Sediakah Wakil Rakyat Berkurban ?

Anjrah Lelono BrotoOleh :
Anjrah Lelono Broto
Litbang LBTI, Alumnus STKIP PGRI Jombang dan Mahasiswa PPS Unesa

Beberapa pekan terakhir ini, wakil-wakil rakyat di senayan (baik yang baru saja mengakhiri masa bhakti maupun yang baru saja dilantik) menyita perhatian kita dengan pengesahan RUU Pilkada Tak Langsung hingga kelindan perebutan kursi pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Ironisnya, ketersitaan perhatian tersebut justru disarat-padati lakuan anggota DPR yang kian menebalkan stigma negatif pada diri mereka. Terkait dengan ketersediaan Nabi Ibrahim AS untuk menyembelih anaknya sendiri, Nabi Ismail AS, dalam rangkaian turunnya perintah Allah SWT untuk melakukan ibadah qurban bagi umat Islam, lakuan beraroma penomorsatuan kepentingan parpol ketimbang amanah konstituen (rakyat) wakil-wakil rakyat di senayan mengusik nurani kita semua; sediakah mereka mengurbankan sesuatu yang paling berharga semata karena perintah-Nya?
Sindhunata menguraikan dampak egoisme yang menggerus nilai-nilai keadaban dan kemanusiaan di tengah kehidupan (“Kulihat Ibu Pertiwi”, Kompas, 24/9/2013). Ketidaksediaan wakil-wakil rakyat untuk mengedepankan kepentingan bangsa dan negara kian mengokohkan pandangan Darwin tentang betapa yang kuat memperdayai yang lemah, hingga kekuatan jumlah anggota koalisi di DPR menggiring mereka pada kecongkakan sebagaimana ungkapan Fachri Hamzah wakil ketua DPR 2014-2019; “Lebih baik KPK dibubarkan. Karena saya tidak percaya dengan lembaga super body dalam demokrasi.” (Merdeka, 02/10/2014).
Nabi Ibrahim AS berqurban sebagai upaya untuk menundukkan egoisme diri. Apa yang yang menjadi miliknya rela diqurbankan semata karena perintah-Nya. Hal ini menjadi petanda keikhlasannya untuk melumatkan egoisme pada diri setiap manusia. Keikhlasan Nabi Ibrahim AS ini disahkan sebagai sebagai penanda hari raya Idul Qurban yang menyerukan umat Islam untuk menyembelih hewan qurban. Seruan ini menyiratkan pesan moral kepedulian untuk saling berbagi dan sekaligus mematahkan ego, sesuatu yang menjadi sumber pemicu keserakahan akan materi, prestasi, prestise, dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bahkan bernegara.
Egoisme lahir dari rahim pragmatism dimana kecenderungan untuk merajut lakuan yang instan guna mencapai tujuan-tujuan pribadi (individualisme). Penempatan kepentingan pribadi di atas kepentingan bersama sebagaimana yang kuat ditampilkan oleh wakil-wakil rakyat di senayan sama halnya telah menghancurkan sistem tata nilai yang telah diyakini keshahihannya oleh rakyat. Mengingat, ketika wakil-wakil tenggelam dalam kubangan saling memangsa demi kepentingan masing-masing maka yang terbangun di masyarakat adalah ketidakteladanan dalam membawa suara rakyat.
Sementara, apapun yang tak patut diteladani dari wakil-wakil rakyat tersebut menjadi konsumsi publik setiap hari di tanah air. Realitas semacam ini besar kemungkinan ditirukan oleh siapa saja, terutama generasi muda. Kebanalan dalam untuk pemenuhan syahwat kekuasaan, penimbunan materi, pemuasan konsumerisme, serta pernik-pernik hedonisme sebagaimana “adu cantik” yang dilakukan wakil rakyat perempuan (baca “Anggota DPR ini Adu Tampil Cantik Saat Pelantikan”, Liputan6, 02/10/2014) merupakan contoh buruk betapa pencitraan lebih penting ketimbang aksi nyata menyuarakan aspirasi konstituen.
Dikhawatirkan, masyarakat rentan sosial maupun kulminasi kejahatan yang bergerak massif di masa mendatang bukanlah isapan jempol belaka. Setiap orang yang merasa lapar “wajar” bertindak kasar untuk menemukan solusinya. Padahal, masyarakat rentan sosial adalah ciri masyarakat barbarian di mana keshahihan sistem tata nilai berada pada titik nihil.
Lalu, adakah celah cerah untuk menguraikannya?
Spirit qurban Nabi Ibrahim AS dalam rangka menumbuhkan kepekaan sosial kepada manusia dan makhluk lainnya serta kepekaan personal kepada perintah Tuhan merupakan hal mendasar yang dapat dijadikan pijakan untuk menemukan kembali kemanusiaan kita yang tunduk pada sistem tata nilai yang telah disepakati bersama sebelumnya.
Secara sosiologis, kepekaan  sosial akan merevitalisasi relasi simbiosis mutualis yang humanis. Kepekaan akan menjadi bahan bakar emotif setiap orang untuk menyadari siapa dirinya dan ada siapa saja di sekitarnya, dia adalah wakil rakyat dan ada konstituen yang menitipkan suara padanya, sehingga menomorsatukan kepentingan bersama adalah keniscayaan yang terberi.
Sedangkan secara hierarkis, ketaatan pada perintah-Nya sebagaimana yang dilakukan Nabi Ibrahim AS dapat menjadi motor bagi kita semua untuk mematuhi sistem tata nilai yang telah berlaku, baik tata nilai tentang insan yang bertakwa kepada Tuhan maupun tata nilai kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dengan demikian, lakuan untuk melakukan lobi-lobi politik semata demi kepentingan pribadi maupun koalisinya, menerima gratifikasi, berkolusi melakukan korupsi, dll sebagaimana yang lazim dilakukan wakil-wakil rakyat di senayan hanya akan menjadi mitos yang jauh dari kenyataan.
Mengharapkan wakil-wakil rakyat kita untuk berqurban seperti halnya Nabi Ibrahim AS besar kemungkinan adalah mimpi kolektif rakyat Indonesia. Semoga, wakil-wakil rakyat kita mendengarkannya.

                                                           ———————– *** ————————-

Rate this article!
Tags: