Pengorbanan Sejati Demi Demokrasi

Oleh :
Oryz Setiawan
Alumni Fakultas Kesehatan Masyarakat (Public Health) Unair Surabaya

Usia sudah puncak pesta demokrasi lima tahunan, pemilu serentak tahun 2019 dimana rakyat Indonesia menyalurkan hak politik yakni pemilihan presiden dan wakil presiden serta pemilihan wakil rakyat yang kelak duduk di kursi DPD, DPR, DPRD Provinsi, Kabupaten dan Kota pada tanggal 17 April. Pemilu serentak ini memang berbeda dengan pemilu-pemilu sebelumnya. Setidaknya terdapat 19 anggota Kelompok Penyelenggaran Pemungutan Suara (KPPS) dan 10 anggota kepolisian meninggal dalam melaksanakan tugas akibat kelelahan yang berlebihan, sakit maupun kecelakaan. Kondisi tersebut sungguh miris, ditengah beban berat para pihak yang melaksanakan pemilu aspek keselamatan dan kesehatan mereka terasa terabaikan sehingga perlu evaluasi dan menata ulang desain manajemen dan tata kelola penyelenggaraan pemilu serentak mendatang. Terdapat beberapa faktor mengapa terjadi demikian, pertama akses wilayah yang terpencil, perbatasan dan terbelakang dimana secara topografi dan geografis sulit dijangkau terlebih kondisi medan yang ekstrim.
Sejumlah wilayah Indonesia yang terpencil, sulit dijangkau dan melewati berbagai rintangan yang tidak mudah, melewati sungai, akses jalan yang sulit sehingga harus ditempuh dengan jalan kaki. Sungguh merupakan perjuangan yang luar biasa terlebih harus membawa sejumlah logistik (kotak suara, surat suara dan lain-lain) yang harus sampai lokasi tempat tujuan hingga kembali lagi. Kedua, waktu persiapan yang terbatas sehingga distribusi logistik membutuhkan rentang waktu yang sedemikian rupa. Apalagi kondisi dan situasi antar wilayah tidak sama sehingga manajemen waktu yang cukup, setidaknya dilakukan persiapan sedini mungkin. Ketiga, secara kuantitas dan kualitas logistik pemilu kali ini begitu kompleks. Dari sisi jumlah surat suara masing-masing orang harus membawa lima kertas untuk dicoblos yakni surat suara presiden dan wakil presiden, DPD, DPR (pusat), DPRD provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Dalam tahapan selanjutnya dilakukan penghitungan dan rekapitulasi suara membutuhkan waktu yang tidak sedikit.
Berdasarkan estimasi, proses pencoblosan hingga perekapitulasi surat suara setidaknya membutuhkan 15 jam atau lebih bahkan tak jarang melewati tengah malam atau lebih dari sehari. Kondisi ini jelas menguras stamina KPPS maupun pihak keamanan dimana rata-rata jam kerja normal adalah 8 jam sehari. Di sisi lain, momentum pemilu belum mempersiapkan simulasi yang benar-benar matang sehingga ketika hari pencoblosan kondisi fisik dan psikis pelaksana atau penyelenggara tidak dilatih secara maraton melebihi batas kemampuan tubuh menanggung beban. Kondisi tersebut pada akhirnya berresiko atas gangguan kesehatan bahkan keselamatan para penyelenggara terutama di tingkat lapangan (KPPS).
Jangan sampai pemilu yang bertujuan untuk meminimalkan pembiayaan negara dalam pelaksanaan pemilu, meminimalisir politik biaya tinggi, penggunaan politik uang yang melibatkan pemilih, penyalahgunaan kekuasaan atau mencegah politisasi birokrasi, dan merampingkan skema kerja pemerintah, justru abai terhadap kesehatan dan keselamatan penyelenggara dan pengamanan. Para petugas di lapangan berjibaku demi menyukseskan pelaksanaan pemilu yang aman, damai dan lancar. Mereka inilah sesungguhnya pahlawan demokrasi dimana dengan komitmen yang kuat dan memegang teguh amanah meski harus mengorbankan jiwa dan raganya.
Resiko Keselamatan
Selama ini pemerintah terlalu terfokus pada aspek resiko gangguan psikologis dan kejiwaan para caleg yang berresiko gagal memperoleh kursi parlemen sehingga menyiapkan sarana dan fasilitas kesehatan dengan layanan gangguan jiwa khusus para caleg yang mengalami gangguan psikologis baik skala ringan hingga berat. Sebenarnya aspek gangguan kesehatan bukan hanya gangguan jiwa namun gangguan kesehatan secara umum misalnya, akibat kelelahan/keletihan yang berkepanjangan terutama bagi penyelenggara pemilu seperti KPPS, pengawal keamanan mulai linmas hingga polisi terutama di wilayah-wilayah yang sulit akses tentu memiiki resiko besar atas kesehatan dan keselamatan. Kejadian kecelakaan lalu lintas anggota KPPS maupun anggota kepolisian tentu menambah panjang daftar “korban” yang sangat mungkin disebabkan oleh aspek kelelahan fisik-psikis.
Dari sisi kejiwaan, secara umum yang paling berresiko terserang gangguan kejiwaan adalah calon legislatif dimana mereka terus bersaing ketat antar caleg baik di level pusat, provinsi maupun kabupaten. Pengalaman pemilihan legislatif tahun-tahun sebelumnya pasca tidak terpilihnya menjadi calon legislatif atau caleg gagal terus bermunculan dengan berbagai variasi gangguan kejiwaan mulai stres hingga depresi. Sudah banyak peristiwa di mana caleg mengalami stres lantaran tak bisa menerima kekalahan usai dirinya hanya mendapatkan sedikit suara. Jenis penyimpangan kejiwaan yang paling ringan seperti sering melamun, tatapan mata kosong, menyendiri atau menarik diri dari lingkungan sekitar (disasosiasi sosial) hingga terberat seperti psikosa (gila).
Lemahnya pegangan religiusitas, manajemen tata kelola stres yang minim diantaranya menempuh berbagai jalan bahkan menghalalkan segala cara, misal ke dukun, paranormal atau tempat-tempat berbau klenik lainnya. Potensi dampak caleg gagal bisa terjadi karena beban pikiran terhadap banyaknya ongkos (biaya) yang mereka keluarkan agar bisa terpilih menjadi anggota legislatif sementara ekspektasi/ambisi yang tinggi untuk mencapainya. Konon modal memperoleh tiket kursi legislatif dapat mencapai ratusan juta, milyar bahkan puluhan milyar sesuai level “kursi” yang diincarnya. Idealnya dibutuhkan kesiapsiagaan penanganan psikologi untuk mengantisipasi gangguan kejiwaan, baik berupa konseling, pengobatan maupun terapinya. Kondisi tersebut justru kontraproduktif dengan aspek pengorbanan sejati demi demokrasi sebagaimana dijelaskan sebelumnya.

———— *** ————

Rate this article!
Tags: