Sastra juga Butuh Keseriusan

matroni-muserangOleh:
Matroni Musèrang
Esais, Akademisi STKIP Sumenep

Lahirnya zaman baru yang didorong oleh semangat perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan, telah membawa kita pada puncak “kebingungan” dalam menentukan pilihan hidup. Entah karena perjalanan sejarah memang seperti titu, atau ada jalan lain yang mampu merubah hidup menjadi “lebih baik” dari hari kemaren.
Perkembangan ilmu pengetahuan dari kosmosentris, teosentris, hingga kita menemukan modernitas, posmo, sampai post-sekuler sekarang ini merupakan perjalanan sejarah ilmu pengetahuan yang luar biasa serius dan luar biasa bergejolak. Para tokoh yang melahirkan teori tersebut tidak serta merta berkata kosong, akan tetapi berangkat dari pengalaman empiris, pemikiran, dan rasionalitas yang rumit, maka tidak heran kalau teori-teori tersebut mampu menjelaskan kepada masyarakat dan mampu mempengaruhi masyarakat. Mengapa? Karena para tokoh memang benar-benar serius menggarap apa yang menjadi pilihannya.
Maka, kita dituntut untuk beraktualiasasi dalam iman dan rasio. Kalau dalam filsafat, ada empirisme dan rasionalisme, apriori dan aposteriori, kalau dalam perkembangannya berangkat dari ilmu dari barat (akal) dan ilmu dari Timur (akal, wahyu dan intuisi (burhani, irfani, dan qur’an). Perkembangan dan sinergitas itu kemudian dipadukan sehingga lepas dari kepentingan politik, agama dan budaya.
Akhirnya pada perkembangan-perkembangan berikutnya muncul zaman baru itulah yang akan membawa cara berfikir dan cara hidup kita. Salah satu dampaknya adalah sebuah kepentingan untuk mendapatkan apa yang diinginkan, walau pun sahabat sendiri di sikat. Maka tidak heran kalau dalam “politik”  tidak ada sahabat tapi yang ada adalah sikat-sikatan. Mengapa? Karena cara berfikir yang dipengaruhi zaman baru akan berdampak negatif kalau kita membaca realitas dengan parsial. Berfikir yang hanya mementingkan pragmatis, tanpa memikirkan nilai filosofis dari sebuah pemikiran.
Jadi sangat sulit tercipta “masyarakat kritis” dalam menganalisis fenomena masyarakat, misalnya DPR kita dalam menganalisis RUU, mereka lebih mementingkan efesiensi, pragmatis, tanpa berfikir bagaimana dampaknya terhadap masyarakat, begitulah yang disampaikan Darmaningtiyas di UGM beberapa waktu lalu. Jadi orang-orang yang duduk di atas kekuasaan sudah tidak lagi memikirkan sisi filosofinya. Entah karena pengaruh “zaman baru” atau memang disengaja untuk menghilangkan nilai filosofisnya.
Sebenarnya apa yang tulis di atas merupakan data-data sejarah walau pun tidak panjang dan utuh, setidaknya ada pengingat bagi kita. Akan tetapi dalam esai ini saya ingin menyampaikan bagaimana reaksi masyarakat sastra terhadap perkembangan teknologi dan zaman baru yang telah masuk dalam pemikiran bahkan terhadap keyakinan baru dalam pandangan hidup “bersastra” yang ditandai dengan watak “kebebasan berekspresi”.
Apa yang disebut “Kebebasan berekspresi” kadang kita kurang benar memaknai, entah sastra memang seperti itu, atau justeru sastra dimaknai “salah” sehingga hasilnya pun tak berdaya.
“Zaman baru” inilah yang membuat kita tak berdaya untuk melakukan apa pun yang penting kita mau dan dapat. Popularitas menjadi tujuan utama dalam bersastra, padahal Tuhan yang paling Maha dari segala Maha, masih berproses dalam menciptakan langit dan bumi, akan tetapi mengapa kita sebagai manusia justeru menjauh dari proses itu. Apakah ingin melampuai Tuhan? Tidak apa-apa yang penting kita mampu.
Watak zaman baru, pemikiran baru, kekasih baru, isteri baru, semua serba baru, lalu apa makna itu semua. Pertanyaan inilah yang hilang dari masyarakat sastra dan masyarakat pada umumnya. Nilai-nilai filosofi dari sebuah proses sastra yang kini mulai diminimalisir oleh orang-orang yang mengejar popularitas, sehingga proses “mati” hancur lebur dike-lena-an hidup yang serba pragmatis-konsumtif. Mereka menulis seenaknya saja, lalu minta uang untuk menerbitkan tulisannya, tanpa mempertimbangkan kualitas, karena kualitas menurut saya terletak sejauh mana kita berproses dan berjuang dengan karya dan refleksi-kritis terhadap apa yang kita tulis. Agar tidak tercipta pemisahan antara apa yang kita tulis dengan kenyataan, antara teori dan praxis, yang seharusnya terjalin pertautan yang erat antara teori dan praxis hidup manusia sehari-hari (Habermas,1971).
Lalu, apa yang hilang dari sastra? Jawaban sementara, karena kurangnya refleksi-kritis terhadap proses berkarya itu sendiri. kalau menurut renungan Ratzinger sebagaimana dikutip Ignas Kleden salah satunya adalah karena pertemuan antara berbagai pandangan hidup dan aliran kebudayaan dalam dunia yang semakin terhubung menjadi satu yang kemudian mengakibatkan nilai-nilai etika yang bersifat mengikat mulai dipertanyakan, menjadi goyah, tungganglanggang dan bahkan mengalami kehancuran. Sehingga mereka mengandalkan “kebebasan” yang bersumber dari dalam dirinya sendiri yang mendahului hati nurani dan seni pemikiran.
Dari titik inilah kemudian “kebebasan” dan “zaman baru” dalam kehidupan kita, masing-masing dihadapkan pada pilihan-pilihan: menyelamatkan proses, atau mempertahankan tradisi instan yang merugikan semua orang. Tulisan sastra terus berjalan tanpa kualitas, tanpa roh, dan “proses sastra” menjadi macet dalam “kecauan pemikiran”, dengan demikian banyak bahasa komunal yang tidak bisa dipahami oleh orang-orang dan tradisi budaya orang lain.
Jika demikian, sangat mengerikan kehidupan kita. Selamat datang di dunia “Kerancuan”, mari bergembira dalam berfikir dan berkebudayaan, bagi yang ingin terus hidup di ruang hampa.

                                                                                                              ———— *** ————-

Rate this article!
Tags: