Perihal Menjadi Mualaf Santun

Buku MualafJudul    : Mualaf: Kisah Para Penjemput Hidayah
Penulis  : Steven Indra Wibowo
Penerbit  : Tinta Medina, Surakarta
Tebal    : 148 Halaman
Cetakan  : I, April 2015
ISBN    : 978-979-045-801-7
Peresensi  : Muhammad Itsbatun Najih*
Alumnus UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta

Urusan agama bersifat personal-privasi. Hanya melibatkan si hamba dengan Tuhan. Acapkali iman kadang naik-turun. Wajar bila agama menyeru memelihara iman sampai tiba ajal. Tapi, iman terus berproses. Tidak berlebihan bila setiap manusia pernah mengalami pergulatan batin tentang hakikat kehidupan, agama, dan Tuhan.
Setidaknya ada dua tipikal manusia dalam menghadapi gejolak iman. Pertama, mensambillalukan bersitan pikiran yang sekadar dianggap bisikan iblis atau pikiran nakal bak remaja yang sedang mencari jati diri.  Namun, tidak sedikit yang terus-menerus berproses. Meyakini bahwa gejolak iman perlu dituntaskan agar menghasilkan ritus ibadah yang benar-benar berkualitas sehingga merembes pada kesalehan laku keseharian secara istikamah. Termasuk kelompok ini ialah barisan para mualaf.
Selepas bersyahadat, kisah 25 mualaf dalam buku Mualaf ini menyajikan gambaran bagaimana mereka teramat kukuh beragama, totalitas dalam menghamba. Tidak berlebihan bila dalam ritus maupun semangat mengkaji ilmu agama, sekonyong-konyong mengalahkan terhadap mereka yang sudah sedari kecil memeluk Islam.
Keputusan berpindah agama merupakan hal pelik. Mengingat fenomena macam itu sedikit banyak mendapat resistensi sosial dan redupnya karir. Meski begitu, nyatanya mereka sanggup menghadapi kenyataan diusir, dikucilkan, dan di-PHK. Kesanggupan menerima konsekuensi itu pastilah menyimpulkan bahwa mereka berislam memang berdasar panggilan jiwa.
Bagaimanapun juga, perkara iman adalah perkara di luar nalar. Lebih sering berurusan pada orientasi pengalaman batin. 25 mualaf ini berislam melalui ragam jalan: lingkungan pergaulan, baca buku, mimpi, dan permenungan. Namun, juga ada yang berislam setelah agama ini dicap agama teroris tersebab Tragedi 9/11. Mereka lantas mempelajari Islam dan mengamati laku muslim kebanyakan sebagai bentuk konfirmasi informasi. Ternyata mereka justru mendapatkan bahwa Islam mengajarkan penghormatan terhadap si liyan. Dan, hanya beberapa muslim yang berbuat teror ketimbang miliaran muslim di seantero jagat yang terus menyemai perdamaian.
Perlu dimaklumi, bahwa di setiap agama pasti berpunya pemeluk agama yang kiranya pas disebut sebagai oknum. Merekalah yang terlalu fanatis terhadap agamanya secara membabi-buta sembari terus mencari celah kelemahan teologis agama lainnya. Ironisnya, fanatisme itu kadung berwujud aksi anarkis dan laku teror. Ujungnya, oknum-oknum beragama itulah yang membikin agama serta pemeluk mainstream-nya harus menanggung getahnya.
Oleh karena itu, dalam catatan penutupnya, Steven Indra Wibowo lekas beramanat bahwa hendaknya setiap muslim menampilkan laku persatuan, mengabaikan perbedaan (hal: 147). Toh, banyak yang menjadi mualaf lebih karena keterpesonaan terhadap laku luhur muslim. Seorang mualaf menceritakan ketertarikan pada Islam karena ia merasa dihormati dengan tidak pernah dipanggil “hai anak kafir!” (hal: 143). Melainkan dengan jalan merangkul bak saudara serta mengajak berdikusi. Berdiskusi pun dilakoni dengan bahasa santun dan saling menghargai prinsip dogma ajaran agama masing-masing.
Kini, Steven mendirikan komunitas bagi mualaf di Indonesia yang berpusat di Masjid Sunda Kelapa, Jakarta dan aktif di jagat maya. Sehingga para mualaf dapat menemukan wadah baru dan semangat hidup anyar. Namun, dengan merasa seperti terlahir kembali suci, para mualaf rawan berpotensi menjadi duri dalam daging tubuh umat Islam dengan semisal menjadi gampang membidahkan dan menyesatkan kelompok muslim yang tidak sepaham dengan paham keislamannya. Sayangnya, Steven juga terjebak pada gambaran ini (hal: 13).
Pengisahan mualaf bagaimanapun bentuknya tetap dirasa sulit untuk bersih dari ketersinggungan pada doktrin agama lain; berkesan memojokkan agama yang ditinggalkan. Para mualaf hendaknya arif dalam bertutur perihal kemualafannya. Jangan sampai kegairahan bercinta pada agama baru membuncahkan kebencian pada agama lama.  Ketika Islam berada pada dimensi mayoritas, pengisahan mualaf sejatinya merupakan pengisahan “standar” dan “aman” dengan pula membanjirnya buku-buku bertema sejenis dalam beberapa waktu belakangan ini.
Tapi, sebaliknya, apakah pembaca kita juga siap dengan menyeruaknya bacaan kisah tentang mereka yang meninggalkan Islam. Di tengah belum jelasnya koridor Islamisasi-Kristenisasi, sensitivitas inilah yang perlu dicermati secara bijak agar tidak menimbulkan kebisingan dalam konteks bersama-sama menjaga pluralitas dan kebinekaan di negeri ini.

                                                                                                       ——————- *** ——————-

Rate this article!
Tags: