Rangkul Golput, Rasiyo Bisa Kalahkan Risma

Suko Widodo

Suko Widodo

Surabaya, Bhirawa
Kendati kemunculan pasangan Rasiyo-Lucy Kurniasari (Serasi) baru seumur jagung, namun pasangan yang diusung koalisi Partai Demokrat dan Partai Amanat Nasional (PAN) itu berpeluang mengalahkan pasangan petahana (Tri Rismaharini-Whisnu Sakti Buana). Asal, mereka bisa menarik simpati dan dukungan dari masyarakat Surabaya yang biasa golput atau tak mau menggunakan hak suaranya.
Pernyataan tersebut disampaikan pengamat politik komunikasi dari Universitas Airlangga Surabaya Suko Widodo saat dikonfirmasi, Selasa (8/9) kemarin. “Pemenang Pilkada Surabaya itu sebenarnya golput yang mencapai 52 %. Jadi siapa yang bisa menarik simpati dan dukungan kelompok golput, maka dipastikan pasangan tersebut bakal menang,” ujar Suko Widodo.
Menurut Suko panggilan akrab Suko Widodo berdasarkan data KPU Surabaya pada Pilkada Surabaya 2010 silam, pasangan Tri Rismaharini-Bambang DH menang karena mampu meraup sebanyak 358.187 suara (38,53 %). DisusulĀ  pasangan Arif Afandi-Adies Kadir (CACAK) di urutan kedua dengan 327.516 suara (35,25 %).
Kemudian pasangan Fandi Utomo-Yulius Bustami (Fu-Yu) di urutan ketiga dengan 129.172 suara (13,90 %), urutan ke empat ditempati pasangan BF Sutadi-Mazlan Mansur (Dimaz) sebanyak 61.648 suara (6,63 %) dan terakhir pasangan Fitradjaja Purnama-Naen Soeryono (independen) dengan perolehan 53.110 suara (5,71 %).
“Suara yang diperoleh Risma-Bambang itu juga hampir sama dengan kemenangan PDIP Surabaya di Pileg 2014, yakni mendapat 346.287 suara,” ujar Suko.
Masyarakat Surabaya yang masuk kelompok golpot, lanjut Suko Widodo kebanyakan berasal dari kelas menengah ke atas atau mereka yang bermukim di perumahan elit, seperti di kawasan Citraland, Pakuwon, dan lain sebagainya. Selain itu juga masyarakat pendatang dari berbagai wilayah di Indonesia. “Surabaya itu Kota Metropolitan sehingga jadi meeting point nusantara,” bebernya.
Sementara soal rivalitas pasangan calon yang bersaing di Pilkada Surabaya, Suko Widodo menilai cukup berimbang. Alasannya, Risma dan Rasiyo merupakan sosok birokrat yang berpengalaman. Sedangkan Whisnu dan Lucy juga sama-sama politisi yang memiliki konstituen riil dan cukup banyak. “Saya kira kedua pasangan calon itu bisa memenuhi ekspektasi warga Surabaya,” tegas dosen murah senyum ini.
Diakui Suko, kinerja Risma selama memimpin Surabaya cukup bagus tapi tetap memiliki kelemahan. Misalnya, pembangunan cenderung bersifat fisik semata dan kurang merata. Sedangkan Rasiyo cenderung lebih humanis (luwes) dan aspiratif.
“Harapan warga Surabaya pemimpin ke depan bisa mengatasi soal kemacetan, banjir, pendidikan, kesehatan, ekonomi dan ruang publik. Jadi calon Wali Kota Surabaya yang bisa penuhi harapan wargalah yang punya peluang menang,” ungkapnya.
Sementara menyangkut sosok Lucy Kurniasari, lanjut Suko, partai pengusung berharap bisa mendulang suara dari pemilih perempuan yang jumlahnya lebih banyak dibanding pemilih laki-laki dan lebih konsisten. “Risma lebih kuat karena trust. Sedangkan Lucy lebih kuat dalam urusan expert (keahlian). Jadi faktor penentu dan pertempurannya adalah tergantung pada aktraktif keduanya dalam memengaruhi pemilih perempuan,” tegasnya.
Begitu juga ekspektasi masyarakat Surabaya terhadap pasangan calon lanjut Suko juga berbeda-beda antara wilayah perkotaan, tengah dan pinggiran. Di perkotaan, kata Suko masyarakatnya cenderung bersifat personal atau kandidat bisa memberi apa pada pemilih (relative benefit). Sedangkan di pinggiran cenderung bersifat komunal. “Jadi pasangan calon yang bisa mendekati tokoh masyarakat setempat berpeluang menang di wilayah pinggiran,” imbuhnya.
Diakui Suko Widodo, pasangan Risma-Whisnu lebih diuntungkan karena konstituen PDIP lebih loyalis, dibandingkan massa pendukung PD dan PAN. “Namun jika mesin partai pengusung Rasiyo dan Lucy bisa lebih hidup dalam mengorganisir mencari dukungan kelompok golput, bisa jadi Rasiyo dan Lucy yang akan menang karena dalam Pilkada yang dijual adalah sosok bukan partai pengusung,” imbuhnya. [cty]

Tags: