Sejuta Rumah Sederhana

rumah-sederhanaPenyediaan rumah untuk masyarakat berpenghasilan rendah merupakan kewajiban pemerintah. Tetapi hingga kini, amanat konstitusi itu seolah-olah terabaikan. Maka menghuni rumah sewa (kos) menjadi pilihan. Sebab, memiliki rumah sederhana semakin tidak mudah, disebabkan harga rumah yang terus melonjak. Kalangan pekerja umum dan buruh serasa tak mampu menjangkau harga rumah. Walau dengan cara meng-angsur selama 15 tahun.
UU Nomor 1 tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, secara khusus menyebut masyarakat berpenghasilan rendah di-akronim-kan menjadi MBR. Itu menunjukkan, MBR (Masyarakat Berpenghasilan Rendah) menjadi prioritas utama UU Perumahan. Tak kurang dari delapan pasal, menyebut MBR. Bahkan UU Perumahan diterbitkan dengan visi rumah yang layak dan terjangkau harganya. Dibebankan sebagai tanggungjawab Negara.
UU Nomor 1 tahun 2011, pada konsiderans menimbang huruf b, menyatakan “Negara bertanggungjawab…melalui penyelenggaraan perumahan … agar masyarakat mampu bertempat tinggal serta menghuni rumah yang layak dan terjangkau.” Klausul ini diperkuat dalam Ketentuan Umum (pasal 1) angka ke-24, tentang definisi MBR. Secara tekstual, MBR adalah “masyarakat yang mempunyai keterbatasan daya beli sehingga perlu mendapat dukungan pemerintah rumah.”
Pada pasal 13, diamanatkan fasilitasi penyediaan rumah untuk MBR. Yakni, peng-alokasi-an anggaran biaya pembangunan mendukung terwujudnya perumahan MBR. Amanat yang sama diulang pada pasal 14 huruf h, dan pasal 17 huruf (i) khusus untuk pemerintah propinsi. Serta diulang lagi pada pasal 15 huruf (m) dan pasal 18, yang mewajibkan pemerintah kabupaten dan kota untuk menyediakan anggaran perumahan MBR.
Namun visi prioritas UU Perumahan belum terealisasi. Terutama persyaratan uang muka yang rata-rata telah lebih dari Rp 20 juta. Upah buruh sebesar Rp 3,3 juta (standar Jakarta) hampir tidak tersisa untuk ditabung sampai cukup sebagai uang muka pemilikan rumah. Diperlukan waktu menabung sekitar 10 tahun. Konsekuensinya harus gigih menabung, bahkan menunda pernikahan.
Maka diperlukan campur tangan penyelenggara negara, termasuk pemerintah daerah. Walau dalam rumah susun, tetapi bukan sewa, melainkan bisa dimiliki dan bisa diwariskan. Tanggungjawab pemerintah daerah untuk penyediaan rumah, juga diatur dalam UU Nomor 24 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Diantaranya melalui pembentukan Dinas Permukiman pada tingkat propinsi serta kabupaten dan kota.
Konon, penyediaan rumah sederhana untuk MBR, tidak mudah. Terutama penyediaan lahan. Namun sebenarnya setiap pemerintah daerah memiliki aset berupa tanah cukup luas. Seluruhnya berupa Lasiba (lahan siap bangun), sehingga tidak memerlukan biaya mahal untuk pembangunan perumahan. Tak terkecuali rumah susun (strata tittle) yang bisa dimiliki oleh setiap warganya.
Rumah sederhana untuk MBR, bukan berarti boleh dibangun sekecil-kecilnya. Berdasar UU Nomor 1 tahun 2011, pasal 22 ayat (3) ukuran lantai rumah tidak boleh kurang dari 36 meter persegi. Tak banyak pemerintah daerah berperhatian pada penyediaan rumah untuk MBR. Namun pemerintah daerah pada kawasan pusat urban (Jabodetabek) telah menyediakan perumahan untuk MBR.
Ternyata cukup menguntungan. Begitu pula, pemerintah propinsi Jawa Timur serta Pemkot Surabaya, cukup peduli menyediakan rumuh susun sewa (rusunawa). Program tersebut disediakan untuk golongan masyarakat berpenghasilan kurang dari Rp 4 juta per-bulan. Namun tak jarang, rusun sewa diborong oleh kalangan pedagang yang berpenghasilan besar. Banyak mobil ter-parkir di area rusun.
Greget penyediakan rumah MBR, seolah-olah baru tersadar setelah presiden mencanangkan program sejuta rumah. Tetapi sebenarnya, tak hanya satu juta, karena penduduk Indonesia sudah sebanyak 250 juta jiwa. Sepertiga tinggal di Jawa, sekitar 83 juta jiwa. Maka diperlukan setidaknya 10 juta rumah sederhana kelas MBR.

                                                                                                                 ——— 000 ———

Rate this article!
Sejuta Rumah Sederhana,5 / 5 ( 1votes )
Tags: