Revisi Full-day School

Diperlukan revisi model sekolah seharian penuh (full day). Dikhawatirkan menghapus kesempatan pembangunan karakter, yang dibangun oleh masyarakat melalui pengajaran keagamaan. Masing-masing peserta (murid) memiliki kebutuhan pengajaran, sesuai dengan kondisi psikologisnya. Terutama anak usia 6 hingga 12 tahun, memiliki keterbatasan kejenuhan. Sedangkan filsafat Pendidikan meyakini, efektifitas pengajaran bukan pada lamanya kegiatan belajar. Melainkan kualitas pertemuan antara guru dengan murid.

Sekolah seharian penuh (full day), tidak masalah. Berlanjut lagi pada malam hari juga tidak masalah. Begitu pula sekolah “normal” hanya setengah hari (enam jam), memang telah cukup memadai. Namun masing-masing peserta didik (murid) memiliki kebutuhan pengajaran, sesuai dengan kondisi psikologisnya. Sudah banyak sekolah swasta (terutama tingkat SD dan SMP) di perkotaan melaksanakan full day school. Lama belajar sejak jam 07:00 hingga jam 15:00. Diselingi dua kali istirahat untuk makan, dan ibadah (shalat).

Full day school, konon digagas sebagai respons memburuknya lingkungan sosial di luar sekolah. Sehingga sebagian murid membutuhkan “pengayoman” dalam proses Pendidikan. Diharapkan, lebih lama di sekolah, akan diperoleh “pengayoman” lebih baik. Sekaligus memperkaya pembiasaan keilmuan. Namun banyak kritisi pula, anak-anak dengan full day school, mengalami kelebihan kesibukan sangat berat. Mempengaruhi mental. Konon menjadi cepat menangis, dan cepat marah.

Kuantitatif waktu lama bersekolah telah lama menjadi perdebatan. Full day school, di-gagas menjadi model pembangunan karakter. Karena cemas dengan lingkungan sosial yang makin buruk. Semakin banyak anak (berstatus pelajar) terlibat kriminalitas, sebagai korban maupun pelaku. Namun serta-merta memperoleh respons beragam. Mayoritas tidak sepakat, manakala seluruh sekolah wajib full day school. Mengkhawatirkan hilangnya waktu belia untuk bersosialisasi dengan lingkungan.

Musyawarah Nasional Alim Ulama meng-kritisi pelaksanaan full day school, menghilangkan kesempatan anak-anak belajar memperkuat pendidikan karakter. Sekaligus menyebabkan Madrasah Diniyah, dan TPQ di perkotaan kehilangan banyak murid. Ironis, Pendidikan di Madrasah Diniyah dan TPQ, berdasar Perpres Nomor 87 Tahun 2017 Tentang Penguatan Pendidikan Karakter.

Diyakini secara sosial, Indonesia masih tergolong baik. Bisa jadi, lingkungan sosial yang buruk hanya terjadi di kawasan Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi). Indikasinya antara lain, semakin banyak tawuran remaja. Sehingga full day school, hanya popular di kota-kota metropolitan. Serta terbatas pada sekolah swasta. Selain itu, ongkos pendidikan (full day school) niscaya semakin mahal, karena sekolah harus menyediakan makan siang. Juga konsekuensi tambahan honor guru.

Namun konon, full day school, merupakan “turunan” dari Peraturan tentang hari kerja lima hari dalam sepekan. Sudah berlangsung selama satu dekade. Tetapi hampir di seluruh daerah (kabupaten dan Kota), masih 6 hari sepekan. Terbaru, terdapat Perpres (Peraturan Presiden) Nomor 21 Tahun 2023 Tentang Hari Kerja dan Jam Kerja Instansi Pemerintah dan Pegawai ASN. Dalam pasal 3 ayat (1) dinyatakan, “Hari Kerja Instansi Pemerintah sebanyak 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.”

Sekolah turut melaksanakan hari belajar selama 5 hari, Senin sampai Jumat. Namun jam belajar ditambah 3 jam. Semula biasa berakhir pukul 12:00. Ditambah menjadi berakhir pukul 15:00. Pulang sekolah, anak-anak sudah loyo. Biasanya, setelah pulang sekolah jam 12:00, anak-anak SD istirahat (tidur sejenak). Lalu disusul jadwal belajar menempuh “Pendidikan Karakter.” Terutama mengaji di Madrasah Diniyah, atau di TPQ (Taman Pendidikan Quran).

Namun sesungguhnya bisa diambil jalan Tengah. Yakni, full day school bekerjasama dengan Madrasah Dniyah, dan TPQ setempat. Menghadirkan guru mengaji di sekolah.

——— 000 ———

Rate this article!
Revisi Full-day School,5 / 5 ( 1votes )
Tags: