Rongsokan Harga Diri

foto ilustrasi

Oleh :
Ratna Ning
Ketua Cabang Rumah Belajar Kreatif Subang

Sopiah mencangkung dengan wajah bingung. Apa yang harus Ia jual kini? Untuk menyambung hidup sehari-hari. Setelah bisnis warung nasinya bangkrut oleh persaingan yang hanya akan jadi alasan saja jika dikemukakan tentang kebangkrutannya.

Orang-orang sudah tergila-gila oleh gaya hidup kekinian. Menu yang dimodifikasi dengan nama-nama dan rasa aneh menurutnya. Ia hanya seorang pebisnis yang bertahan dalam gaya konvensional. Terlalu mengagungkan kearifan lokal, apa salah? Tentu saja tidak. Mungkin Ia kurang trik untuk menyiasati dengan konsep baru agar produk yang mengusung kearifan lokal itu laku.

Seperti tempat wisata kuliner di ujung kampung itu. Meski di kawasan yang merupakan bibir hutan, tapi karena promosi yang besar-besaran, tempat wisata kuliner itu sudah booming dan mulai banyak menarik atensi orang-orang untuk datang berkunjung. Konsep mahal menjual atas nama jargon kearifan lokal dengan sentuhan dan iming-iming manis, sangat mengena di hati manusia-manusia yang telah jenuh dengan program-program resmi berbau seremonial.

Sementara Sopiah, sibuk bertahan segala sesuatunya pada pakem dan hal-hal yang sangat ideal. Termasuk tentang perasaannya.

“Idealisme seperti kamu sudah nggak ada di abad ini, Piah. Orang-orang idealis seperti kamu nggak akan ada kemajuan hidup. Coba, apa yang kamu dapatkan dari sikap idealis kamu selain penyakit asam lambung yang setiap saat kambuh? Apalagi jika idealisme kamu tersakiti. Iya khan?” teman perempuannya, sesama janda, sering memberinya masukan bersemi ledekan.

“Sampai urusan cinta, kau bertahan dengan idealisme. Dengan alasan tidak mau mencampurbaurkan kesakralan tujuan cinta yang sesungguhnya. Wkwkwk…Rasanya seperti nonton pagelaran teater Romeo dan Juliet. Aku hidup hanya untuk mencintainya saja. Tanpa timbal balik dan menharapkan materi. Biar materi kucari sendiri karena aku mampu. Puihhh…puisi apaan. Buang jauh-jauh Piah. Realistislah memandang hidup…” Lusi selalu mencekoki pikiran Sopiah dengan prinsip-prinsip logika. Tapi Sopiah tetap bertahan dengan egosentris idealismenya.

“Aku tidak mau Mas Pri mencapku perempuan matre yang hanya butuh duitnya saja. Lagipula aku mencintainya. Cinta tanpa syarat. Aku hanya berharap dia juga punya perasaan yang sama padaku. Lagipula, aku tak biasa minta-minta atau membebani orang lain selagi aku bisa berusaha sendiri. Aku sudah terbiasa dan tetap membiasakan diri untuk tak tergantung pada siapapun…” selalu begitu jawaban Sopiah.

Setelah dua kali gagal menikah, Sopiah berhenti berharap banyak pada lelaki. Dia pikir, usianyapun bertambah tua, ada tanggungan anak dari kedua perkawinannya dan itu adalah tanggungjawabnya sebagai orangtua. Jikapun ada seorang yang hadir kemudian mengisi hati, Ia tak ingin orang tersebut merasa ikut terbebani dengan masalah hidup yang sudah Ia miliki dan sudah seharunya jadi tanggungjawabnya sendiri.

“Perempuan dinikahi laki-laki itu untuk dilindungi dan dinafkahi. Kalau kamu harus repot mencari nafkah sendiri dan melepaskan hal yang seharusnya jadi tanggungjawab lelaki yang mencintaimu, buat apa kamu menikah? Tujuan cinta itu untuk apa sih? Enak di rasa doang? Bulshit itu Piah!”

Tapi semua omongan lewat seperti angin saja di kuping Piah. Perempuan itu tetap bertahan dengan idealismenya. Apakah Ia sudah tak waras atau memang omogan orang-orang itu sebagai kenyataan di depan mata yang dianggap berlebihan? Terkadang Sopah pun merasa ada di masa-masa Ia kesulitan masalah hidupnya.

Tapi cinta tetap direguknya dalam kenikmatan berbeda, tanpa ditumpangi masalah-masalah yang merubung dalam kesehariannya. Dan berulangkali pula Ia bisa keluar dari masalah itu tanpa bantuan kekasih yang setiap saat selalu menyambangi, mereguk saripati madu cinta darinya.

“Seandaipun pengharapan itu ada, Aku ingin itu datang dari kesadarannya. Bukan karena Aku yang meminta…” riak-riak pengharapan itu muncul mulai berbintik-bintik dalam hatinya, manakali kesulitan hidup mulai sering merubung.

Kesulitan itu, akhir-akhir ini begitu kuat membelitnya. Satu fase kepailitan hidup tengah melandanya. Tgihan listrik dan tagihan-tagihan lain mulai menumpuk tanpa ada penyelesaian. Biaya sehari-hari, uang jajan anaknya makin memberatkan pening di kepalanya. Tak ada pemasukan paska kebangkrutan usaha, dirinya benar-bener seperti kutu yang ditindas dan hampir mati. Tinggal kakinya saja yang meronta-ronta sementara badan dan kepalanya telah penyok kena tindas.

“Aku minjam uang kamu Mas. Untuk kali iniii saja. Nanti bulan depan saat ajuan kreditku cair, aku ganti. Tolonglah, sekali ini saja…” Seluruh idealisme itu runtuh, manakala keikhlasan sukarela tidak muncul juga dalam pengertian yang seharusnya.

“Aku usahakan ya. Tapi kalau tidak ada apa boleh buat…” jawab lelaki itu seperti tak ada beban.

Menunggu satu dua hari seperti tengah menunggu bala bantuan agar diselamatkan dari ruang penyiksaan. Sopiah sudah enggan memegang hape yang sudah tanpa kuota karena beriringnya telfon seluler dari bermacam tagihan.

Bantuan yang diharapkan tidak jua datang malah seperti dingin saja tanpa tindak lanjut dan keseriusan. Padahal Ia telah memberi judul besar “Urgent” pada headline permohonan proposal untuk sang kekasih.

“Menyakitkan ketika mengharapkan pada manusia, siapapun dia dan sebesar apapun jasa kita…” keluh Sopiah dengan hati yang terasa berdarah-darah.

Pengharapan satu-satunya yang Ia tambatkan lepas sudah. Dirinya merasa seperti biduk tanpa nahkoda yang kehilangan kemudi dan terombang-ambing di tengah smudera, menunggu detik- detik karam atau hancur berantakan diterjang ombak.

Dengan sisa-sisa terakhir nafasnya, setelah terpuruk di kamar gelap, Sopiah terbangun.

“Aku harus bertahan hidup. Bukan demi diriku. Tapi anak-anakku!”

Ia berjalan mengitar ruangan. Mengamati dapur, ruang tengah, melihat setiap kamar. Mencari benda yang bisa laku terjual. Rak buku, etalase kaca kecil, laptop, printer, sepertinya laku kalau dijual. Tapi…barang-barang itu masih berguna dan dipakai. Masa iya harus dilelang.

Matanya tertumbuk pada lemari es dan mesin cuci yang sudah rusak yang Ia simpan di gudang. Dengan harapan akan diservice nanti. Tapi…keadaan perut lapar harus segera diselamatkan hari ini.

***

“Ini barang bekas Bu. Meski harganya jutaan, jika rusak gini paling dilebur jadi daur ulang. Saya nggak bisa kasih harga mahal, karena yang saya beli ini sudah masuk barang rongsokan…” jawab bos barang bekas sambil memberikan harga yang sangat rendah.

Sopiah tercenung. Betul juga, barang yang tadinya dianggap mewah dengan harga beli jutaan itu setelah rusak hanya menjadi seonggok rongsokan yang harganya hanya sanggup mencapai umlah ribuan rupiah perkilonya. Menyedihkan tapi itulah kenyataan.

Sopiah menerima pembayaran barang-barang rongsok itu dengan tangan bergetar. Uang segitu hanya cukup membeli beras sepuluh kilo saja.

“Kertas-kertas bekas itu juga laku Bu. Lumayan, sekilo seribu rupiah!” Bos rongsok menunjuk kertas-kertas bekas yang bertumpuk dengan buku-buku bekas di rak.

Sopiah merasa diberi jalan. Buku-buku yang dibelinya dengan harga mahal, kertas-kertas bekas RAB proyek yang pernah menjadi bisnisnya itu memang memberikan sejarah yang lumayan, tapi kini itupun sudah jadi barang bekas. Ditumpuk di rak hanya mengundang kecoa dan rayap pemakan kertas saja.

Sopiah mengumpulkan kertas bekas yang usianya sudah ada yang mencapai puluhan taun dan dianggap berkas berharga. Kini harus berakhir di tukang rongsokan. Apa boleh buat untuk menopang biaya hidup meski untuk sehari atau dua hari.

Yang Ia pikirkan adalah kelangsungan perut dan agar tangis anaknya berhenti.

Sopiah menghitung uang yang terkumpul hasil rongsokan barang dan kertas. Sebentar saja mungkin ung ini lesap dielikan beras, gas dan jajan anaknya. Yang ditunggunya, pertolongan dari kekasih dengan segenap cinta dan kepeduliannya pun tak kunjung tiba.

Ahh, dia sudah tua. Mungkin bukan tak penting, tapi kekasihnya itupun menganggapnya hanya sisa dan sudah menjadi seonggok rongsokan yang sudah tak bernilai mahal dan tak perlu diperjuangkan dngan susah untuk memilikinya. Dikasih cintapun sudah lebih dari cukup.

Tiba-tiba, Ia merasa ingin menjual harga dirinya. Meski sudah menjadi rongsokan dan terjual murah, tapi tidak apa-apa demi mengganjal perut anaknya. Daripada digratiskan demi idealism bodong tentang hakikat cinta. Semua sudah tak ada harganya ternyata. Bahkan cinta sejatipun sudah menjadi barang rongsokan di abad ini. Cinta sejati dan harga diri itu makin tua bukan menjadi barang antik, tapi menjadi rongsokan. Daripada digratiskan pada lelaki itu, mending dijual saja jika laku untuk di daur ulang.

———- *** ———–

Tentang Penulis :

Ratna Ning, lahir dan besar di Subang 47 tahun yang lalu. Mulai menulis tahun 1995 dengan tulisan pertama dimuat di majalah remaja populer “KawanKu”. Menulis cerpen, Puisi, opini, liputan berita dan tersebar di media cetak dan online. Telah menerbitkan beberapa buku Antologi Cerpen. Selain menulis dan jadi jurnalis freelancer, juga seorang yang menyukai budaya kearifan lokal. Menjabat Ketua Cabang Rumah Belajar Kreatif Subang.

Rate this article!
Rongsokan Harga Diri,5 / 5 ( 1votes )
Tags: