Regenerasi Petani Muda yang Kian Sulit

Oleh :
Anggita A Sakuntala
Mahasiswa Magister Agribisnis DPPS Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Malang, E-mail: Anggitasakun11@gmail.com

Petani muda, dua kata ini nampaknya menimbulkan banyak presepsi, stetment, tentu juga menjadi topik pembahasan yang masih terus dikaji. Penulis meyakini dan merasakan betul bagaimana perkara regenerasi petani menjadi hal yang sangat krusial untuk di bahas dan belum habis-habis hingga hari ini. Selaras dengan hal ini, penulis ingin memulainya dengan flashback ke beberapa tahun yang lalu, sepuluh, dua puluh atau barangkali tiga, empat puluh, dan seterusnya tahun yang lalu. Ketika Indonesia mayoritas masyarakatnya bekerja sebagai seorang petani.

Minimnya Regenerasi Petani Muda
Pekerjaan sebagai seorang petani sudah menjadi hal lumrah bagi masyarakat pedesaan kala itu. Tentu bisa membuat mereka hidup bahkan menyekolahkan dan menjadikan putra-putrinya tumbuh bahkan menjadi orang-orang yang hebat. Lihat saja! dua presiden Indonesia pun memiliki orang tua dengan background yang sangat lekat dengan pertanian. Bapak Soeharto sebagai anak petani dan bapak Habibie putra dari pakar pertanian kala itu. Petani adalah pekerjaan yang banyak dijalani oleh sebagain besar masyarakat Indonesia saat itu. Namun, berbanding terbalik dengan hari ini.

Data Badan Pusat Statistika Indoensia menunjukan bahwa jumlah petani di Indonesia saat ini di dominasi oleh generasi tua, atau bisa dikatakan bahwa tidak ada seperempatnya petani muda yang ada di Indonesia. Kedaan ini sungguh menggetarkan jiwa, di satu sisi ini menunjukan bagaimana masyarakat desa sudah memiliki wawasan yang beragam, berpendidikan dan memiliki pemikiran yang maju sehingga mendorong mereka untuk bekerja tidak hanya di sektor pertanian sebagaimana orang tua atau eyangnya dahulu melainkan lebih bervariasi. Sisi negatifnya tentu berkurang atau hilangnya tenaga kerja di sektor pertanian.

Secara nyata minimnya regenerasi petani dapat dilihat di desa-desa, tempat sawah-sawah terhampar luas. bagaimana tuan atau pemilik sawah kesulitan mencari tenaga kerja. Beberapa waktu yang lalu penulis sempat berbicara dengan seorang kawan yang mengeluhkan bagaimana eyangnya kesulitan ketika mencari tenaga kerja untuk mencangkul, membersihkan hama, atau memanen hasil taninya. Tadi pagi penulis juga menemui sebuah fenomena dimana seorang kawan menuliskan dalam postingan storynya di media sosial, bagaimana ia menerima keluhan dari petani-petani tua mengenai sulitnya mencari tenaga kerja di sektor pertanian. Praktisnya adalah minim atau bahkan hampir-hampir tidak ada generasi muda yang mau turun ke sawah. Hal ini tentu bukan perkara siapa yang salah dan siapa yang benar, namun mengapa dan bagaimana ini bisa terjadi.

Pergeseran Minat dan Prespektif Generasi Muda
Apabila sebuah pertanyaan mengenai hal ini ditanyakan kepada generasi muda, apakah kalian ada cita-cita menjadi seorang petani? Mengapa tidak ingin menjadi petani? Mengapa memilih bekerja di sektor lainnya? Kalian tentu akan melihat bagaimana ideologi, tatanan sosial, dan subkulutural bergeser. Bagaimana kaum muda saat ini menjadi budak digitalisasi, pun cita-cita dimana bekerja di sektor yang tidak melelahkan adalah impian semua umat. Ada hal menggelitik yang pernah penulis temui, ingatkah kalian ketika kita generasi yang lahir di bawah tahun 2000an awal, orang tua kita dahulu sering berkata, “Jadilah anak pintar besok gede biar bisa jadi dokter” sekarang sudah bukan demikian lagi. Anak-anak belajar dengan pintar biar besar bisa jadi Youtuber ataupun Influencer. Apakah ini salah? Apakah menjadi Youtuber dan Influencer itu salah? Tentu tidak, namun kalau tidak ada pembagian pekerjaan bagaimana kehidupan ini bisa berjalan. Kalau tidak ada yang mau bekerja sebagai petani, bagaimana kita akan makan?

Namun, kita juga harus melihat dari sudut pandang lainnya. Begini, bekerja sebagai seorang petani senantiasa dianggap berapa pada tatanan sosial yang rendah. Kalau kita mau menengok bagaimana petani-petani sudah merasakan penderitaan dari zaman lampau, seperti ketika sistem tanam paksa. Hingga kemerdekaan pun, posisi petani tidak dianggap sebagai pekerjaan yang bernilai practice di mata masyarakat. Inilah salah satunya mengapa pemuda kebanyakan tidak tertarik untuk bekerja sebagai seorang petani. Menjadi petani itu acapkali di pandang sebelah mata. Penulis sendiri pernah mengalaminya, meski bukan sebagai petani, baru kuliah di bidang pertanian saja, penulis pernah mendapat pertanyaan dari mahasiswa jurusan lain yang merasa lebih mentereng, “mengapa kuliah di pertanian?” seolah-olah pertanian adalah jurusan yang diremehkannya.

Alasan lainnya selain nilai sosial tentu dari aspek bisnis itu sendiri. Usaha tani terutama di bidang on farm, saat ini lebih condong tidak memberikan penghasilan yang dianggap menjanjikan. Kenapa? Sistem pertanian di Indonesia tentu menjadi pemicunya, rendahnya nilai tawar di beberapa komoditas kadangkala tidak sebanding dengan biaya budidaya yang harus di tawarkan sehingga apabila dijadikan pekerjaan tetap tentu tidak dapat menunjang kebutuhan yang layak dan sejahtera. Selain itu, kepemilikan lahan yang sempit juga masih menjadi polemik yang belum juga usai hingga hari ini, panjangnya rantai pasok juga turut andil menjadi penyebab kenapa usaha tani acapkali kurang menguntungkan dan tidak menarik pemuda untuk terjun sebagai seorang petani.

Membangun Sektor Pertanian Menjadi Menarik
Adanya alasan mendasar kenapa pemuda ogah menjadi petani sebagaimana yang penulis uraikan di paragraf sebelumnya, tentu lantas menimbulkan pertanyaan. Bagaimana solusi dari segala permasalahan itu? Tentu untuk berfikir mengenai solusinya tidaklah mudah, sebab permasalahan ini tidak sesederhana kita melihat dan berargumentasi, membangun citra pertanian dari panas, kotor menjadi menyenangkan itu perlu. Saat ini penggunaan teknologi di bidang pertanian yang memudahkan dalam usaha tani sangatlah banyak, alsintan dan semacamnya sudah dicetuskan oleh anak negri. Hanya saja perlu kesadaran dan gotong royong dari seluruh elemen baik masyarakat, kelompok tani, pemerintah, hingga pelaku usaha tani itu sendiri untuk mengembangkan dan memanfaatkan teknologi tersebut.

Generasi muda, terutama alumni mahasiswa pertanian atau yang memiliki ketertarikan di bidang pertanian saat ini juga sudah membuat berbagai inovasi seperti adanya digital marketing untuk meningkatkan nilai tawar produk pertanian, pelatihan-pelatihan, pertanian modern atau smart farming seperti adanya hidroponik, microgreen, nutsery kit, tentu hal ini perlu di dukung, sebab presperktif petani yang rendah itu perlu dirubah.

Permasalahan modal yang acapkali menjadi hambatan juga perlu untuk di atasi dengan memberikan penyuluhan mengenai bagaimana cara memperoleh modah. Maka, dengan adanya modernitas dan kerja sama antar seluruh elemen ini, sektor pertanian di Indonesia bisa maju dan tentu akan meninggkatkan citra yang akan membuat pemuda bisa tertarik bekerja di sektor pertanian. [*]

Tags: