Tantangan Polwan Masa Kini

Ani Sri RahayuOleh :
Ani Sri Rahayu
Pengajar Civic Hukum Universitas Muhammadiyah Malang

Memperingati HUT Polwan ke-66, yang tepatnya lahir pada saat itu 1 September 1948, diakui atau tidak peran polwan semakin kompleks. Seiring waktu, tugas Polwan di Indonesia terus berkembang, tidak hanya menyangkut masalah kejahatan wanita, anak-anak, remaja, narkotika dan masalah administrasi, namun sudah berkembang jauh hampir menyamai berbagai tugas Polisi prianya.
Sistem penerimaan anggota baru di Polwan seperti halnya pada satuan kepolisian pria. penerimaan anggota baru di satuan kepolisian wanita juga menjalani prosedur yang tak jauh berbeda. Hanya saja, banyak hal yang riskan terjadi pada polisi wanita. Hal ini membuat polisi wanita selain harus pandai melaksanakan tugasnya sebagai pengayomi masyarakat seorang polwan juga harus pandai menjaga diri.
Realitas tersebut merupakan tantangan serius Korps Polisi Wanita untuk lebih berperan dan membuktikan eksistensinya di tubuh Polri. Meskipun hingga saat ini juga sudah ada Polwan yang memegang jabatan sebagai Kapolres.
Ketika Wanita Memimpin
Sosok polisi wanita ini paling tidak mengingatkan kita pada buku yang berjudul The Better Angels of Our Nature. Buku tersebut mengajak pada pertanyaan yang lebih mendasar: apakah gender itu memang penting dalam kepemimpinan? Menurut stereotipe, berbagai studi psikologi menunjukkan bahwa laki-laki cenderung menggunakan apa yang dinamakan hard power of command (kekuatan keras komando), sementara wanita secara naluriah lebih cenderung pada penggunaan soft power of persuasion (kekuatan lunak persuasi). Rakyat Amerika cenderung mengaitkan kepemimpinan dengan stereotipe laki-laki yang keras, namun studi yang dilakukan baru-baru ini menunjukkan semakin berhasilnya apa yang dahulu dianggap sebagai kepemimpinan “gaya feminin”.
Bahkan militer pun menghadapi perubahan serupa. Di Amerika Serikat, Pentagon mengatakan para instruktur angkatan bersenjata sekarang “kurang melakukan bentakan- bentakan”, karena generasi sekarang ini merespons dengan lebih baik instruktur yang memainkan “peran yang sifatnya lebih menasihati”.
Mantan Presiden AS George W. Bush melukiskan, peran yang dimainkannya adalah sebagai “pengambil keputusan”, tapi untuk kepemimpinan saat ini diperlukan lebih dari sekadar itu. Para pemimpin saat ini harus mampu memanfaatkan jejaring, berkolaborasi, dan mendorong keikutsertaan. Gaya non-hierarkis dan keterampilan relasional yang dimiliki wanita cocok dengan kepemimpinan dalam dunia baru organisasi dan kelompok berbasis informasi saat ini yang, rata-rata, kurang siap dihadapi laki-laki. Disinilah peran wanita dalam kepemimpinannya patut dikaji.
Penyeimbangan peran
Pada masa lalu, ketika wanita berjuang dengan susah payah untuk mencapai puncak suatu organisasi, mereka sering harus mengadopsi “gaya maskulin” yang melanggar norma sosial “kelembutan” wanita. Tapi sekarang, dengan ledakan revolusi informasi dan demokratisasi yang menuntut kepemimpinan yang lebih partisipatif, “gaya feminin” merupakan jalan menuju kepemimpinan yang efektif. Untuk menjadi pemimpin yang berhasil, laki-laki tidak hanya harus menghargai gaya yang ada pada kolega-kolega wanitanya, tapi juga harus menguasai keterampilan yang sama.
Ini adalah kecenderungan, (belum) merupakan kenyataan. Wanita masih tertinggal dalam merebut posisi kepemimpinan. Mereka memegang hanya 5 persen posisi puncak dalam dunia usaha dan minoritas dalam posisi di dewan-dewan legislatif pilihan rakyat (cuma 16 persen di AS, misalnya, dibandingkan dengan 45 persen di Swedia). Satu studi mengenai 1.941 orang penguasa di negara-negara merdeka selama abad ke-20 menemukan hanya 27 wanita, sekitar separuh di antara mereka naik ke puncak kekuasaan sebagai anak dari seorang penguasa laki-laki. Kurang dari 1 persen penguasa di abad ke-20 adalah wanita yang memperoleh kedudukan itu atas usaha mereka sendiri.
Kearifan konvensional baru dalam studi mengenai kepemimpinan yang mengatakan bahwa memasuki abad informasi berarti memasuki dunia wanita, namun ironisnya wanita tidak juga mencapai kemajuan yang lebih berarti. Penelitian menunjukkan bahwa, dalam masyarakat yang demokratis, wanita menghadapi risiko sosial yang lebih besar daripada laki-laki ketika bernegosiasi untuk mendapatkan sumber daya berkaitan dengan karier, seperti dalam hal pengupahan. Wanita umumnya tidak terintegrasi dengan baik ke dalam jejaring laki-laki yang mendominasi organisasi, dan stereotipe gender masih menghambat upaya mengatasi rintangan-rintangan itu.
Bias ini mulai runtuh dalam masyarakat berbasis informasi, tapi mereka keliru mengidentifikasi jenis baru kepemimpinan yang kita butuhkan dalam abad informasi ini semata-mata sebagai “suatu dunia wanita”. Pemimpin harus dipandang tidak dalam arti komando yang heroik, melainkan sebagai pendorong partisipasi dalam suatu organisasi, kelompok, negara, atau jejaring. Persoalan mengenai gaya yang pantas-kapan mesti menggunakan keterampilan keras dan kapan keterampilan lunak-sama relevannya bagi laki-laki maupun wanita, dan tidak boleh dikaburkan oleh stereotipe gender tradisional. Dalam beberapa hal, laki-laki perlu bertindak lebih “seperti wanita”. Dan dalam hal-hal lainnya, wanita perlu bertindak lebih “seperti laki-laki”. Setidaknya hal tersebut bisa kita jadikan dasar, bagaimana kita bisa menghargai peran wanita. Termasuk kajian polwan dalam hal ini.
Mengingat peran dan posisi wanita tersebut, maka refleksi yang bisa kita petik di hari jadi polisi wanita kali ini, semoga para polwan yang ada lebih diberikan ruang berekspresi secara bebas namun tidak melupakan kodratnya sebagai wanita, sebab Polwan merupakan sosok pemimpin wanita yang patut kita hargai dan hormati atas profesionalitas tugas yang telah diembannya. Sebab, bagaimanapun juga profesionalitas merupakan tantangan masa kini bagi Korps Polisi Wanita untuk semakin bersemangat dalam membuktikan eksistensi diri sebagai anggota Polisi Republik Indonesia. Selamat Hari Ulang Tahun Polwan yang ke-66

                                        ———————————— *** ————————————–

Rate this article!
Tags: