Pilkada dan Harapan Masyarakat

Evi Rochanatul MaghfirohOleh:
Evi Rochanatul Maghfiroh
Mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa Arab Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan UIN Walisongo Semarang dan Alumnus MA Raudlatul Ulum Guyangan Trangkil Pati

Pemilihan kepala daerah (PILKADA) secara serentak akan diadakan pada tahun ini. Hal tersebut merupakan hajatan besar bagi seluruh rakyat indonesia yang termaktub dalam undang-undang no:32 tahun 2004. Pada tahun ini, pemerintah akan melaksanakan pilkada di 244 diseluruh indonesia. Yang meliputi tujuh pemilihan gubernur, 35 pemilihan walikota, dan 202 pemilihan bupati. Dengan adanya pemilihan ini, pastilah seluruh masyarakat ikut terlibat dan membutuhkan dana yang sangat besar.
Pilkada untuk tahun ini memang sedikit berbeda dari pilkada tahun lalu, perbedaan tersebut minimal bisa terlihat dari sisi mekanisme. Pilkada tahun ini mungkin akan lebih berbeda lagi seandainya MK (Mahkamah Konstitusi) tak mengabulkan yudisial review terkait beberapa peraturan pilkada, ruang dinasti politik lebih bisa diminimalisir, akan tetapi tidak relevan lagi membincang hal itu. Sebagai warga negara yang menghormati hukum, maka tentunya kita harus menerima aturan pilkada hasil dari yudisial review di MK.
Pilkada hanya merupakan ajang pergantian pemimpin di tingkat daerah. Hal tersebut tentu mendapat perhatian tersendiri dari masyarakat. Harapannya akan ada perubahan pasca pilkada. Itulah yang ada dalam benak masyarakat sekecil apapun itu. Bahkan bila pesimisme lebih besar dari harapan tersebut, di sisi lain kesejahteraan daerah juga akan dipengaruhi oleh kualitas kepala daerah. Jika kita ingin objektif melihat ada beberapa kepala daerah yang masyarakat relatif berhasil membangun daerahnya, walaupun banyak pula yang gagal dalam memimpin.
Seperti Rasulullah yang pernah memberhentikan sahabat Ila bin al-Hadrami ketika menjadi seorang amil. Beliau diBahrain karena mendapat utusan dari sahabat Abd Qays mengadukannya. Kemudian Umar bin Khathab memberhentikan Sa’ad bin Abi Waqash karena pengaduan. Dengan adanya penunjukan wali (kepala daerah) oleh kepala negara bukan berarti tidak bisa diganggu gugat dan mengenyampingkan aspirasi serta pengaduan rakyat.
Dengan adanya pelaksanaan pilkada, tentu masyarakat mengadakan kampanye. Momen tersebut menjadi ruang bagi setiap calon pasangan yang akan menjadi pemimpin kepala daerah untuk mewujudkan masyarakat menjadi percaya, bukan membeli kepercayaan masyarakat. Dengan kata lain, perlu dipertegas adanya dua hal yang berbeda. Untuk mewujudkan masyarakat menjadi percaya bisa dilakukan melalui sosialisasi secara real dan rasional dan tidak mengada-ngada sesuai dengan situasi daerah sehingga bisa dipertanggungjawabkan. Sedangkan membeli kepercayaan masyarakat semuajurus pemenangan pilkada akan digunakan, termasuk menciderai wibawa pilkada. Jika figur ini tetap dijalankan dan terpilih, maka kepercayaan masyarakat akan hilang.
Dilihat dari efek yang lain, aturan perubahan pilkada cukup membawa kemaslahatan. Seperti, efesiensi masalah anggaran. Denagn adanya pelaksanaan pilkada serentak, maka biaya pilkada relatif bisa ditekan. Akan tetapi, untuk pilkada kali ini juga tidak  hanya ingin ingin mejadi ajang penghematan anggaran saja. Sebenarnya ada hal penting yakni harapan masyarakat.
Harapan akan perubahan disuatu daerah, sekecil apapun tentu perlu dihargai, tidak hanya itu saja, bahkan didorong sehingga mewujud dalam kenyataan, kecerdasan masyarakat juga dibutuhkan. Sebab, apapun rayuan para calon kandidat pilkada. Karena masyarakat nantinya juga memilih dan menentukan bilik suara. Dengan adanya tersebut, diharapkan calon kandidat pilkada bisa bersikap dewasa dalam keterpilihan pemilihan pilkada ini. Semoga pilkada serentak pertama ini, mampu menjaga harapan masyarakat.
Wallahu a’lam bi al sawab.

                                                                                        ——————– *** ——————–

Rate this article!
Tags: