Potensi Konflik dalam Pilkada Serentak

Umar SholahudinOleh :
Umar Sholahudin
Dosen Sosiologi Hukum FH Unmuh Surabaya

Upaya perbaikan dan penyempurnaan terhadap pelaksanaan Pemilihan kepala daerah (Pilkada) terus dilakukan. Arah perbaikan dan perubahan ini ditujukan agar pelaksanaan demokrasi electoral di tingkat lokal dapat berlangsung lebih demokratis dan menghasilkan pemimpin atau kepala daerah yang lebih berkualitas.
Terkait dengan pemilihan kepada daerah ini, Pemerintah bersama DPR RI akhirnya menyepakati 13 point dalam revisi UU No. 1 tahun 2014 tentang Pilkada. Tiga belas point dalam kesepakatan tersebut diantaranya adalah; masalah pemilihan kepala daerah secara berpasangan, syarat pendidikan minimal SMA, KPU dan Bawaslu didelegasikan sebagai penyelenggara Pilkada, uji publik calon dihapus (dan diserahkan kepada internal parpol), calon kepala daerah yang berasal dari parpol, harus memenuhi 20 persen kursi di DPRD atau 25 persen suara parpol atau gabungan parpol. Sedangkan, bagi calon independen dukungan ditingkatkan menjadi 3,5 persen. Syarat usia tetap seperti yang tercantum dalam UU Pilkada yaitu minimal 30 persen bagi gubernur dan 25 persen bagi bupati/walikota.
Point yang selanjutnya; kemenangan calon ditentukan dengan perolehan suara terbanyak, dan terakhir masalah Pilkada yang dilaksanakan secara serentak. Dalam konteks Pilkada serentak, komisi II DPR RI dan Mendagri setuju menetapkan jadwal Pilkada dengan serentak dimulai pada 2015. Hanya saja, pelaksanaannya dilakukan dengan cara bertahap.Pilkada serentak untuk gelombang pertama akan dilakukan pada Desember 2015 dan semester pertama 2016 untuk kepala daerah yang masa jabatannya berakhir 2015.Pilkada serentak untuk gelombang kedua akan dilaksanakan pada Februari 2017, untuk kepala daerah yang masa jabatannya berakhir semester kedua 2016 dan awal 2017.Pilkada serentak gelombang ketiga akan dilaksanakan pada Juni 2018, untuk kepala daerah yang masa jabatannya berakhir 2018 dan awal 2019.Pilkada serentak gelombang keempat akan dilaksanakan pada 2020 untuk kepala daerah hasil pemilihan 2015.Pilkada serentak gelombang kelima akan dilaksanakan pada 2022 untuk kepala daerah hasil pemilihan 2017. Pilkada serentak gelombang keenam akan dilaksanakan pada 2023 untuk kepala daerah hasil pemilihan 2018. Kemudian dapat dilakukan pilkada serentak secara nasional pada 2027.
Pelaksanaan Pilkada serentak ini akan menjadi sejarah baru dalam politik electoral di Indonesia. Namun demikian, pelaksanaan Pilkada serentak ini memiliki kelebihan dan kekurangan. Salah satu kelebihan yang kerapkali dimunculkan adalah masalah efisiensi. Pilkada serentak berpotensi akan menghemat biaya dan waktu. Selain itu, Pilkada serentak juga untuk menghindari resistensi kejenuhan masyarakat atas berulangkalinya pelaksanaan Pilkada. Beban kerja penyelenggaraan Pilkada serentak memang lebih berat dibandingkan penyelenggaraan satu Pilkada saja, akan tetapi tetap saja lebih efektif untuk menghindari resistensi kejenuhan Pilkada. Selain itu, Plkada serentak dapat dijadikan sebagai instruamen untuk menata sirlukasi elit secara reguler dan menata jalannya pemerintahan daerah dengan lebih baik.
Potensi-Potensi Konflik
Namun demikian, Pilkada serentak bukan tanpa potensi masalah. Salah satu diantaranya adalah potensi kerawanan sosial yang dapat berujung pada gesekan dan konfllik sosial. Setidaknya ada tiga sumber potensi konflik yang mungkin bisa muncul, baik yang sifatnya laten maupun manifest. Pertama, bersumber dari penyelenggara Pilkada, baik KPUD maupun Banwasda, mulai dari tingkat propinsi, kabupaten sampai tingkat TPS. Ini seringkali terkait dengan independensi atau imparsialitas penyelenggara Pilkada. Pengalaman menyebutkan, karena penyelenggara Pilkada bersikap tidak netral atau partisipasan, dapat melahirkan perselsihan dan bahkan konflik antara peserta (parpol), masyarakat/konstituen dengan penyelenggaraan pilkada. Selain itu, adanya regulasi dari KPUD yang tidak jelas yang dapat menimbulkan perselisihan antar kandidat atau parpol, dan juga pemilih (termasuk masalah DPS/T).
Kedua bersumber dari peserta Pilkada (parpol atau independen). Karakter dan wajah parpol yang oligarkhis dan paternalistic, serta kompetisi elit di innercircle yang ketat dapat melahirkan gesekan antara antar elit dan konstituensnnya. Aksi protes kader atau konstituensnya terhadap parpol yang mencalonkan sesoerang tanpa partisipasi politik masyarakat (konstituens), dan munculnya calon titipan dan karbitan dalam parpol dapat melahirkan konflik yang mewarnai Pilkada.
Ketiga, bersumber dari masyarakat pemilih. karakateristik pemilih kita, khususnya di Jawa Timur yang masih tradisional dan paternalistic, yang mana mereka lebih mengedepankan emosionalitas politik daripada rasionalitas politik, ditambah lagi dengan budaya politik massa kita yang belum sattle (mapan dan dewasa); budaya siap menang siap kalah belum begitu mentradisi dalam budaya politik kita. para elit dan massa masih sebatas siap menang, tapi masih sulit untuk menerima kekalahan. Kekecewaan massa konstituen atas kekalahan jagonya, kerapkali diwarnai dengan aksi protes, demonstrasi yang tak terkendali dan berakhir rusuh. Penghormatan terhadap solusi melalui mekanisme konstitusional (baca: hukum) masih rendah. Mereka lebih suka solusi “otot” dariapda “otak”. Karakteristik masyarakat pemilih seperti ini mudah dikompori dan diprovokasi sehingga mudah disulut api
Selain itu juga, perlu juga dipertimbangkan potensi konflik lainnya yakni polarisasi dukungan politik di tingkat massa konstituen. Pemilih atau massa akan terbelah dalam dukungan politiknya ke calon. Dan massa atau pemilih sangat mudah “dipermainkan” oleh elit parpol. Dengan kata lain, Pilkada serentak akan berpotensi menimbulkan polarisasi politik yang tajam yang dapat berakibat pada terjadinya gesekan sosial yang berujung pada konflik sosial.
Dengan merujuk pada tahapan pelaksanaan Pilkada serentak, Jawa Timur akan masuk kloter pertama, yakni akan dilaksanakan pada tahun 2015 ini. Sebanyak 19 Kabupaten/Kota di Jawa Timur bakal menggelar Pemilihan.Karena itu, dengan mencermati dan memetakan potensi-potensi konflik dalam Pilkada tersebut, semua pihak, terutama penyelenggaran Pilkada, parpol dan pemerintah daerah dapat melakukan langkah-langkah antisipatif, setidaknya untuk meminimalisir terjadinya konflik, baik konflik yang bersifat laten maupun manifest.
Untuk itu yang perlu diantisipasi adalah; bagaimana membangun dan menjaga Pilkada yang lebih berintegritas, lebih trasnparan dan akuntabel. Pilkada yang berintegritas harus ditopang oleh komponen-komponen utama yang berintegritas, yakni penyelenggara, parpol, dan pemilih yang cerdas. Aktivitas silahturahim politik antar parpol dan kandidat patut untuk dilakukan dan dikembangkan tak sekedar seremonial politik, penyediaan regulasi dan aturan teknis yang lebih memadai, pola rekruitmen calon/kandidat yang lebih demokratis, dan pendidikan politik rakyat yang lebih mencerahkan dan mencerdaskan.
Jika upaya-upaya tersebut dilakukan, kita berharap potensi konflik pilkada, baik yang laten maupun manifest dapat diantisipasi dan diredam semaksimal mungkin. Kita semua ingin “pesta rakyat” melalui Pilkada ini benar-benar pesta yang memberikan ketenangan dan kesenangan/kegembiraan, dan kemanfaatan politik bagi masyarakat. Pilkada serentak yang damai dan berintegritas akan dapat melahirkan kemataangan dalam berdemokrasi.
Akhirnya, semua pihak sangat berharapdanberkewajiban, Pilkada serentakdapatterlaksanadengandamaidan melahirkan pemimpin lebih berkualitas untukkesejahteraanmasyarakat. Jangan sampai Pilkada sebagai mekanisme demokrasi pergantian elit daerah berubah jadi pesta “Demo-crazy” yang sarat dengan kekerasan.

                                                                                                —————— *** ——————-

Tags: