Pesan untuk Umi

Oleh :
Rofiatul Adawiyah

Meski belum menikah, Aku sering mengingatkan kepada siapapun; kepada mereka ialah saudara dan teman-teman sebayaku yang memutuskan untuk menikah di usianya yang terbilang masih dini. Aku mengatakan kepada mereka bahwa seorang anak adalah titipan, tetapi bukan berarti mereka dapat memberikannya kepada siapa saja yang merasa sanggup untuk menjaga dan merawat anak tersebut. Sebab, maksudku tidak begitu.
Malam itu, Aku mengetahui suami dari seorang teman kecilku baru saja tiba di rumahnya. Seorang suami atau laki-laki yang usianya masih dua tahun dibawahku, begitu pun dengan teman kecilku tersebut. Aku mengetahui laki-laki itu sedang berusaha memasukkan sepeda motornya melalui pintu masuk disamping rumahnya. Aku juga mengetahui bahwa laki-laki itu bekerja di salah satu koperasi yang terletak tidak jauh dari daerah kami. Sebab itu, laki-laki itu tampak lesu karena telah bekerja seharian. Setelah berhasil memasukkan sepeda motornya, laki-laki itu pun menutup pintu rumahnya. Sementara, Aku dan Bapak terus berjalan kaki melalui rumah tersebut menuju toko Yu Jum. Aku membeli satu buah es batu dan satu bungkus rokok apache untuk Bapak yang menungguku di luar toko Yu Jum. Setelah mendapatkan barang-barang keinginan, kami pun kembali melalui rumah yang sama, tanpa membahas apapun dan siapapun.
Tiba di rumah, Aku segera memotong dan memasukkan bagian es batu kedalam gelas yang berisi air; yang telah diisi sebelumya, lalu meminumnya sedikit demi sedikit di depan laptop. Dinginnya tidak begitu terasa, Aku malah sibuk memikirkan kebahagiaan banyak orang tentang; bahagianya mendapatkan pasangan, buah hati serta kehidupan yang baik-baik saja. Disamping itu, Aku sadar bahwa kehidupanku yang monoton memang tidak akan menarik bagi siapapun, termasuk diriku sendiri. Aku juga terlalu cepat menolak kehadiran seseorang yang hanya basa-basi; tidak pernah menunjukkan pemikirannya tentang bagaimana cara yang baik membangun rumah tangga. Aku tidak tahu; apakah tindakanku tersebut merupakan tindakan yang salah dalam hidup, tetapi Aku juga tidak ingin membuang waktuku dengan sia-sia. Aku cukup lelah dengan kegagalanku melepaskan diri dari seseorang yang begitu berharga di masa lalu, sehingga tidak mudah bagiku untuk menerima seseorang yang baru; yang belum diketahui tujuan hidupnya.
Kata orang; pikiran-pikiran semacam itu dapat disebut overthinking. Adapun orang-orang yang lain menyebutnya insecure. Baiknya, Aku selalu mengalihkan pikiran-pikiran yang tampak tidak percaya diri itu dengan bersyukur atas kesehatanku, kesehatan kedua orangtuaku dan kesehatan orang-orang terdekatku. Aku juga bersyukur atas pendidikanku yang akan segera selesai. Akan tetapi, Aku mengurungkan niat untuk memperbaiki tugas akhirku malam itu. Tugas yang biasa menguras banyak tenaga dan pikiranku. Aku memutuskan untuk mengistirahatkan diri dari segala macam bentuk pemikiran sebagai healingku; yakni istilah yang sedang banyak dibicarakan orang-orang dalam menyembuhkan dirinya masing-masing. Dengan demikian, Aku merasa cukup dengan tidak lagi meminum es batu di gelasku. Aku beranjak menuju tempat tidur.
***

Pagi-Pagi sekali, sejumlah orang telah mengaku bahwa mereka baru saja menyaksikan pertengkaran antara teman kecilku dengan suaminya. Pakde yang datang meminjam cangkul milik Lek Bahri menyaksikan teman kecilku telah melemparkan batu pada bagian punggung suaminya. Bude yang ikut serta menyusul dibelakangnya, juga mengatakan bahwa suami dari temanku itu menangis dan pergi untuk sementara. Tidak lama kemudian, Ibuku pun menyusul dan mengatakan hal yang sama. Sementara, Aku yang baru saja bangkit dan tidak mengetahui pertengkaran tersebut, merasa tidak sanggup untuk menanggapinya. Akan tetapi, sikap Ibu seakan-akan memaksaku untuk mengeluarkan kata-kata yang menunjukkan bahwa aku dapat menerima pandangannya.
“Seharusnya, seorang perempuan tidak boleh seperti itu pada laki-laki.” ucap Ibu.
“Suami maksud Ibu?” tanyaku.
“Sudahlah Buk! Kita kan tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi.” ucapku.
“Aku rasa temanku pasti memiliki alasan tersendiri, Buk. Barangkali, terdapat orang ketiga diantaranya. Kita tidak tahu persis, bukan?” sambungku.
“Iya juga sih, Nduk.” sahut Ibu, lalu beliau segera menuju kamar mandi karena merasa sakit perut. Sementara, Aku yang tidak ingin salah dalam memahami teman kecilku beserta suaminya segera mencari tahu penyebab pertengkaran mereka. Aku mencoba mendatangi rumahnya, tetapi hanya bertemu dengan adik sepupu dari teman kecilku itu di persimpangan jalan masuk pekarangan rumahnya.
“Ada masalah apa, dik?” tanyaku sambil berdiri.
“Apakah ada orang ketiga?” tanyaku lagi.
“Aku rasa, semalam baik-baik saja.” ucapku.
“Aku juga kurang tahu, Mbak.” jawab Adik Sepupu dari teman kecilku itu yang baru saja selesai menyapu halaman rumahnya.
“Tapi, belakangan ini Mas Daus memang keterlaluan sih, Mbak.” sambungnya dengan nada sedikit berbisik-bisik.
“Keterlaluan bagaimana dik?” tanyaku yang ikut serta dengan volume lebih pelan dari sebelumnya.
“Mas Daus mulai berubah, semakin malas dan tidak lagi mau membantu, Mbak Umi.” ucapnya.
“Mungkin saja kelelahan, dik.” ucapku.
“Kelelahan apa sih, Mbak.” sambungnya; entah apa maksud dari perkataan tersebut.
“Sekarang ada dimana, dik?” tanyaku.
“Di rumahnya.” jawabnya.
“Kabarnya sih, mereka akan segera bercerai, Mbak.” sambungnya.
“Duh, kok sampai mau bercerai sih, dik? Apakah tidak bisa dibicarakan baik-baik?” tanyaku.
“Sepertinya sudah tidak bisa Mbak! Belakangan ini, Mas Daus itu juga sering pulang dalam keadaan mabok. Bapakku juga sudah sering mengingatkan, bahkan menyindirnya melalui adikku, tetapi belum berubah.” jawabnya.
“Kasihan anaknya, dik. Semoga saja, mereka tidak akan berpisah.” sahutku.
“Ya, bagaimana lagi, Mbak. Lagi pula, selama ini sejumlah keperluan anaknya sudah dibantu oleh Bapakku. Bahkan kalau boleh, Bapakku akan membawa anaknya itu ke Bali.” ucapnya.
“Hmm, begitu ya. Baiklah, kamu selesaikan saja pekerjaanmu, dik. Aku pulang dulu, ada yang perlu aku kerjakan di rumah. Salam untuk Umi, ya.” ucapku seraya meninggalkan tempat.
Aku tahu bahwa pernikahan mereka memang diawali dengan kabar miring yang tidak dibenarkan secara agama maupun norma di masyarakat. Kabar miring itu menyebutkan bahwa mereka merupakan salah satu pasangan yang ketahuan berpacaran di sebuah hotel di daerah kota. Hal tersebut membuat mereka diharuskan menikah saja untuk menghindari hal-hal tidak diinginkan terjadi. Meski teman kecilku ini baru saja kuliah, tetapi ia harus memutus kuliahnya di tengah jalan sekaligus. Akan tetapi, aku juga tahu bahwa perceraian memang tidak dilarang dalam islam, tetapi juga bukanlah penyelesaian satu-satunya dari permasalahan yang masih bisa dibicarakan baik-baik, secara kekeluargaan, demi anak.
“Assalamualaikum Umi,
Maaf, Aku tidak bermaksud ikut campur urusan dalam rumah tanggamu. Segala keputusan memang ada di tanganmu, tetapi bolehkah aku berpesan:
Tolong, jangan membuat keputusan disaat sedang emosi. Jangan lukai anakmu dengan perpisahan! Aku telah mengetahui dari teman-temanku yang berasal dari keluarga Broken Home bahwa banyak dari mereka yang menjadi berpikir bahwa mereka tidak merasa bahagia karena adanya istilah broken home dalam hidupnya.
Semoga permasalahanmu segera mendapatkan solusi terbaiknya, ya. ” tegasku kepada Umi teman kecilku melalui pesan WhatsApp.

———- *** ————

Tentang Penulis :
Rofiatul Adawiyah
Seorang anak perempuan yang terlahir dari kecil di Situbondo, 18 Agustus 1998. Pemilik blog Jalanpikiran.

Rate this article!
Pesan untuk Umi,5 / 5 ( 1votes )
Tags: