Tahun Ajaran Baru dan Kurikulum Pendidikan Seks

Wiwin Wijiyanti, SPdOleh :  
Wiwin Wijiyanti, SPd
Guru Mata Pelajaran Geografi MAN 2 Bojonegoro-Jatim,
Alumnus Universitas Negeri Malang,
Email: bundawiwinwijiyanti@gmail.com

Tahun ajaran 2014/2015 berlangsung mulai 14 Juli 2014. Tentunya banyak hal yang baru. Mulai dari kurikulum 13, buku baru, dan juga seragam baru dengan logo merah putih di dada di atas saku seragam sekolah para peserta didik di lembaga pendidikan kita.
Lantas apa yang perlu kita sikapi dari tahun ajaran baru ini? Pertanyaaan lainnya adalah bagaimana dan apa yang harus dipersiapkan agar lembaga pendidikan kita bisa menciptakan suasana yang nyaman dan aman bagi peserta didik tidak seperti kejadian beberapa waktu terkait dengan kekerasan seks?
Pemicu Kekerasan
Pertanyaannya adalah sejak kapan kekerasan itu terjadi? Tentu jawabannya beragam. Untuk konteks saat ini, misalnya kekerasan seksual yang terjadi di Jakarta Internasional School (JIS) Jakarta sangat menghebohkan.  Tentunya menimbulkan keprihatinan yang mendalam untuk dunia pendidikan kita saat ini. Anak-anak kita seakan-akan tidak pernah lepas dari bayang-bayang yang menakutkan. Bahaya yang selalu menjadi “hantu” menakutkan bagi masa depannya.
Beban psikologis akan selalu terbawa sampai kapanpun. Semoga kasus JIS secepatnya di tangani. Ucapan terima kasih perlu disampaikan kepada pihak aparat. Dalam perkembangan kasus ini, Polisi telah menemukan tersangkanya (dua petugas kebersihan dan juga tersangka lainnya)  serta  telah memeriksa Kepala Sekolah Timothy Carr dan guru-guru di TK JIS  untuk pengembangan lebih lanjut. Dan Kasus yang melibatkan anak-anak kita berita (JP,  Rabu,7/5) Sudah 400 Anak Jadi Korban. Mereka semua jadi korban kasus Pedofelia hasil temuan KPAI selama 2014.
Munculnya kekerasan seks terhadap anak apa yang melatarbelakangi? Yang jelas kekerasan terhadap anak bisa jadi karena berbagai tayangan pornografi yang marak. Mengapa demikian? Karena jujur harus kita akui pornografi memiliki andil yang cukup signifikan dalam membnetuk pola hidup dan perilaku anak-anak atau yang melihatnya. Sebab kita tahu bahwa anak-anak kita masa yang penuh tanda tanya rasa ingin tahunya sangat tinggi (baca: kepo). Rasa penasaran dan rasa ingin mencobanya tinggi sekali.
Kalau dicermati secara etimologi dan bila dirunut dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata porno dimaknai cabul. Bila kata porno mendapat tambahan kata grafi menjadi pornografi. Sehingga kata tersebut bermakna: pertama,  penggambaran tingkah laku secara erotis dengan lukisan atau tulisan yang membangkitkan nafsu birahi. Kedua, bahan bacaan yang dengan sengaja dan semata-mata dirancang untuk membangkitkan nafsu birahi dalam seks. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kekerasan seks bisa terjadi karena adanya rangsangan yang pada akhirnya berlanjut dalam nafsu yang tidak terkendali. Dan dalam tataran inilah anak-anak kita sering curi curi kesempatan.  Mereka ingin  mengikuti perkembangan seks yang tidak mendidik melalui dunia maya maupun jejaring sosial yang ada. Sehingga tidak mengherankan mereka dikatakan “kepo”.
Nah, bila kita mencermati apa yang  terjadi di JIS khususnya dan dunia pendidikan pada umumnya tentunya harus ada sikap bijak dan tidak saling menyalahkan satu sama lain. Dalam hal ini ada beberapa point  yang harus dilakukan,  pertama, perlunya konsistensi sikap pemerintah dan sesegera mungkin adanya kurikulum antipornografi atau juga kekerasan seks masuk kurikulum di sekolah. Artinya perlu adanya langkah tegas pemerintah untuk memblokir situs porno atau negatif harus selalu dan terus menerus. Sebab bagaimanapun langkah ini memberikan citra positif bagi perkembangan moralitas bangsa kita. Dan harus mendapat dukungan dari masyarakat. Langkah tersebut akan lebih efektif lagi  manakala masalah pornografi ini kalau bisa masuk dalam kurikulum di sekolah dari jenjang SD sampai perguruan tinggi. Dengan kata lain, apa yang dilakukan oleh pemerintah tidak hanya sesaat saja. Akan tetapi dan menindak tegas bagi pihak-pihak yang terlibat masalah pornografi. Sebab bagaimanapun juga pornografi sudah mewabah sampai kepelosok desa-desa. Dan itu kalau tidak secara dicermati sejak dini tidak mustahil anak-anak kita akan selalu jadi korban dan juga begitu sebaliknya.
Kedua, lingkungan keluarga dan sekolah adalah tempat kampanye dan sosialisasi yang efektif untuk memutus jaringan pornografi atau pelaku kekerasan seks. Dengan kata lain, anak-anak atau remaja harus terhindar dari fenomena pecabulan, pornografi dan kekerasan seksual. Anak-anak harus tetap menjadi pribadi yang utuh bukan selalu dalam bayang-bayang kekerasan dari teman-teman sebayanya atau juga orang dewasa yang memiliki perilaku menyimpang. Dalam kondisi yang demikian, peran guru-guru di sekolah sangat dominan. Guru-guru harus menampilkan sosok yang bisa memberi rasa aman dan juga memotivasi bagi anak-anak untuk mengembangkan diri yang ke arah positif.
Anak yang Berdaya Saing
Ada beberapa hal yang perlu dilakukan secara komprehensif untuk mengontrol agar anak-anak kita tidak jadi korban kekerasan dan juga menjadi aktor kekerasan seksual dan juga kekerasan verbal.   Pertama, regulasi pemerintah tentang tayangan-tayangan yang akan ditampilkan di televisi, baik secara UU Penyiaran maupun Lembaga Sensor Film, harus mampu meminimalisasi tayangan yang tidak bermanfaat bagi pemirsa atau yang berpotensi merusak generasi penerus bangsa.  Kalau langkah ini tidak segera mendapatkan perhatian yang serius lambat laun generasi kita memiliki fondasi yang kuat terkait karakter yang mereka miliki.
Kedua, menjadikan permasalahan tayangan yang berbau kekerasan di TV itu sebagai tanggung jawab bersama seluruh komponen. Baik komunitas pertelevisian, pemerintah, maupun masyarakat. Media TV harus paham akan tanggung jawab sosial untuk turun menyajikan tayangan-tayangan positif.  Dalam konteks ini, peran orang tua sangat vital. Mengapa demikian? Karena orang tualah pembimbing sejati anak-anak di rumah. Kalau anak-anak tidak dibimbing langsung oleh orang tua saat melihat tayangan TV atau film atau juga tanyangan yang tidak edukatif niscaya anak-anak akan menelan secara mentah-mentah apa yang mereka tonton. Kalau sudah demikian? Siapa yang harus disalahkan?  Tentunya orang tua harus arif. Menyalahkan tehnologi. Misalnya teman sepermainan atau yang mencari-cari alasan lain. Jadi orang tua harus selektif terhadap tayangan yang dilihat oleh anak-anak. Dengan kata lain masyarakat (baca: ortu)  pun harus selektif terhadap program-program TV.
Ketiga, pemerintah harus aktif untuk turut mengawasi media massa agar sesuai dengan fungsi yang sebenarnya. Mengapa ini penting? Menurut saya dengan cara ini pemerintah bisa memberikan teguran atau sanksi manakala ada stasiun TV yang tidak memberikan tanyangan yang edukatif bagi anak-anak. Langkah ini bisa dilakukan oleh pemerintah dengan memberikan penekanan kepada stasiun TV agar membuat tayangan yang memiliki bobot pembentukan karakter anak yang unggul. Diperlukan sebuah tayangan yang merangsang anak-anak kita untuk memiliki “daya tahan”, “daya saing” dan juga “daya keberlanjutan” menjalani hidup dan kehidupan mereka kelak.
Anak-anak harus jauh dari kepungan kekerasan baik fisik maupun verbal. Mengapa hal ini penting? Karena hal tersebut bisa menghambat perkembangan semangat dan daya juang anak dalam menjalani kehidupan. Anak-anak kita akan memiliki karakter pribadi yang kuat dan unggul manakala berpegang dan memiliki daya tahan, daya saing, dan daya berkelanjutan dalam hidup dan kehidupannya.  Fenomena JIS dapat kita jadikan renungan dan pelajaran kita bersama. Dengan demikian, sebuah langkah mendesak agar guru dan orang tua untuk selalu melakukan pendidikan seks yang sehat di usia dini bagi anak-anak kita dalam bentuk kurikulum yang mengikat.  Dan juga perlunya orang dewasa untuk selalu memberikan perlindungan rasa aman dan nyaman bagi anak-anak kita. Moga anak-anak kita tetap selamat dari bahaya. Tetap semangat untuk bermain, berkarya,  dan selalu kreatif dalam dunianya sehingga menjadi generasi inspiratif.

—————- *** ——————

Tags: