Piutang Pedagang Pasar Wonoasih Kota Probolinggo Capai Rp2,9 Miliar

Pedagang pasar Wonoasih harap-harap cemas.[wiwit agus pribadi/bhirawa]

Kota Probolinggo, Bhirawa
Revisi Perda tentang Retribusi Jasa Umum Kota Probolinggo belum jelas. Kajian merevisi perda itu sebenarnya sudah diselesaikan oleh Dinas Koperasi, Usaha Mikro, Perindustrian dan Perdagangan (DKUPP) setempat. Namun, hingga kini belum turun persetujuan dari Wali Kota Probolinggo Hadi Zainal Abidin. Hal ini diungkapkan wakil ketua Komisi II Heru Estiadi, Rabu (8/7).

Tidak jelasnya revisi perda ini, berakibat fatal pada pedagang di sejumlah pasar. Utang retribusi pedagang kian membengkak. Jika dibiarkan, maka kondisi ini akan kembali menjadi temuan BPK tahun depan. Hal ini terungkap dalam rapat dengar pendapat (RDP) Komisi II DPRD Kota Probolinggo.

RDP membahas Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Tahun Anggaran (TA) 2019 bersama DKUPP dan Badan Pengelolaan Pendapatan, Keuangan, dan Aset (BPPKA) Kota Probolinggo. Terungkap bahwa, pedagang di sejumlah pasar di Kota Probolinggo memiliki utang retribusi. Jumlahnya pun sangat besar.

Utang itu muncul karena sejumlah faktor. Di Pasar Gotong Royong, pedagang tidak sanggup membayar retribusi karena nilainya memberatkan. Akhirnya, pedagang pun mencicil pembayaran retribusi. Sementara di pasar lain, pedagang berutang retribusi karena sejumlah bedak tutup. Ada juga yang memang pedagangnya tidak membayar.

Utang pedagang ini kemudian jadi temuan BPK setiap tahun. BPK mencatat hal ini sebagai piutang bagi Pemkot Probolinggo dalam hal ini DKUPP. Karena itu, harus diselesaikan. Tercatat, sejak tahun 2015 BPK mencatat adanya piutang retribusi ini. Dan hingga tahun 2019, masalah ini tidak kunjung terselesaikan. Sehingga, pada LHP BPK TA 2019, kembali menjadi temuan BPK.

Komisi II DPRD Kota Probolinggo pun mempertanyakan penyelesaian masalah ini karena tak kunjung tuntas. “Dalam LHP BPK halaman 10 tercantum tindak lanjut masalah ini yaitu dilakukan kajian penurunan tarif retribusi pasar. Namun, sampai penulisan laporan ini tidak ada persetujuan dari wali kota. Maksudnya apa ini?” tanya Wakil Ketua Komisi II Heru Estiadi. “Apakah tidak bisa dilakukan revisi dengan mengubah tipe pasar. Misalnya Pasar Gotong Royong dari tipe kelas I diubah ke kelas II,” tandasnya.

Ketua Komisi II Sibro Malisi saat ditemui terpisah menjelaskan, sampai saat ini proses revisi Perda Retribusi Jasa Umum tidak jelas. Padahal, perda ini penting. Sebab, di dalamnya mengatur tentang tarif retribusi pasar. “Hasil kajian dari DKUPP sudah ada, tapi persetujuan wali kota belum ada. Kalau dibiarkan begini terus, utang retribusi akan terus meningkat dan kembali menjadi catatan BPK,” ujarnya.

Berdasarkan data yang dimiliki Komisi II, pedagang di enam pasar memiliki utang retribusi pasar. Utang ini otomatis, menjadi piutang retribusi bagi Pemkot Probolinggo. Yaitu di Pasar Baru, Pasar Kronong, Pasar Randu Pangger, Pasar Gotong Royong, Pasar Mangunharjo, dan Pasar Wonoasih. Piutang retribusi terbesar terjadi di Pasar Gotong Royong. Akumulasinya dari tahun 2015-2019 mencapai Rp 2.959.581.270.

Disusul piutang Pasar Wonoasih dengan periode yang sama, mencapai Rp 188.432.175. Lalu, piutang Pasar Mangunharjo Rp 112.303.600; Pasar Randu Pangger sebesar Rp 55.095.000. Selanjutnya, piutang Pasar Baru mencapai Rp 48.008.910. Dan piutang paling kecil ada di Pasar Kronong sebesar Rp 17.391.000. “Yang Gotong Royong piutangnya ini sempat mengalami penurunan, tapi naik lagi pada tahun 2019. Pada 2017 sebesar Rp 762 juta, tahun 2018 mencapai Rp 510 juta, dan 2019 menjadi Rp 534 juta,” tandasnya.

Jika perubahan tarif retribusi tidak segera dilakukan, Sibro menegaskan, revisi perda ini akan dijadikan inisiatif DPRD. “Kalau tidak segera ditindaklanjuti, lebih baik revisi perda ini menjadi inisiatif DPRD,” tuturnya.

Abdul Rasyid, plt kepala DKUPP Kota Probolinggo membenarkan catatan dalam LHP BPK. Bahwa kajian revisi perda telah selesai dilakukan oleh DKUPP. “Kami sudah melakukan kajian penurunan tarif retribusi pasar. Namun, hingga kini masih menunggu persetujuan dari wali kota,” ujarnya.

Selain itu, pada 2018 ketika dilakukan pemeriksaan BPK, perwakilan BPK telah bertemu dengan pedagang Pasar Gotong Royong. Para pedagang pun telah menyanggupi untuk membayar sesuai ketentuan. “Sayangnya, saat itu tidak ada penentuan sanksi kalau pedagang tidak membayar sesuai ketentuan,” katanya.

Lebih lanjut Sibro Malisi menuturkan, Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara Komisi II DPRD Kota Probolinggo dengan Dinas Koperasi, Usaha Mikro, Perindustrian dan Perdagangan (DKUPP) dan Badan Pengelolaan Pendapatan, Keuangan, dan Aset (BPPKA) mengungkap, retribusi pasar untuk pertokoan besar dan bank yang menempati Pasar Gotong Royong besarnya sama dengan pedagang pasar. Sebab, retribusi yang dikenakan sama yaitu mengacu pada Perda Nomor 3/2011 tentang Retribusi Jasa Umum.

“Untuk pertokoan seperti Indomaret atau bank yang ada di Pasar Gotong Royong, bagaimana penarikan retribusinya. Apakah ada ketentuan khusus atau kerja sama yang dilakukan?” tanya Ketua Komisi II DPRD Kota Probolinggo Sibro Malisi.

Kabid Pendapatan, Badan Pengelolaan Pendapatan, Keuangan dan Aset (BPPKA) Kota Probolinggo Slamet Swantoro menjelaskan, pertokoan besar dan perbankan yang menempati bedak di Pasar Gotong Royong mengikuti tarif retribusi sesuai Perda. “Mereka mengikuti tarif retribusi di perda. Kalau di Pasar Baru Rp 400 per meter persegi per hari untuk kios, toko, dan bedak. Sedangkan di Gotong Royong Rp 250 per meter persegi per hari untuk los, halaman, pelataran, atau penjaja,” ungkapnya.[wap]

Tags: