Taat Mitigasi Bencana

foto ilustrasi

Tiada bencana alam datang tiba-tiba, melainkan (pasti) selalu terdapat “warning” alamiah. Termasuk bencana vulkanologi yang berupa luruhan kubah lahar panas gunung berapi. Jika pemerintah daerah dan masyarakat abai, maka bencana yang datang beriringan bisa benar-benar mengubah “peta” daerah. Taat terhadap mitigasi bencana wajib menjadi “harga mati” kesiagaan. Sekaligus kebersatuan dalam penanggulangan bencana, sebagai respons spontan.

Sebagai kawasan yang berada di punggung rantai tektonik (gempa bumi), dan kekayaan gunung berapi (vulkanik), bencana alam bisa datang setiap saat. Pemerintah wajib membangun sistem informasi mitigasi bencana yang di-sosialisasi-kan hingga tingkat kampung. Juga di-iringi penegakan hukum khusus terhadap ke-taat-an tanggap bencana. Serta melakukan audit sistemik lingkungan hidup (alamiah) secara peridodik.

Dampak bencana tektonik, dan vulkanik, akan terasa makin pedih manakala dibarengi bencana hidro-meteorologi. Maka masyarakat juga wajib ber-prakarsa menghindari kawasan rawan bencana. Maka mitigasi melalui Sekolah Lapang Cuaca Nelayan (SLCN) yang digagas BMKG patut dikembangkan pada kawasan dataran tinggi. Terutama pada desa-desa di lereng gunung. Pengenalan terhadap “warning” alamiah dapat mencegah ke-fatal-an risiko bencana. Terutama yang mengakibatkan korban jiwa, dan kerugian material besar.

Sekolah mitigasi bencana akan menggantikan “ilmu titen” yang biasa dimiliki masyarakat secara tradisional. Seperti kasus erupsi gunung Merapi, yang mengorbankan mbah Maridjan (beserta tamunya) yang gagal memahami gejala alam. Memilih kukuh tinggal di rumah saat erupsi hebat tahun 2010. Gagal paham terhadap mitigasi bencana juga terjadi kasus banjir dan longsor yang terjadi di desa Ngetos, kabupaten Nganjuk, Jawa Timur (14 Pebruari 2021). Korban jiwa mencapai 26 warga desa.

Potensi longsor perbukitan di Ngetos, sebenarnya telah diketahui. Bahkan telah dipasang alarm. Namun saat bencana terjadi alarm tidak berbunyi, karena rusak (tidak dirawat). Pemerintah kabupaten (dan desa) seharusnya memiliki ke-tanggap-an bencana. Seperti pada aliran sungai yang berhulu dari lereng gunung berapi aktif, wajib memiliki pola pembinaan ekstra ketat eksploitasi alam. Terutama mencegah alih fungsi lahan, dan penambangan pasir.

Mitigasi (dan sekolah bencana), sesungguh telah diamanatkan undang-undang (UU). Secara lex specialist, terdapat UU Nomor UU Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Di dalamnya terdapat amanat pencegahan bencana, termasuk mitigasi. Pada pasal 38 huruf a, diwajibkan adanya “identifikasi dan pengenalan secara pasti terhadap sumber bahaya atau ancaman bencana.”

Terdapat frasa “pengenalan secara pasti,” yang mengatur mitigasi bencana dilakukan secara tepat. Bencana hidro-meteorologi dapat diprediksi dengan tingkat presisi cukup baik. Termasuk bakal datangnya badai, dan potensi hujan lebat disertai petir. Begitu juga potensi bencana vulkanik gunung berapi. Kinerja BPPTGK (Badan Penyelidik dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi), seharusnya bisa diakses pemerintah daerah.

Bahkan UU Penanggulangan Bencana, juga meng-amanat-kan ke-siaga-an ekstra. Pada pasal 38 huruf b, dinyatakan, “kontrol terhadap penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam yang secara tiba-tiba dan/atau berangsur berpotensi menjadi sumber bahaya bencana.” Terdapat frasa kata secara tiba-tiba dan/atau berangsur, meng-isyarat-kan sistem audit dan mitigasi periodik. Pemerintah daerah lebih memiliki tanggungjawab (dan paham) potensi bencana alam di daerah.

Selain taat mitigasi, UU juga mengamanatkan bantuan sosial, berupa pemenuhan kebutuhan dasar sehari-hari. Serta rehabilitasi sosial, dan lingkungan (sawah dan ladang) yang rusak. Juga perbaikan pemukiman penduduk. Area bekas bencana vulkanologi juga bisa diubah menjadi tujuan wisata yang membangkitkan perekonomian lokal. Kini kawasan dusun Kinahrejo (di lereng Merapi), dan danau kawah gunung Kelud menjadi tujuan wisata yang ramai.

——— 000 ———

Rate this article!
Taat Mitigasi Bencana,5 / 5 ( 1votes )
Tags: