Peran Pesantren dalam Peningkatan SDM di Indonesia

Oleh:
Utia Lil Afidah
Mahasiswa Jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir UIN Walisongo Semarang

Kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) di Indonesia masih selalu menjadi perbincangan dan masalah serius yang kompleks. Hal tersebut karena kualitas SDM di Indonesia masih tergolong rendah. Padahal untuk mencapai negara yang dapat dikatakan sejahtera, dibutuhkan kualitas SDM yang mumpuni dan mampu bersaing. Jika tidak, maka Indonesia akan menjadi negara yang tertinggal jauh di belakang dari negara-negara lainnya.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Bank Dunia, kualitas SDM Indonesia berada di tingkat 87 dari 157 negara pada tahun 2018. Tingkat tersebut masih tergolong rendah karena Indonesia belum mampu mengalahkan rekor dari setengah populasi negara yang diteliti oleh Bank Dunia.
Menyadari hal ini, seharusnya semua elemen baik pemerintah maupun non-pemerintah melakukan tindakan-tindakan yang dapat mempercepat laju peningkatan kualitas SDM dari berbagai sisi.
Lembaga yang tidak berbasis pemerintah atau non-pemerintah salah satunya adalah pesantren. Ada cukup banyak pesantren yang tersebar diberbagai pelosok negeri mengingat sebagian besar masyarakat Indonesia beragama Islam. Berdasarkan data dari Kementerian Agama (Kemenag) terdapat setidaknya 26.975 pesantren yang berdiri di Indonesia.
Jumlah tersebut cukup besar sekaligus dapat dijadikan ajang dalam peningkatan kualitas SDM. Sebab, pesantren merupakan lembaga yang didalamnya menghimpun banyak kader (santri) dan cenderung meningkat setiap tahunnya. Jadi, pesantren merupakan salah satu lembaga yang berpotensi strategis dalam meningkatkan kualitas SDM di Indonesia.
Santri yang mukim atau tinggal menetap di pesantren lebih didominasi oleh usia remaja. Usia tersebut adalah masa-masa produktif. Masa produktif jika dimanfaatkan dengan baik dan benar serta mendapat dukungan dari eksternal, maka akan membawa pengaruh yang sangat besar bahkan membuat seseorang berprestasi. Sebaliknya jika masa ini dibiarkan berlalu begitu saja, maka seseorang tidak akan menemukan kemanfaatannya di masa depan.

Belum Mampu Bersaing
Banyaknya pesantren dan potensinya dalam turut serta membangun kualitas SDM yang unggul ternyata belum mampu membawa Indonesia pada tingkat yang lebih tinggi. Kualitas SDM Indonesia belum mampu bersaing dengan SDM dari negara lain terutama negara-negara maju. Bahkan masih kalah dengan negara tetangga seperti Thailand dan Filipina.
Terdapat setidaknya 2 faktor yang memengaruhi kualitas SDM. Pertama, kesehatan yang terjamin. Kesehatan merupakan faktor yang paling penting karena berkaitan dengan pemenuhan gizi. Seimbang tidaknya gizi yang diterima tubuh memengaruhi tumbuh kembang seseorang terutama fungsi otak yang berkaitan dengan kecerdasan. Jika kebutuhan gizi terpenuhi dengan baik, maka akan melahirkan anak-anak yang sehat dan cerdas pula. Anak yang sehat cenderung dapat menerima dan menyerap materi pelajaran dengan baik dan mempunyai daya tahan tinggi.
Faktor tersebut menurut hemat penulis kurang atau tidak diperhatikan oleh kebanyakan pesantren yang ada di Indonesia. Terutama pesantren yang masih memegang sistem model tradisional. Kebanyakan pesantren dengan model seperti ini menerapkan sistem tirakat dengan makan seadanya tanpa memerhatikan pemenuhan kebutuhan gizi.
Padahal pemenuhan gizi merupakan sesuatu yang dianjurkan dalam Islam setelah verifikasi kehalalannya yaitu halaalan thayyiban. Artinya halal lagi baik. Maksud dari baik tersebut adalah bergizi. Jadi, makanan yang dimaksud adalah makanan yang halal dan bergizi.
Kedua, pendidikan yang berkualitas dan bermutu. Pendidikan masih menjadi isu utama yang membayangi negeri pertiwi. Berkali-kali sistem kurikulum diubah untuk mendapatkan sistem terbaik yang mampu menghasilkan generasi unggul. Namun, sampai sekarang pendidikan di Indonesia belum bisa dikatakan maju.
Sistem pendidikan di Indonesia bersifat sentralis atau mengacu pada sistem kurikulum yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Akan tetapi pesantren merupakan lembaga yang dikecualikan. Basis pendidikan pesantren adalah ajaran-ajaran Islam. Umumnya pesantren memakai pengajaran kitab kuning sebagai media. Adapun cara yang digunakan dalam penyampaian materi kebanyakan adalah bandongan atau sorogan.
Bandongan atau sorogan merupakan sistem yang menempatkan guru/kyai menjadi pusat dari segala pengetahuan, sedangkan anak didiknya duduk melingkar dan menyimak. Sistem pendidikan pesantren yang seperti itu menurut hemat penulis sangat tidak efektif. Sebab, dari sekian banyak anak didik yang mendengarkan, hanya beberapa yang dapat memahami secara keseluruhan isi materi yang disampaikan.

Strategi Baru
Melihat adanya potensi yang besar dalam pesantren sebagai lembaga swadaya SDM, serta problematika yang melingkupinya, maka diperlukan pembaruan-pembaruan. Pembaruan tersebut harus dilakukan secara menyeluruh agar memperoleh hasil yang maksimal. Memang untuk melakukan pembaruan memerlukan biaya yang lebih besar. Namun, bukan tidak mungkin tidak bisa dilaksanakan.
Salah satu pesantren yang melakukan terobosan baru atas masalah SDM tersebut adalah Pesantren Alam Nurul Furqon Rembang. Pesantren ini melakukan upaya-upaya agar kadernya menjadi SDM yang berkualitas dengan menjamin mutu kesehatan dan sistem pendidikan yang terkontrol. Pesantren tersebut memberlakukan konsep mandiri dua sisi. Pertama, mandiri secara financial. Kemandirian ini dibentuk dengan cara melatih dan mendorong santri untuk menjadi pengusaha. Kedua, mandiri secara intelektual. Mereka tidak hanya menjadi pendengar pasif yang tidak paham. Namun, mereka diberi kesempatan berbicara menyampaikan apa yang mereka pahami bahkan mereka diperbolehkan mengkritik. Cara ini dilakukan untuk malatih daya kritis para santri, sehingga kemampuan berpikir mereka terasah tajam.

———– *** ————-

Tags: