Status Bencana PMK

Pemerintah secara eksplisit mengakui wabah penyakit mulut dan kuku (PMK) pada hewan ternak sebagai bencana non-alam. Kini penanganan wabah PMK dipimpin oleh Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Sebelumnya, Gubernur Jawa Timur telah mendeklarasikan daerah Jawa Timur ber-status “Keadaan Darurat Bencana Penyakit Mulut dan Kuku (PMK).” Dibutuhkan percepatan menanggulangi wabah PMK, sekaligus antisipasi kerugian ke-ekonomi-an yang ditanggung rakyat.

Dengan status bencana, akan berlaku UU Nomor 41 Tahun 2014 Tentang Perubahan UU Nomor 18 Tahun 2009 Tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Serta UU Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Walau sesungguhnya pada masa wabah PMK, terasa UU Peternakan dan Kesehatan Hewan “tidak ramah” terhadap peternak yang terdampak. Terutama biaya yang dibebankan kepada pemilik hewan ternak.

Bagai pepatah, sudah jatuh tertimpa tangga. UU Peternakan dan Kesehatan Hewan pada pasal 47 ayat (1), menyatakan, “Pengobatan hewan menjadi tanggung jawab pemilik hewan, peternak, atau perusahaan peternakan, baik sendiri maupun dengan bantuantenaga kesehatan hewan.” Begitu pula pasal 47 ayat (5) tentang pemusnahan hewan sakit menular yang tidak disertai kompensasi (ganti rugi).

Padahal hewan ternak (sapi, dan kambing) menjadi aset utama rakyat yang tergolong liguid (gampang dijual belikan). Sampai disebut sebagai rajakaya. Jumlah sapi di Indonesia diperkirakan sebanyak 18,5 juta ekor (plus 1,2 juta ekor kerbau). Juga terdapat 33 juta ekor domba (plus 3 juta ekor kambing). Diperkirakan lebih dari 255 ribu ekor hewan ternak terpapar wabah PMK. Menyebar cepat ke 19 propinsi (di 215 kabupaten dan kota).

Tetapi upaya penanganan oleh kalangan veteriner juga membuahkan hasil yang baik. Sebanyak 82.185 ribu ekor sudah sembuh, mulai bisa bangkit. Namun ada pula yang terpaksa dipotong bersyarat (lebih dari 2.300), serta lebih dari 1.400 ekor tak tertolong (mati). Virus yang menyebabkan PMK sangat cepat menyebar. Penularan bisa mencapai lebih dari 90%. Terutama mengancam sapi anakan yang sangat rentan dengan angka kematian tinggi. Diperkirakan kerugian akibat wabah PMK sekurang-kurangnya bisa mencapai Rp 16 trilyun. Juga hilangnya pekerjaan pada produk susu segar.

Harus diakui, penanganan terhadap wabah PMK terasa lambat. Begitu pula penetapan “status bencana” terhadap wabah PMK. Padahal pola penularan PMK melalui airbone (dibawa udara) pasti cepat menyebar. Bahkan hewan berkuku belah (kerbau liar, rusa, dan babi hutan) yang hidup liar di hutang lindung, bisa tertular.

Penetapan status bencana sesuai dengan UU Nomor 41 Tahun 2014 (Perubahan UU Nomor 18 Tahun 2009 Tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan). Pada pasal 1 (Ketentuan Umum) angka ke-37a, dinyatakan, “Wabah adalah kejadian penyakit luar biasa yang dapat berupa timbulnya suatu Penyakit Hewan Menular baru di suatu wilayah atau kenaikan kasus Penyakit Hewan Menular mendadak yang dikategorikan sebagai bencana nonalam.”

Penetapan status bencana non-alam terhadap wabah PMK, “melegakan” pemerintah daerah (propinsi serta kabupaten dan kota). Daerah wabah, dan kawasan tertular hebat, tidak memiliki nomenklatur anggaran penanganan wabah PMK. Kelimpungan selama 2 bulan wabah dengan kegiatan yang sangat padat. Seluruh biaya PMK ditanggulangi dari kantong pegawai, dan sokongan perguruan tinggi negeri.

Maka dengan status “Bencana Non-alam,” penanganan wabah PMK kini leluasa menggunakan anggaran. Bisa bersumber dari APBN (pusat), APBD Propinsi, serta APBD Kabupaten dan Kota. Seluruhnya bersifat on-call (wajib mudah dicairkan). Mendahului perubahan anggaran (APBD) tahun 2022, yang biasa dibahas bulan Juli dan Agustus.

——— 000 ———

Rate this article!
Status Bencana PMK,5 / 5 ( 1votes )
Tags: