PPKM Mikro Untuk Ketangguhan Sosial

Oleh:
Rachmad K Dwi Susilo
Pengajar Mata Kuliah Sosiologi Kebencanaan, Program Studi Sosiologi FISIP Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Ketua Program Studi Sosiologi FISIP UMM dan Alumni Hosei University, Tokyo)

LONJAKAN corona pasca lebaran menguatirkan kita semua. Semua media memberitakan kondisi darurat corona yang ditandai peningkatan angka terpapar di hampir semua kota/kabupaten di Jawa. Kita diambang keterpurukan yang ditunjukkan dari semakin terbatasnya tenaga kesehatan, daya tampung rumah sakit dan tempat isolasi. Belum lagi menghitung anggaran penanganan yang kian menipis. Bisa dipastikan ke depan penanggulangan covid akan semakin rumit.

Untuk itu, strategi responsif dan adaptif harus selalu diupayakan. Di tengah desakan pemberlakuan lock down, Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Mikro tetap menjadi pilihan strategis pemerintah. Juru Bicara Pemerintah Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito pernah menyatakan pertengahan September hingga November 2020, PPKM Mikro terbukti efektif menekan laju penyebaran covid kurang lebih 20 persen.

Bagi pendukung kebijakan, PPKM Mikro menutupi kelemahan lock down. Setidak-tidaknya kebijakan ini melokalisir wilayah dimana ditemukan warga terpapar Covid. Pemberian status daerah juga melokalisir penanganan. Tidak ada lagi kelurahan yang masuk zona merah kemudian mengorbankan gerak kelurahan-kelurahan lain yang berzona hijau. PKM Mikro lebih efisien dari pada mengisolasi satu kota atau kabupaten.

Selain itu, sebagai pelembagaan sosial baru, PPKM Mikro lebih kuat, mengingat Posko sudah berdiri rata-rata pada semua wilayah. Menurut satgas penanggulangan covid, hingga akhir Februari 2021 terdapat 22.832 posko di 30 provinsi di Indonesia.

Sekalipun keberhasilan kuantitatif ini menggembirakan, tetapi persoalannya, apakah lembaga ini telah benar-benar bekerja dengan efektif? Kita sering melihat para petugas posko yang belum tegas memberi hukuman pada warga yang nyata-nyata melanggar protokol kesehatan, misalnya pembiaran warga yang tidak menggunakan makser atau melaksanakan kegiatan masal seperti hajatan.

Di lapang, posko lebih banyak berkutat pada urusan administratif dari pada substantif. Posko tetapi banyak terpapar. Tidak heran jika ada pihak-pihak menyangsikan kemampuan kebijakan kependudukan ini, hal inilah konsekuensi, menyerahkan penanganan kebencanaan pada komunitas tanpa penguatan kapasitas dan pendampingan.

Mitigasi dan Ketangguhan Sosial

PPKM Mikro sesungguhnya lembaga penanganan bencana, maka ia tepat dianalisa dengan konsep sosiologi kebencanaan. Dalam kaca mata sosiologi, PPKM Mikro bukan sekedar kertas kebijakan atau program negara yang didesentralisasikan pada komunitas, ia sesungguhnya institusi sosial baru (new social institution).

Hendropuspito (1983) menyatakan bahwa institusi sosial yaitu suatu bentuk organisasi yang tersusun relatif tetap atas pola-pola kelakuan, peranan-peranan dan relasi-relasi terarah dan mengikat individu, mempunyai otoritas formal dan hukum guna mencapai kebutuhan-kebutuhan dasar.

Karena memiliki ciri-ciri tersebut, posko (pos komando) PPKM mikro bertugas memitigasi bencana dan membangun ketangguhan sosial seperti dinyatakan Surat Edaran Nomor 9 Tahun 2021 tentang Ketentuan Pembentukan Posko Penanganan Covid 19 dalam Rangka Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat di tingkat Desa/Kelurahan.

Mitigasi merupakan serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana. Mitigasi bencana non struktural dilakukan oleh posko PPKMI Mikro untuk mengurangi dampak dari ancaman bahaya dengan mengacu pada kebijakan, kesadaran, pengembangan pengetahuan, komitmen masyarakat, metode, termasuk mekanisme partisipatif, memodifikasi kerentanan, kerusakan bahaya dan gangguan (Kumalawati dan Parida Angriani, 2018: 7).

Sebagai keberhasilan mitigasi, PPKM Mikro melahirkan ketangguhan sosial sebagai daya tahan atau kapasitas sistem sosial untuk menolak atau berubah untuk mencapai tingkat fungsi dan struktur yang dapat diterima (United National International Strategy for Disaster Reductions).

Gambaran sederhana yaitu komunitas mampu menyiapkan, merencanakan, menerima, mengembalikan dan beradaptasi pada kondisi yang berpotensi merugikan. Sebagai lembaga tangguh, semua anggota komunitas mampu melakukan langkah adaptif, coping dan partisipasi.

Persoalannya, rata-rata posko PPKM Mikro belum melakukan peran-peran yang diidealkan tersebut. Memang, pengurus sudah terbentuk, di setiap RT terpampang posko PPK Mikro dan Ketua RT rajin mengganti bendera, pertanyaannya benarkah ia mampu mengelola perilaku warga sesuai protokol kesehatan dan mengendalikan kemunculan kluster-kluster baru? Benarkah pada saat ada warga terpapar, lembaga ini “sigap” melakukan penanganan? Jangan-jangan ia sekedar lembaga “formal” bentukan pemerintah minus kegiatan kebencanaan.

Revitalisasi PPKM Mikro

Agar PPKM mikro melahirkan kegiatan mitigasi dan ketangguhan sosial, para pengambil kebijakan harus berani melakukan revitalisasi. Untuk itu, penulis mengusulkan langkah-langkah sebagai berikut.

Pertama, Penguatan lembaga RT/RW. Kepemimpinan (leadership) yang kuat di RT dan RW akan memampukan PPKM tidak hanya koordinasi vertikal tetapi juga perencanaan, pencegahan, dan penanganan.

Kuatnya lembaga RT/RW juga mampu menggerakkan orang-orang kunci penentu komunitas dan lembaga-lembaga sosial. Jelas pengurus RT dan RW tidak mampu bisa bekerja sendiri. Orang-orang kunci, baik elit dan tokoh formal/informal terlibat. Kemudian, pertemuan-pertemuan pada level komunitas diarahkan membackup kelembagaan PPKM Mikro pada mitigasi dan ketangguhan sosial bencana.

Ketua RT/RW dan anggota komunitas adalah penyitas atau sukarelawan bencana dengan human capital dan social capital tinggi. Karena itu, keduanya harus mampu menyelenggarakan sosialisasi, persuasi, pemberian reward dan punishment. Selain itu, mereka mampu melibatkan komunitas-komunitas kecil dilingkungannya, baik komunitas yang berdasarkan ikatan primordial, ikatan hobi, ikatan pekerjaan dan kesamaan lokasi geografis.

Kedua, Dinamika Posko. Berdirinya Posko jangan hanya gugur kewajiban dengan membentuk atau menunjuk struktur pengurus, tetapi harus disibukkan program-program berkelanjutan. Ia bukanlah organisasi “papan nama” tetapi selalu menjemput bola, jika ada tren peningkatan lonjakan kasus.

Penulis menyadari bahwa optimalisasi PPKM Mikro bukan perkara mudah, penulis menyadari tidak mudah menanggung beban mengingat lembaga ini berbasis kerelawanan. Selain itu, karakter, pengetahuan, kesadaran dan pola relasi komunitas sangat menentukan gagal berhasilnya lembaga ini. Pengelolaan PPKM Mikro pada komunitas homogen atau pada kampung dengan teritorial genealogis tidak sama dengan perumahan mewah dimana hubungan ekslusif menandai relasi antarwarga. Di sini tantangan diferensiasi, stratifikasi sosial dan kompleksitas karakter dan pergerakan komunitas menuntut motivasi, inovasi, kreativitas dan inovasi tinggi. Semoga.

———- *** ———–

Rate this article!
Tags: