Petani Jombang Berharap Harga Gabah Kering Sawah Naik Jadi Lima Ribu Rupiah

Petani di Jombang saat mengolah lahan untuk tanam padi beberapa waktu lalu. (arif yulianto/bhirawa).

Jombang, Bhirawa.
Petani di Kabupaten Jombang berharap harga Gabah Kering Sawah (GKS) bisa naik menjadi Rp. 5000,- per Kilogram dari harga sekarang sebesar Rp. 4600,- hingga Rp 4.700,- per Kilogram Gabah Kering Sawah. Hal itu seperti dikatakan petani asal Desa Pojok Kulon, Kecamatan Kesamben, Kabupaten Jombang, Hudi, Rabu (01/03).

Menurut Hudi, dengan harga GKS saat sebesar Rp. 4600,- hingga Rp. 4700,- per Kilogram, petani hanya mendapatkan untung sedikit dari biaya produksi yang telah dikeluarkan.

“Harga gabah pasaran saat ini Rp. 4600,- sampai Ro. 4700,- (per Kilogram) kering sawah, beras dari penggilingan Rp. 9.500,-, petanine bengok-bengok (petani teriak-teriak). Melihat harga segitu yang diuntungkan adalah pemroses, sedangkan petani cuma untung sedikit tentunya, paling tidak (harga gabah kering sawah),” papar Hudi.

“RP. 4800,- sampai Rp. 5000,- (Per Kilogram GKS) itu baru petani bisa merasakan keuntungan,” tandas Hudi.

Hudi berharap, jika pun ditentukan adanya batas atas pembelian gabah petani oleh pemerintah, maka paling tidak harga Rp. 5000,- per Kilogram GKS merupakan batas atas pembelian yang bisa membuat petani untung.

“Jika di bawah itu, ya ‘ngepres’ (mepet) dengan biaya operasional yang dikeluarkan petani. Ini kami tentunya tidak ada keuntungan sama sekali. Secara umum memang kebijakan yang jelas ya gudang besar masih ‘manut’ aturan pemerintah, sedangkan swasta lebih sedikit dari itu. Kalau petani tetep kekeh mau minta 5 ribu,” beber Hudi.

Sementara itu, Dekan Fakultas Pertanian Universitas Darul Ulum (Undar) Jombang, Muhammad Sofwan S.P M.Si menilai, harga gabah pada posisi saat ini mengalami penurunan, padahal akan menghadapi panen raya..

“Kalau berdasarkan HET dengan adanya surat Edaran 47, tahun 2023. Mudah-mudahan ada peningkatan. Pada prinsipnya harga kering sawah atau harga kering panen 4550/Kilogram padahal itu ‘selling price’ atau harga atas,” ulas Sofwan.

“Biasanya harga akhir yang ditentukan kepada pelanggan atas sebuah produk atau layanan yang dijual. ‘Selling price’ memberikan efek langsung kepada penjual karena nilai tersebut juga menjadi faktor untuk keuntungan bisnis. Sementara untuk harga bawah Rp. 4200,- ini sangat merugikan petani,” ulasnya lagi.

Bagi Sofwan, pembatasan atau penentuan batas atas pembelian gabah petani itu hal yang bagus, namun seharusnya pemerintah juga memperhatikan dari hulu sampai hilir.

“Jangan memperhatikan hilir saja, ternyata harga hilirnya sudah turun, hulunya tidak diperhatikan. Bagaimana sarana pertanian, bagaimana ketersediaan pupuk, kondisi lahan dan lain sebaginya,” kata Sofwan.

Sofwan juga menambahkan, seharusnya kebijakan pembangunan pertanian kembali kepada pengaturan dari hulu sampai hilir terkait produksi apapun di bidang pertanian.

“Bahkan petani kalau ditanya apakah perlu pembatasan itu perlu, saya rasa mereka (petani) tidak memerlukan pembatasan itu. Karena yang lebih perlu lagi adalah bagaimana tentang penanganan di hulunya yang lebih baik lagi, ya dari hulu sampai hilir diperhatikan,” tutup Sofwan.(rif.hel)

Tags: