tidak laku. Berbeda dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan. Peringatan Hari Pendidikan Nasional, Sabtu lalu ekspilit mengangkat tema “Pendidikan dan Kebudayaan sebagai Gerakan Pencerdasan dan Penumbuhan Generasi Berkarakter Pancasila”. Mantan Rektor Universitas Paramadina itu yakin, lima sila yang merupakan kristalisasi nilai – nilai luhur dalam kehidupan masyarakat, sekaligus jati diri bangsa ini, adalah karakter yang sesungguhnya.
Pengunggahan “tema lama” itu akan menjadi tonggak manifestasi pendidikan sebagai proses pembelajaran secara seimbang antara kecerdasan dan pendidikan moral. Kita sulit menampik, dalam beberapa tahun terakhir, pendidikan moral mengalami penurunan, bahkan pengabaian. Pendidikan terjebak pada intelektualisme. Nilai – nilai humanis pendidikan pun hambar. Gejala degradasi moral meluas, sehingga jati diri bangsa tidak terjaga, membuat bangsa ini karut marut dan lemah. Pendidikan tidak berperan optimal menangkal ekses kemajuan teknologi dan globalisasi. Lingkungan makin memburuk, dan anak-anak rentan terpengaruh. Pendidikan nilai – nilai Pancasila menjadi pilihan terbaik, meskipun kita “terlambat” menyadari, dan seolah – olah baru merasa “panik”. Tawuran, kriminalitas, narkoba, dan seks bebas menyentuh kaum terpelajar. Kondisi ini baru terformulasi pada 2012. Diskusi para ahli akhirnya menemukan solusi: pendidikan karakter. Bergegaslah Mendikbud M Nuh (waktu itu) menyiapkan dana ratusan miliar untuk kurikulum berbasis pendidikan karakter.
Penerapan Kurikulum 2013 ternyata tidak mudah. Menteri Anies menyebutnya sebagai kurikulum “setengah matang”, sehingga penerapan menyeluruh menunggu uji coba hingga 2018. Anies pun mengubah model ujian nasional dan menerapkan indeks integritas. Menekan kecurangan melalui jalur hukum dan memberi penghargaan atas kejujuran siswa.
Transformasi nilai dimulai dari hal – hal kecil, peran dan hubungan guru – orang tua diintesifkan. Menteri Anies juga tidak ragu mengajarkan nilai – nilai Pancasila sebagaimana amanah konstitusi. Tentu tidak mudah mengubah mindset pendidikan menjadi paradigma akademik dan karakter. Implementasi Pendidikan Pancasila mutlak membutuhkan political will elite politik dan kesungguhan semua stakeholder pendidikan, terutama guru, siswa, dan orang tua.
Bagi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan, gerakan pencerdasan dan penumbuhan generasi berkepribadian Pancasila ialah ikhtiar menuju pembentukan generasi yang berkualitas dalam arti sesungguhnya. Berkualitas dari sisi otak, berkualitas pula dalam hal kepribadian.
Semangat itu pun klop dengan misi pelaksanaan ujian rnnasional (UN), yang hari ini diberlakukan untuk siswa sekolah menengah pertama (SMP). Lewat kebijakan Mendikbud Anies Baswedan, paradigma UN diubah total. Sebelumnya, UN menjadi syarat mutlak kelulusan siswa, tetapi mulai tahun ini syarat itu ditanggalkan karena memang terlalu banyak mudarat yang ditimbulkan.
Tatkala masih menjadi penghakiman atas kelulusan, UN ialah hantu paling menakutkan bagi anak didik. Amat banyak siswa yang kemudian menempuh segala upaya untuk lolos dari UN. Tak sedikit yang menghalalkan segala cara, termasuk dengan mencari bocoran jawaban.
UN pun menjelma menjadi pemicu generasi bermental curang. Ada pula yang lantas berpikir irasional, umpamanya dengan mendatangi makam, demi lulus UN. Kini, UN tak lagi menjadi penghakiman, tetapi merupakan ajang pembelajaran. Ia sarana pemetaan sekaligus syarat masuk ke jenjang sekolah yang lebih tinggi. Ia telah kembali ke jalur yang benar demi pembentukan anak didik yang cerdas, berkarakter, dan rasional. Meski begitu, upaya membangun generasi yang cerdas dan berkepribadian tak cukup hanya semangat di atas kertas, tetapi harus diimplementasikan secara nyata.
Sebuah bangsa mustahil dapat bertahan dalam persaingan jika hanya mengandalkan sumber daya alam. Bangsa yang hebat ke depan ialah bangsa yang dihuni manusia – manusia berkualitas. Itulah  tugas kita untuk memastikannya.

                                                                                                          —————— *** ——————

Tags: