Remaja Bebas Anemia Menuju Bebas Stunting

Dr Andriyanto SH MKes

Oleh :
Andriyanto
Ketua Dewan Pimpinan Pusat Persatuan Ahli Gizi Indonesia bidang Hukum.

Arahan Bapak Presiden yang disampaikan kepada Kepala BKKBN, bahwa salah satu agenda penting sampai tahun 2024 adalah mempercepat penurunan angka stunting yang sebesar 27,6% di tahun 2020 menjadi hanya sebesar 14% sampai tahun 2024. Hal yang sulit dicapai, meskipun bukan hal yang mustahil. Dibutuhkan effort yang tinggi dan strategi yang tepat dan efektif.

Stunting
Gambaran tingginya prevalensi Stunting di Indonesia ini menunjukkan masalah kesehatan yang cukup serius. Stunting merupakan tragedi yang tersembunyi. Stunting terjadi karena dampak kekurangan gizi kronis selama 1.000 hari pertama kehidupan. Kerusakan yang terjadi mengakibatkan perkembangan anak yang irreversible (tidak bisa diubah), anak tersebut tidak akan pernah mempelajari atau mendapatkan sebanyak yang dia bisa (Balitbangkes, 2015).
Hal ini dipertegas oleh World Bank dan UNICEF bahwa Stunting menggambarkan kegagalan pertumbuhan yang terjadi dalam jangka waktu lama, dan dihubungkan dengan penurunan kapasitas fisik dan psikis, penurunan pertumbuhan fisik, dan pencapaian di bidang pendidikan rendah. (The World Bank, 2010; UNICEF).
Studi-studi saat ini menunjukkan bahwa anak Stunting sangat berhubungan dengan prestasi pendidikan yang buruk, lama pendidikan yang turun dan pendapatan yang rendah sebagai orang dewasa. Anak-anak Stunting menghadapi kemungkinan yang lebih besar untuk tumbuh menjadi dewasa yang kurang pendidikan, kurang sehat dan lebih rentan terhadap penyakit tidak menular. Oleh karena itu, anak stunting merupakan prediktor buruknya kualitas sumber daya manusia yang diterima secara luas, yang selanjutnya menurunkan kemampuan produktif suatu bangsa di masa akan datang.
Stunting, berdampak dalam bentuk kurang optimalnya kualitas manusia, baik diukur dari kemampuan mencapai tingkat pendidikan yang tinggi, rendahnya daya saing, rentannya terhadap penyakit tidak menular (kanker, jantung, DM, gagal ginjal, dan lain-lain), yang semuanya bermuara pada menurunnya tingkat pendapatan dan kesejahteraan keluarga dan masyarakat. Dengan kata lain Stunting dapat memiskinkan masyarakat. Suatu yang menggembirakan bahwa berbagai masalah tersebut diatas bukan disebabkan terutama oleh faktor genetik yang tidak dapat diperbaiki seperti diduga oleh sebagian masyarakat, melainkan oleh karena faktor lingkungan hidup yang dapat diperbaiki dengan fokus pada masa 1.000 Hari Pertama Kehidupan.
Kompleksitas masalah gizi yang sampai saat ini masih diderita oleh sebagian masyarakat Indonesia terjadi bukan disebabkan hanya oleh satu dua faktor seperti faktor daya beli dan kebiasaan makan masyarakat, akan tetapi disebabkan oleh banyak faktor baik yang bersifat makro maupun mikro. Akibatnya, jelas akan menjadikan masyarakat menjadi tidak sehat dan tidak cerdas dalam menaungi kehidupannya, yang pada gilirannya akan menjadi beban Pemerintah. Dengan demikian, dikatakan bahwa masalah stunting bersifat multidimensi menyangkut kemiskinan, ketidaktahuan, gaya hidup, sosial budaya dan bahkan politik.
Mencegah dan menangani stunting akan dapat menurunkan angka kemiskinan di masyarakat serta kematian balita. Pakar gizi Martorell menjelaskan bahwa investasi di sektor sosial (gizi; kesehatan; dan pendidikan) akan memperbaiki keadaan gizi masyarakat yang merupakan faktor penentu untuk meningkatkan kualitas SDM. Jika kualitas SDM meningkat, maka produktivitas kerja akan meningkat, yang selanjutnya keadaan ekonomi akan meningkat pula. Dengan terjadinya perbaikan ekonomi maka kemiskinan akan menjadi berkurang dan pada akhirnya akan terjadi perbaikan gizi masyarakat, tumbuh kembang, fisik dan mental anak.

Anemia Gizi Remaja
Salah satu masalah yang dihadapi remaja Indonesia adalah masalah gizi mikronutrien, yakni sekitar 12% remaja laki-laki dan 23% remaja perempuan mengalami anemia, yang sebagian besar diakibatkan kekurangan zat besi (anemia defisiensi besi).
Anemia di kalangan remaja perempuan lebih tinggi dibanding remaja laki-laki. Anemia pada remaja berdampak buruk terhadap penurunan imunitas, konsentrasi, prestasi belajar, kebugaran remaja dan produktifitas.
Selain itu, secara khusus anemia yang dialami remaja putri akan berdampak lebih serius, mengingat mereka adalah para calon ibu yang akan hamil dan melahirkan seorang bayi, sehingga memperbesar risiko kematian ibu melahirkan, bayi lahir prematur dan berat bayi lahir rendah (BBLR), yang pada gilirannya juga berisiko kematian bayi.
Dampak anemia pada remaja putri dan status gizi yang buruk memberikan kontribusi negatif bila hamil pada usia remaja ataupun saat dewasa yang dapat menyebabkan kelahiran bayi dengan berat badan lahir rendah, kesakitan bahkan kematian pada ibu dan bayi. Selain itu, anemia juga mempunyai dampak negatif terhadap perkembangan fisik dan kognitif remaja
Sisi lain, remaja Indonesia banyak yang tidak menyadari bahwa mereka memiliki tinggi badan yang pendek atau disebut stunting. Rata-rata tinggi anak Indonesia lebih pendek dibandingkan dengan standar WHO, yaitu lebih pendek 12,5cm pada laki-laki dan lebih pendek 9,8cm pada perempuan.
Meskipun dampak anemia sangat membahayakan terhadap kesehatan remaja dan prevalensi anemia pada usia 5-14 tahun cukup tinggi yaitu 26,4% (Kemenkes RI, 2014), namun program pemerintah khusus untuk pencegahan anemia remaja saat ini belum ada. Berbeda dengan program suplementasi besi, program pemberian makanan tambahan, pendidikan gizi hanya ditujukan untuk penanggulangan anemia pada ibu hamil.
Dibandingkan dengan program suplementasi dan program pemberian makanan tambahan yang sangat mahal biayanya, maka pendidikan gizi merupakan program dengan biaya lebih murah. Dalam masa pandemi dan kondisi ekonomi sulit di Indonesia saat ini, maka pendidikan gizi merupakan intervensi yang tepat dalam mengatasi anemia pada remaja.

Benang Merah
Pencegahan dan penanganan stunting menjadi salah satu prioritas nasional guna mewujudkan cita-cita bersama yaitu menciptakan manusia Indonesia yang tinggi, sehat, cerdas, dan berkualitas. Intervensi pada 1.000 Hari Pertama Kehidupan, sejak kehamilan sampai anak berusia 2 tahun sebuah keharusan. Namun, membuat remaja dan calon pengantin tidak anemia menjadi langkah strategis untuk menyiapkan kehamilan yang sehat, karena akan memberikan asupan oksigen yang cukup kepada janinnya. Kehamilan yang sehat akan menurunkan kejadian angka kematian ibu dan bayi serta stunting.
Peran Dinas Pendidikan dan Dinas Kesehatan dalam memberikan pendidikan gizi pada remaja putri khususnya, diharapkan dapat menambah pengetahuan remaja putri tentang gizi dan anemia. Dengan demikian remaja putri diharapkan dapat mengubah pola makan sehingga asupan gizi menjadi lebih baik. Pemikiran yang terbuka dan karakteristik remaja yang masih dalam tahap belajar secara tidak langsung akan memengaruhi kebiasaan mereka. Dengan edukasi gizi, remaja akan lebih mengenal kebiasaan baik dalam hal pemenuhan kebutuhan asupan gizi, sehingga dapat mempraktikannya dalam kehidupan sehari-hari.

——- *** ——-

Tags: