Secara Epidemologis, Surabaya Sudah Layak Usulkan PSBB ke Gubernur

(Kapasitas Layanan Kesehatan Tak Sebanding Peningkatan Jumlah Kasus)
Pemprov Jatim Bhirawa.
Kenaikan jumlah pasien covid-19 di Surabaya menjadi perhatian serius Pemprov Jatim. Selain diminta melakukan langkah-langkah signifikan yang detail dan terukur. Pemprov juga melakukan kajian epidemologis terkait tren peningkatan kasus positif covid-19 dan ketersediaan layanan kesehatan.
Dari hasil kajian tersebut, peningkatan kasus covid-19 di Surabaya baik yang positif maupun PDP (Pasien Dalam Pengawasan), tidak sebanding dengan jumlah kapasitas layanan kesehatan di Surabaya. Bahkan secara epidemologis, hasil kajian tersebut menunjukkan Surabaya sudah saatnya mengusulkan untuk menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Ketua Gugus Kuratif Covid-19 Jatim dr Joni Wahyu Hadi menuturkan, salah satu pertimbangan PSBB adalah kajian epidemologis yang dilakukan oleh tim. Dalam kajian tersebut salah satunya untuk mengukur peningkatan yang signifikan dengan grafik hari ke hari. “Untuk Kota Malang peningkatannya relatif flat, tidak signifikan,” tutur Joni di Gedung Negara Grahadi, Kamis (16/4)
Faktor berikutnya dilihat dari kesiapan layanan kesehatan yang komperehensif. “Jika di Kota Malang rumah sakitnya masih mampu untuk menangani pasien yang sewaktu-waktu akan masuk ke rumah sakit,” tutur Joni. Jadi, lanjut Joni, Malang masih belum mengkhawatirkan kondisi layanan kesehatannya. Seperti diketahui, di Jatim baru Kota Malang yang telah mengusulkan PSBB.
Kemudian dr Joni menyebutkan hasil kajian epidemologis yang telah dikerjakan timnya di Surabaya. Secara epidemologis, Kota Malang dengan Kota Surabaya berbeda. Jika dilihat grafiknya terjadi peningkatan yang cukup tajam. Kemudian perbandingan antara pusat layanan dengan kenaikannya, seandainya semua harus masuk rumah sakit tidak cukup lagi. “Jadi grafiknya linier naik terus. Kemudian dibanding pusat layanan kesehatan, jika semua pasien yang seharusnya dirawat itu dirawat ke rumah sakit, maka tidak akan cukup. Kondisi ini sudah cukup signifikan,” tutur dr Joni.
Berdasar hasil kajian tersebut, pertama yang harus dilakukan ialah harus menyediakan layanan kesehatan yang komperehensif untuk mengantisipasi lonjakan berikutnya. Ini menjadi bagian yang sudah dilakukan tim Gugus Tugas Clvid-19 Jatim baik dengan ekstensifikasi di RS Unair maupun di RSUD dr Soetomo dan RSJ Menur.
Kedua, harus dilakukan studi epidemologis secara terus menerus supaya bisa dikendalikan. Saat ini, sudah terlihat antara status PDP dan konfirm yang cukup tinggi. Kalau rumah sakit tidak diekstensifikasi maka tidak akan cukup lagi. “Karena pasien covid harus dirawat di ruangan teknan negatif. Tidak ada tawar menawar. Jadi kalau ada tenaga medis yang saat ini terpapar covid, hampir semuanya tidak secara langasung merawat pasien covid-19,” tutur dr Joni.
Artinya, lanjut Joni, keberadaan orang tanpa gejala saat ini banyak sekali. Karena itu, kehati-hatian dan jaga jarak fisik serta penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) tidak bisa ditawar lagi. “Jadi tenaga medis yang positif rata-rata dia merawat pasien yang semula belum merupakan pasien covid,” kata dia. Terlebih saat ini, lanjut Joni, mutasi ketiga covid-19 menunjukkan gejala klinis yang bermacam. Bahkan ada yang datang di UGD dengan gejala klinis sesak dan diare. “Penampakan klinis covid-19 ini sudah bermacam-macam bahkan di luar saluran pernafasan. Ada yang secara klinis terjadi diare,” kata dia.
Kesimpulan ketiga, dr Joni menjelaskan sudah saatnya Kota Surabaya meminta persetujuan untuk mengusulkan PSBB ke Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa. “Tapi ini sekali lagi baru terkait dengan kajian epidemologis. Masih banyak faktor lain yang menjadi dasar untuk penerapan PSBB,” pungkas dr Joni. (tam)

Tags: