Sengketa Sewa Lahan oleh Pelindo III, Warga Tolak Bayar Sewa Lahan

Warga Perum Pelindo III melakukan aksi penolakan terhadap pungutan sewa lahan oleh Pelindo III, Kamis (23/8). [abednego/bhirawa]

Surabaya, Bhirawa
Ratusan Kepala Keluarga (KK) yang menempati komplek Perum Pelindo III melakukan aksi penolakan pembayaran uang sewa lahan kepada Pelindo III, Kamis (23/8).
Bahkan warga yang tergabung dalam Forum Perjuangan Warga Perak (FPWP) ini merasa ditipu dengan pungutan sewa lahan yang begitu tinggi dan sudah berjalan puluhan tahun ini.
Koordinator FPWP Wawan Sarwani mengatakan, berdasarkan aturan agraria, pengelolaan lahan tidak diperbolehkan untuk disewakan. Apalagi besaran pungutan sewa lahan ini diakui Wawan sangat mencekik warga. Padahal, sewa lahan ini tak seharusnya dilakukan Pelindo III pada lahan yang sebenarnya sudah dimiliki warga sejak zaman Orde Baru.
“Sewa itu dibayar sejak 1992, hampir berjalan 20 tahun lebih. Biaya sewanya bervariatif tergantung luas lahannya (rumah), setahun ada yang Rp 5 juta hingga Rp 10 lebih. Dan itu terus meningkat sewanya,” kata Wawan, Kamis (23/8).
Atas besaran pungutan sewa yang semakin naik, Wawan mengaku, semua penghuni komplek enggan membayar sewa tersebut. Tapi dengan konsekuensi, yakni segala fasilitas seperti listrik dan air akan diputus. Untuk itu pihaknya bersama FPWP yang berada di Perum Pelindo III menggugat sikap Pelindo III itu di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya.
“Selama ini sudah berjalan perkaranya. Padahal jelas, sewa-menyewa itu tidak ada di dalam aturan-aturan. Selama ini kami merasa dibohongi dan dibodohi. Apalagi kalau tidak membayar sewa, diancam listrik dan air akan diputus. Kan yang berhak memutus listrik adalah PLN,” jelasnya.
Wawan menjelaskan, status tanah ini dulunya adalah HPL (Hak Pengelolaan Lahan) Perum Pelabuhan III. Nah, jika menurut Undang-undang Nomor 17 Tahun 2008, HPL sudah diberikan kepada otoritas pelabuhan. Yang mana pada Pasal 84 A menyatakan, otoritas pelabuhan memiliki wewenang mengatur dan mengawasi penggunaan lahan daratan dan perairan pelabuhan.
Sedangkan selama ini, lanjut Wawan, PT Pelindo III berpeganggan pada SK Mendagri No 38 Tahun 1987. Dengan sendirinya hak pengelolaan Perum Pelabuhan III berdasarkan keputusan Mendagri ini gugur demi hukum. Karena kedudukan Undang-undang lebih tinggi dari keputusan Menteri Dalam Negeri.
“Sekarang Pelindo tidak punya HPL, karena sudah diberikan kepada otoritas pelabuhan,” tegasnya.
Sementara itu, Hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya Unggul Warso Murti melakukan sidang Pemeriksaan Setempat (PS) di wilayah sengketa, yakni di Jl Teluk Kumai Barat Surabaya. Dalam PS ini menunjukkan ketidakjelasan batas-batas yang ditunjuk Pelindo III sebagai penggugat dalam gugatan ini.
“Menunjukkan bahwa gugatan yang diajukan Pelindo III tidak sesuai fakta yang ada di lapangan. Saat sidang PS penggugat tidak bisa membuktikan batas-batas wilayah dalam materi gugatan. Jelas gugatan yang diajukan oleh pengugat tidak memiliki dasar hukum,” ungkap Arya Senatama, selaku kuasa hukum tergugat (warga) saat di PN Surabaya.
Arya juga menambahkan bahwa pihaknya optimistis setelah adanya sidang PS tersebut, hakim bakal memberi putusan yang adil. “Dengan adanya PS ini, Majelis Hakim semakin jelas melihat fakta yang ada di lapangan. Harapan kami tergugat mendapatkan hak atas tanah secara adil,” pungkasnya.
Untuk diketahui, polemik soal sewa-menyewa lahan yang sudah dihuni puluhan tahun oleh warga ini tidak menemukan titik terang. Bahkan kedua belah pihak, yakni warga dan Pelindo III sama-sama membawa masalah ini ke jalur hukum. Pertama, Pelindo III melayangkan gugatan bagi warga Perum Pelindo III (tergugat) di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya.
Selanjutnya, warga mengajukan gugatan rekovensi saat melakukan jawaban atas gugatan penggugat (Pelindo III). Dalam jawaban gugatan, tergugat mengajukan gugatan rekovensi atau gugatan balik tergugat kepada penggugat yang berjalan di PN Surabaya. [bed]

Tags: