Sajikan Kupat Ketheg Bertabur Parutan Kelapa dan Gula Merah

Kupat ketheg tergolong kuliner yang hampir punah di Gresik. Sebagian masyarakat masih banyak yang mencari untuk dijadikan santapan di akhir Lebaran.

Kupat ketheg tergolong kuliner yang hampir punah di Gresik. Sebagian masyarakat masih banyak yang mencari untuk dijadikan santapan di akhir Lebaran.

Tradisi Sunan Giri Akhiri Lebaran
Kabupaten Gresik, Bhirawa
Dulunya warga membawa ketupat ketheg ke masjid sebagai tanda syukur atas nikmat yang diberikan kepada mereka. Dan tradisi itu masih dipertahankan di Gresik, khususnya di Giri.
Memerlukan sebuah perjuangan ekstra untuk membuat kupat (ketupat) ketheg,  sebab bahan kuliner ini sudah sangat langka ditemukan di wilayah aslinya, yakni Kabupaten Gresik.
Bahan itu adalah air  ketheg atau warga setempat biasa menyebutnya air lanthung, yakni air endapan minyak mentah yang keluar dari sumur minyak tua dan berwarna kehijau-hijauan.
Air ketheg menjadi bahan olah utama karena mampu memberikan rasa gurih dan asin dalam setiap potongan kupat.
Perjuangan ekstra, karena untuk memperoleh air ini diperlukan naik turun bukit Desa Giri, yakni lokasi bukit yang merupakan salah satu tempat Kerajaan Giri Kedhaton atau Sunan Giri (salah satu sunan atau wali penyebar agama Islam di tanah Jawa).
Kini, bukit itu sudah tidak bisa memberikan air ketheg secara maksimal, karena sumber air ketheg yang berlokasi di bawah bukit Giri dekat dengan bekas pabrik pengolahan kayu tersebut tinggal sedikit.
“Debit air ketheg yang keluar kini juga sangat kecil, sehingga tidak bisa langsung mengambil dalam jumlah banyak,” ungkap Surahman, salah satu warga yang rutin membuat kupat ketheg untuk dijual di kawasan wisata religi Sunan Giri kepada Kantor Berita Antara kemarin.
Pria kelahiran 1955 ini mengaku rutin membuat kupat ketheg, karena meski tergolong kuliner yang hampir punah, sebagian masyarakat masih banyak yang mencari untuk dijadikan santapan di akhir Lebaran.
Surahman mengaku, tradisi kuliner Kupat Ketheg selalu ramai pada awal malam selawe atau pada 25 Bulan Ramadan sampai dengan H+7 atau tujuh hari setelah Lebaran untuk santapan bersama keluarga.
Sementara itu salah satu penjual kupat ketheg, Nuriana menjelaskan proses membuat kuliner ini sama seperti membuat ketupat pada umumnya, namun bahan yang disiapkan berbeda, yakni rendaman airnya menggunakan air ketheg, kemudian isi ketupatnya berasal dari beras ketan, dan bukan beras biasa.
“Prosesnya, beras ketan dicuci menggunakan air ketheg hingga beberapa kali, namun proses pencuciannya tidak bisa langsung dilakukan, karena kondisi air ketheg yang baru diambil masih keruh sehingga perlu diendapkan selama tujuh hari agar menjadi jernih dan terlihat bersih saat digunakan memasak,” paparnya.
Setelah itu, beras ketan dimasukkan ke dalam janur yang berbentuk segi empat dan dimasak seperti ketupat pada umumnya.
“Dalam penyajiannya juga berbeda, jika ketupat biasa disajikan dengan opor ayam, namun kupat ketheg selalu didampingi dengan parutan kelapa yang disiram cairan gula merah, sehingga rasa gurih kelapa dan manis gula merah selalu menyertai dalam sajian khas warga Gresik ini, mirip seperti jajanan pasar,” ucapnya.
Penjual lainnya Aminah mengaku makanan ini memiliki daya tarik tersendiri, mulai dari rasa hingga cara produksinya serta memiliki rasa yang gurih dan kenyal.
Perempuan yang sudah puluhan tahun berjualan kupat ketheg ini mengaku banyak warga dari Gresik dan luar kota yang mencari kuliner ini saat Ramadhan dan Lebaran, karena rasa dan bahan dasarnya dari ketan, atau tidak seperti ketupat yang berbahan dasar beras.
Aminah mengatakan, setiap hari pada Ramadan dan Lebaran dirinya mampu memproduksi sekitar 300 biji dan dijual dengan harga kisaran Rp 2.500 per biji, tergantung pula besar kecilnya bentuk ketupat.
Menanggapi tradisi itu, Kepala Bagian Humas Pemkab Gresik Suyono mengaku pemerintah daerah selalu mendukung tradisi lokal yang ada di wilayah setempat, termasuk kuliner kupat ketheg.
“Dulunya warga membawa ketupat ke masjid sebagai tanda syukur atas nikmat yang diberikan kepada mereka. Ini memang sudah merupakan tradisi di Gresik, khususnya di Giri,” tutur Suyono.  [Gegeh]

Tags: