Penyakit Hati

Oleh :
Irawaty Nusa
Cerpenis dan peneliti program Historical Memory Indonesia ; Alamat: Desa Karang Asem, Cilegon, Banten Utara

Masih pagi anak-anak kecil pedagang asongan memukul-mukul peti dagangannya yang terbuat dari triplek. Sangat menjengkelkan. Baju mereka kumal-kumal, baunya apek dan kecut bukan main. Mungkin sudah seminggu atau bahkan sebulan mereka tidak mandi. Pada saat lampu merah menyala segeralah mereka menghambur dan berseliweran di sekitar perempatan Desa Jombang. Mereka bercampur-baur dengan pengamen jalanan. Sama dekilnya dan sama kumalnya.
Para karyawan pabrik dari berbagai arah berdatangan, kemudian naik bus jemputan menuju jurusan masing-masing. Sedangkan saya dan pramuniaga lainnya cepat-cepat menuju supermarket di sekitar perempatan tersebut. Kami mulai menata barang-barang di dalamnya, membersihkan lantai, memastikan pintu utama siap menerima para pelanggan pada pukul 09.00 pagi.
Warung kopi Pak Salim dan warung kelontong Bi Siti sudah lebih dulu buka sejak pukul 07.00 tadi pagi. Mereka yang berposisi manajer atau kepala bagian, seperti biasa nongkrong di sekitar warung itu, memesan nasi uduk, roti bakar atau bubur ayam Cirebon yang harganya mahal. Sedangkan orang-orang seperti kami hanya sanggup membeli bubur kacang ijo atau getuk yang dicampur ampas kelapa sebagai sarapan pagi.
Saya senang melihat para pramuniaga yang gesit dan cekatan . Bagi saya, mereka adalah anak-anak muda harapan bangsa, para pekerja keras dan pantang menyerah seperti saya. Tetapi lihatlah, anak-anak brengsek yang memukul-mukul peti dagangan itu! Anak-anak kumal yang kerjaannya hanya melanggar aturan, lalu dikejar-kejar polisi atau Satpol PP karena mengganggu ketertiban umum.
Saya benci mereka bukan hanya karena dekil atau kumal, tapi juga karena kelakuannya yang selalu melanggar hukum. Padahal, pihak pemerintah sudah tegas-tegas memperingatkan bahaya merokok, tapi justru mereka gemar memukul-mukul peti rokok yang tergantung di leher, seakan-akan menantang keputusan pemerintah itu sendiri. Para sopir angkot nampak memesan rokok, dan seorang sopir bus angkutan membeli koran di emperan berikut air mineral yang dijajakan pedagang asongan. Coba bayangkan, kalau seandainya saya harus membeli sebungkus rokok dan koran setiap pagi, berarti saya harus mengeluarkan uang sekitar 25 ribu tiap hari. Uang itu kalau dikalikan sebulan berarti 750 ribu rupiah. Itu artinya separuh dari gaji saya amblas hanya untuk keperluan yang gak jelas
Tapi yang paling menjengkelkan dari semua itu adalah seorang perempuan sekitar 25-an tahun, yang melintasi supermarket setiap jam 8 pagi. Ia selalu duduk di pojok warung kopi Pak Salim, meski dapat dilihat jelas dari pintu utama supermarket dan lampu merah. Seperti biasa, ia memesan roti bakar dan segelas susu. Bila ada manajer atau kepala bagian yang memesan kopi pada Pak Salim, seringkali mereka beralasan bahwa kopinya kurang manis, lalu ia menoleh pada perempuan itu, “Bagaimana kalau dikasih madu? Atau bagaimana kalau Mbak dimadu?”
Perempuan itu hanya menimpalinya dengan senyum-senyum dikulum. Di warung kopi brengsek itu mereka saling bercanda-ria, bahkan mengeluarkan gelak-tawanya, sampai terdengar dari pintu utama supermarket. Setelah warung kopi sepi dari pengunjung , tiba-tiba ia mengeluarkan laptopnya, mengetik selama satu atau dua jam tanpa menghiraukan apapun.
Sekitar jam 11.30 siang, ia akan meninggalkan warung kopi itu menuju hotel termahal di kota kami. Barangkali sesampainya di hotel ia akan segera tidur siang. Coba bayangkan, perempuan brengsek itu tentu akan berleha-leha di dalam hotel pada saat saya justru sedang sibuk-sibuknya melayani pembeli.
Belum lagi kebiasaannya sebelum pulang ke hotel, ia akan masuk supermarket, lalu ekor mata saya terus mengamatinya sedang melihat-lihat minuman di lemari pendingin, lalu memilih dua botol orange juice, kemudian yang satu diberikannya kepada seorang bocah tukang asongan di perempatan lampu merah. Dasar perempuan sundal, pikir saya.

***

Kini rencana saya sudah matang. Saya akan melakukan tindakan yang bisa mempermalukan perempuan brengsek itu. Nanti, kalau dia berteriak, saya akan pura-pura minta maaf agar orang-orang bersimpati kepada saya, lalu menganggap bahwa itu tindakan yang tak disengaja.
Sebaliknya, perempuan sundal itu lantas akan dituduh mengada-ada oleh banyak orang. Untuk melancarkan aksi tersebut, cukup bagi saya untuk meminta kebaikan hati teman saya Mira, bahwa pagi itu biarlah saya yang menggantikan tugasnya menurunkan barang-barang dari mobil box, tepat saat perempuan itu melintasi pelataran supermarket. Sempat juga kepikiran untuk menampar pipinya, atau menghantam kakinya dengan gagang sapu, hingga ia tersungkur jatuh serta membuat mata semua orang tertuju kepadanya.
Tetapi, itu masih belum seberapa. Masih juga belum memuaskan saya untuk membuat dirinya terhinakan. Saya akan melakukan penghinaan paling rendah, bahkan serendah-rendahnya, dengan menyerang bagian vital dari tubuhnya seperti yang diajarkan dalam sepanjang sejarah peradaban manusia dari abad ke abad.
Di pagi hari yang menentukan itu, ia pun melintasi pelataran supermarket, tepat pukul 08.17. Saya mulai menurunkan barang-barang. Di sela-sela dua kardus mie yang saya bawa, tangan kanan masih bisa menjorok ke depan, lalu saya remas payudaranya sekencang-kencangnya. Saat itu, saya meremasnya dengan mengharap-harap kemarahan darinya, serta membuat dirinya merasa sebagai perempuan sundal yang direndahkan. Lalu, dalam hitungan detik, saya akan sigap menghadapi teriakannya sambil menjatuhkan kardus mie seakan-akan kami saling bertabrakan.
Tapi apa yang terjadi kemudian? Ternyata, perempuan brengsek itu tidak berteriak. Matanya yang sayu memandang dengan tenang. Tiba-tiba berubah dingin, seperti tatapan singa betina yang siap menerkam mangsa. Seketika hati saya berdebar-debar, meski saya merasa sedikit senang karena orang-orang sekitar tidak menghiraukan kami. Tapi anehnya, perempuan itu justru dengan tenangnya menatap saya yang sedang mengumpulkan kardus-kardus mie yang tadi dijatuhkan. “Mau saya bantu?” katanya enteng.
Bibirnya mencibir dan menjuntai ke bawah. Tatapannya tajam menembus ke ulu hati. Suatu tatapan yang sangat merendahkan, serta menganggap martabat saya ini sama saja dengan seonggok taik kebo. Tak berapa lama, ia meneruskan langkah dengan tenang menuju meja di warung kopi Pak Salim. Melanjutkan kebiasaannya bercakap-cakap dengan pelanggan, lalu membuka laptopnya. Kemudian, saat matahari berada di ubun-ubun, seperti biasa ia akan masuk supermarket, mengambil minuman dingin kesukaannya. Karena itu, sebelumnya saya permisi dulu mau ke toilet, serta meminta Mira agar segera menggantikan posisi saya.

***

Suatu hari di awal-awal bulan, saat saya sedang sibuk melayani pembeli, tiba-tiba perempuan itu nongol di samping saya sambil berbisik, “Membenci itu tidak menyelesaikan masalah, juga tidak bisa membuatmu kaya. Sebaiknya kamu minta maaf pada ibumu karena telah meremas-remas payudara saya, itu berarti kamu telah merendahkan martabatmu sebagai wanita.”
Belum sempat saya membalas ucapannya, tahu-tahu ia sudah ngeloyor pergi dengan tenang, seakan-akan tak pernah bicara sepatah kata pun.
Sejak peristiwa itu, bayangan akan Ibu selalu mengganggu saat-saat tidur saya. Wajahnya yang sudah keriput, kulitnya hitam legam seakan gosong ditempa matahari di tengah sawah. Sampai saat ini, masih juga belum bisa menikmati masa-masa tua. Sementara gajiku selalu mengalami tambal sulam antara sewa kontrakan, bayar listrik, ongkos angkot, belum lagi cicilan yang sudah jatuh tempo. Saya membayangkan Ibu yang masih sibuk di tengah sawah, terus-menerus bekerja keras entah sampai kapan.
Pada hari lebaran Idul Fitri kemarin, saya sempat mudik dan berjumpa dengannya. Tapi tak mungkin saya menyiksanya dengan pengakuan yang dianjurkan perempuan brengsek itu. Saya mencoba menepis segala pikiran akibat perkataan perempuan itu, sambil memberesi barang-barang yang diberantakkan pelanggan di supermarket. Lagipula, untuk apa saya peduli omongannya itu? Bukankah ia juga tak peduli pada getirnya kemiskinan yang kami alami?
“Kamu telah merendahkan martabatmu sebagai wanita,” terngiang-ngiang terus kata-kata itu di telinga saya. Bahkan kata-kata itu diucapkan oleh Ibu berulang-ulang dalam mimpi tidur saya. Selama beberapa hari saya mengalami mimpi buruk. Sekali dalam mimpi itu Ibu membentak-bentak saya di tengah sawah, “Kenapa kamu membuat malu ibumu ini, meremas payudara sesama wanita seakan-akan meremas-remas payudara ibumu sendiri. Kamu telah merendahkan martabatmu sebagai wanita!”
Saya bangkit dari mimpi buruk, keringat bercucuran. Bantal basah kuyup oleh keringat. Rasa pilu membuat saya tak bisa melanjutkan tidur hingga matahari terbit. Rasanya saya tak pernah begitu nelangsa melebihi hari-hari itu. Tiap pagi terasa tegang dan sunyi. Saya merasakan kemiskinan semakin mencekik. Gaji saya yang kecil seakan makin menggerogoti kebanggaan pada nilai-nilai kemanusiaan.
Akhirnya, saya memutuskan untuk tidak menghiraukan ulah perempuan itu. Saya berusaha untuk tidak mengamati gerak-geriknya, bahkan setiap ulah pedagang rokok dan asongan di perempatan jalan. Saya mencoba menepis rasa gelisah dan mimpi-mimpi buruk, lalu melanjutkan kecintaan pada pekerjaan, mengumpulkan rupiah demi rupiah untuk membelikan Ibu hadiah pada mudik lebaran nanti.

***

Hari Jumat sore, sepulang dari supermarket, seorang pedagang asongan yang terbiasa diberi orange juice, tiba-tiba menghampiri saya di sekitar perempatan lampu merah. Secarik kertas diselipkan ke tangan saya, sambil menitipkan salam dari perempuan di warung kopi itu:
Sahabatku Kartika,
Perkenalkan namaku Catherine dari Bangkok, Thailand. Selama dua bulan ini aku mendatangi warung kopi di sekitar perempatan Jombang karena ingin mengamati gerak-gerik orang Indonesia, sifat dan karakter manusia Indonesia, sebagai bahan penelitian yang aku lakukan tentang kebudayaan Indonesia.
Apa yang kau lakukan terhadapku di depan supermarket, tak lepas dari pengalaman dan pengamatanku tentang kebudayaan Indonesia juga. Mulai sekarang, kita tidak lagi saling mengamati, karena aku harus pulang ke Thailand, serta menuangkan ide dan gagasanku dari hasil penelitian selama dua bulan ini.
Titip salamku pada ibumu yang telah mempertaruhkan nyawa melahirkan dan membesarkanmu. Orang tuamu begitu mulia dengan memberimu nama Kartika.
Kartika, yang aku kenal dari buku-buku sejarah dan kebudayaan Indonesia, adalah sosok wanita teladan, pejuang hak-hak asasi, pembela kaum wanita agar memiliki derajat dan martabat yang sepadan dengan kaum laki-laki. Beliau adalah pahlawan yang sangat kuhormati, dan tentu dihormati juga oleh ibumu dan kau sendiri.
Sebagai pejuang dan pahlawan, aku yakin Kartika tak punya waktu untuk membenci siapapun, apalagi kaum lemah dan miskin seperti pedagang rokok dan asongan yang sibuk mencari sesuap nasi. Bahkan bukunya yang diberi judul “Habis Gelap Terbitlah Terang” telah mengajari kita tentang pentingnya sekolah dan pendidikan bagi kaum wanita. Hal itu tentu agar penduduk pribumi tidak terus-menerus menjadi korban eksploitasi manusia oleh manusia lain. Seperti kau sendiri yang hanya menjadi pelayan di supermarket, bergaji rendah, dan selalu menjadi alat bagi para pemodal dan pengusaha besar. Begitupun para pedagang rokok dan asongan yang selalu dianggap musuh dan dikalahkan oleh sistem perdagangan global. Bahkan selalu dianggap kriminal oleh pemerintahmu dan pemerintahku juga.

———– *** ———–

Tentang Penulis :
Irawaty Nusa
Cerpenis dan peneliti program Historical Memory Indonesia ; Alamat: Desa Karang Asem, Cilegon, Banten Utara.

Rate this article!
Penyakit Hati,5 / 5 ( 1votes )
Tags: