Soal Impor Beras, Pengamat: Ada Tata Kelola Perberasan yang Salah!

Petani di salah satu wilayah di Kabupaten Jombang tengah menanam padi, Jumat (23/12). [arif yulianto]

Jombang, Bhirawa
Kebijakan impor beras yang dilakukan pemerintah mendapatkan tanggapan dari pengamat ekonomi di Kabupaten Jombang, H Machin. Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Darul Ulum (Undar) Jombang ini menyebutkan, ada yang salah dalam tata kelola menejemen perberasan di tanah air.
Machin yang juga merupakan anggota DPRD Kabupaten Jombang terdengar merasa prihatin dengan adanya kebijakan impor beras. Harusnya, kata dia, pemerintah mestinya memikirkan bagaimana caranya daya beli petani dalam negeri makin meningkat.
“Maksudnya dengan hasil panen yang bagus, harga yang bagus, itu mestinya akan menimbulkan tingkat kesejahteraan petani yang saat ini antara biaya produksi dengan penjualannya tidak seimbang. Sehingga daya beli petani jadi turun,” papar Machin, Senin (26/12).
Padahal, lanjut dia, Indonesia merupakan negara agraris, negara pertanian, sehingga apapun alasan pemerintah, misalnya karena alasan impor beras karena Cadangan Beras Pangan (CBP) yang menipis, dinilainya merupakan alasan klise saja.
“Saya yakin ada beberapa pihak yang diuntungkan dari sisi impor beras ini. Ini mungkin ke depan menjadi perhatian pemerintah lebih serius bagaimana meningkatkan daya beli petani. Jangan sampai petani ini sudah kondisi yang seperti ini, daya beli turun, apalagi dengan persaingan harga yang dianggap paling mahal di negara Asean,” tandasnya.
Petani dari Desa Watudakon, Kecamatan Kesamben, Kabupaten Jombang, Suradi menuturkan, impor beras merupakan sebuah kebijakan yang tidak pas bagi petani. “Dikarenakan Bulog koar-koar stok melimpah kok tiba-tiba impor, jadi ya gak benarlah,” tutur Suradi.
Suradi menambahkan, impor beras sangat jelas kepada petani, meskipun impor beras tersebut bertahap hingga panen MP 2023. “Harga pasti jatuh. Sedangkan biaya garap meningkat dari tahun ke tahun,” tuturnya lagi.
Sementara itu, aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Syarif Abdullah menilai, impor yang dilakukan secara mendadak dan reaktif sebenarnya juga merugikan Indonesia, karena dari segi harga, beras yang didapat lebih mahal dibandingkan dengan impor yang dilakukan secara terencana.
“Hal ini menandakan bahwa ada kegagalan mitigasi dan perencanaan matang terkait beras oleh Bulog dan pemerintah secara umum, sangat disayangkan. Padahal mereka dibayar mahal untuk mengurus hal ini. Karena solusinya hanya impor, semua orang juga bisa. Tidak perlu bayar mereka mahal-mahal. Masalah beras menurut saya adalah masalah klasik yang terus berulang-ulang seakan tanpa solusi,” pungkas anggota Badan Koordinasi Nasional Lembaga Pers Mahasiswa Islam HMI tersebut. [rif.iib]

Tags: