Pilkada Serentak, Melawan Dominasi Petahana

Oleh :
Umar Sholahudin
Dosen Sosiologi Unmuh Surabaya, Mahasiswa S-3 FISIP Unair Surabaya

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak gelombang kedua akan dilaksanakan pada tanggal 15 Februari 2017. Pilkada serentak kali ini akan diikuti  101 daerah, yang terdiri atas 7 provinsi, 76 kabupaten, dan 18 kota. Salah satu yang cukup meranik untuk dicermati adalah masalah calon petahana. Berdasarkan data KPU, dari 101 daerah yang menggelar pemilihan kepala daerah (pilkada), setidaknya 67 daerah atau 66 persen akan diikuti pasangan calon (paslon) petahana dengan total 90 paslon. Dari daerah yang diikuti petahana tersebut, ada 19 daerah di mana kepala dan wakil kepala daerah maju bersama kembali dan 15 daerah pecah kongsi. Sebagian besar calon petahana mengambil jalur partai politik yaitu sebanyak 83 pasangan calon dan sisanya ?tujuh pasangan calon mengambil jalur perseorangan,
Secara matematis politik, para analis politik terutama dari lembaga survey memprediksi, dengan melihat beberapa survey yang telah dilakukan, Paslon Petahana setidaknya memiliki peluang cukup besar di banding Paslon lainnya untuk memenangkan kontestasi politik elektoral mendatang. Selain berpengalaman, calon petahana memiliki modal dan akses sumber sosial-politik dan ekonomi. Pertama, Modal sosial-politik ini setidaknya berupa petahana tersebut sudah melakukan “kampanye politik” cukup lama, yakni lima tahun sebelumnya. Bahkan mungkin sudah memiliki akses dan jaringan sosial dalam masyarakat. Warga masyarakat setidaknya sudah mengenal calon petahana di daerah masing-masing, sehingga saat ini sang petahana hanya bekerja untuk, bagaimana mengubah popularitas menjadi elektabilitas.
Kedua, pasangan petahanatersebut juga memiiki modal dan akses ekonomi yang cukup besar. Bahkan sebagian besar calon petahana diusung partai penguasa di daerah masing-masing yang memiliki akses politik-kekuasaan dalam memanfaatkan kewenangan dan kekuasaannya sebagai “penguasa negeri ini”. Tidak sedikit dana-dana di APBD yang potensial dimanfaatkansang petahana untuk tujuan dan kepentingan politik Pilkada. Dengan dalih program Pemda,sang petahanacukup lihai memasukan kepentingan politiknya dalamsetiap program populisnya, seperti program pengentasan kemiskinan atau pada pemanfaatan alokasi dana hibah yang ada pada pos gubernur.
Dengan modal politik dan ekonomi yang cukup besar tersebut, sebagian orang menilai pasangan petahana sulit dikalahkan. Ini yang menjadikan pasangan petahana merasa percaya diri berlebihan (gedhe roso). Bahkan, Parpol pengusung dan calonnya pada suatu kesempatan sangat percaya diri bahwa dirinya akan memenangkan Pilkada 2017 ini dengan satu kali putaran. Rasa percaya diri ini mungkin didasarkan pada fakta yang terjadi di beberapa Pilkada di daerah lain, dimana hampir 70-80% calon petahana ditingkat kab/kota berhasil memenangkan Pilkada.
Kuat dan tingginya tingkat elektabilitas calon petahana di Pilkada serentak kali ini, bukan berarti menjadikan pasangan non petahana patah hati. Atau bukan berarti pasangan incumbent tidak bisa dikalahkan. Perlu dicatat, ada sebagian Pilkada dimenangkan non-petahanabahkan dari dari unsur perseorangan,dan bahkan  ada yang dari nonpartai mapan. Sebut saja Pilkada Jabar (non petahana), Garut (perseorangan), dan Banyuwangi (non partai mapan) dan lain-lain.
Melawan Petahana
Fakta politik tersebut setidaknya bisa menjadi penyemangat bagi pasangan non-petahanauntuk lebih berfikir cerdas dan bekerja keras, kreatif untuk membalikkan pameo politik bahwa calon petahanasulit dikalahkan. Dalam konteks ini, pasangan non- petahanaharus belajar banyak dari kemenangan pasangan non-petahanadan kekalahan pasanganpetahana. Belajar dari kemenangan dan kekalahanpolitik calon lain inilah yang setidaknya bisa dijadikan senjata politik yang ampuh untuk melawan kuat dan dominannya calon petahanadi Pilkada kali ini.
Setidaknya ada beberapa ikhtiar politik yang bisa dilakukan pasangan non petahanauntuk melawan domansi politik petahana, diantaranya ; Pertama, memanfaatkan pemilih pemula, dimana dalam Pilgkada ini potensi pemilih pemula mencapai 20% dari total jumlah pemilih yang ada. Calonnon- petahanaharus mampu meyakinkan pemilih pemula dengan menawarkan program aksi yang riil yang menjadi kebutuhan mereka. Kedua, memanfaatkan swing voter. Jumlah kategori pemilih ini cukup besar, mencapai 10-15%. Untuk pemilih ini, juga dibutuhkan perlakuan yang beda dengan kategori pemilih yang lainnya. Ketiga, memanfaatkan pemilih golput. Sebagai catatan, pada pilkada-pilkada sebelumnya lalu angka golput di Jakarta mencapai 30-40%. Angka yang cukup besar yang dapat dimanfaatkan untuk mengkatrol perolehan suara non- petahana.
Jika calon non- petahana mampu memanfaatkan ketiga potensi suara tersebut, penulis yakin kekuatan calon petahanabisa dikalahkan. Calon non-petahana harus mampu memberikan sesuatu yang “beda”, menawarkan agenda perubahan yang riil, menawarkan janji-janji politik yang realistis dan terukur, yang kesemuanya bisa diterima pemilih. Selain itu, calon non-petahanaharus mampu meyakinkan ketiga kategori pemilih tersebut, bahwa janji-janji politik yang dikampanyekan bukan basa-basa politik, tapi janji-janji politik tersebut sangat realistis dan terukuryang bisa dinikmati pemilih.
Selain itu, calon non-petahana mendesak kepada penyelenggara Pilkada, yakni KPUD dan Panwasda agar bertindak jujur dan adil. KPU harus menjadi “wasit politik” yang imparsial dan berani bertindak tegas terhadap pelanggaran yang potensial dilakukan calon petahana. Calon non-petahana, juga harus mendesak agar Panwas bekerja secara professional dan tidak seperti macan ompong, yang setiap ada pelanggaran politik dan kampanye cenderung permisif sebagaimana yang terjadi pada Pilkada sbelumnya. Panwas harus lebih mengawasi secara ketat calon-calon petahana, karena calon petahanayang memiliki peluang untuk melanggar lebih besar dibanding calon non-petahana. Meskinpun berhenti sementara saat kampanye dari jabatannya sebagai gubernur, calon petahana masih memiliki hubungan emosionalitas, jaringan dan akses politik dan ekonomi ke birokrasi.
Dengan kata lain, dengan didukung pelaksanaan Pilkada yang LUBER dan Jurdil dan pengawasan yang ketat, bukan tidak mungkin calon non petahanamampu mengalahkan calon petahana, atau setidaknyabisa bersaing secara ketat dengan calon petahana. Dan peluang calon non petahanauntuk menang atau menjadikan Pilkada dua putaran bukanlah sebuah utopia politik.

                                                                                                         ————– *** —————-

Tags: