Tentang Negara Kaya yang Miskin

Oleh :
Firman Fadilah

Kami menerima perintah dari komandan untuk menertibkan pasar induk selepas terjadinya isu kerusuhan preman pasar dengan para pedagang. Kami juga akan melakukan penertiban memakai masker sebab virus mematikan itu belum hilang sepenuhnya. Bahkan, di belahan Bumi yang lain, virus itu makin parah. Kerusuhan ini seringkali terjadi. Kegaduhan yang bisa dirasakan sangat melelahkan seperti tidak ada habis-habisnya.

Sebelum bertugas, kami melaksanakan apel pagi. Komandan memberikan arahan. Mobil patroli dan pengeras suara telah disiapkan sehari sebelumnya agar kegiatan berjalan dengan lancar. Beberapa dari kami dibekali senjata api.

“Gimana persiapannya, Bro?” ucap Immanuel.

“Semuanya beres!”

Kami berpencar di berbagai titik yang sudah ditentukan. Ada yang bertugas di pintu masuk, perempatan, dan di belakang pasar, tempat yang sering terjadi kerusuhan. Mulanya, preman-preman itu suka menitipkan barang jualan ke pedagang kecil. Kemudian mereka menagih uang dari hasil barang titipan itu. Si pedagang menolak sebab barang dagangan itu belum laku. Terjadi adu mulut antara pedagang dan preman. Baku hantam tak terelakkan. Suasana panas dan kacau. Para pedagang panik dan gelisah. Keamanan mereka menjadi terusik.

Kami sempat mengejar preman-preman itu hingga jauh ke kebun warga. Namun, kami kehilangan jejak. Agaknya mereka ada banyak dan sudah berkompromi sebelumnya. Andai tertangkap satu saja, maka komplotan lainnya bakal tertangkap. Kegiatan penertiban ini barangkali sudah diketahui oleh mereka.

***

Menjelang Ramadan, operasi pengamanan diperketat. Ramadan, bulan mulia, biasanya menjadi kesempatan orang-orang untuk mencari uang dengan cara yang tidak halal. Banyak orang yang mampu, tetapi mereka mecari nafkah dengan meminta-minta. Mereka datang dari desa dalam keadaan sehat. Kemudian berdandan dan bersandiwara layaknya orang yang cacat. Mereka bertebaran di jalan raya.

Kami melakukan operasi pemberantasan pengemis, gelandangan, dan orang terlantar (PGOT). Kami meringkus puluhan pengemis. Hati ini terasa sangat tersayat. Aku merasa sedih melihat potret negara ini. Masih banyak orang-orang yang mencari nafkah dengan cara meminta-minta seperti ini. Apakah karena sudah tidak ada lapangan pekerjaan lagi? Apa mungkin karena pekerjaan yang layak hanya untuk mereka yang berpendidikan tinggi? Sedangkan, jutaan orang putus sekolah karena tidak ada biaya. Aku merasa malu hidup di tengah-tengah suasana kemiskinan di negara yang kaya ini.

Ada salah satu ibu-ibu yang tertangkap. Dia membawa bayi dan anak kecil seumuran lima tahun. Ibu itu menangis meraung-raung. Katanya, ia butuh uang untuk membeli susu anaknya dan makanan untuk mengganjal perut yang hampir dua hari hanya diisi dengan air putih. Ia meraung-raung, menjerit semakin menjadi ketika kami menyeret dan memasukkannya ke dalam mobil untuk dibawa ke kantor. Di sana, mereka akan mendapatkan sosialisasi.

Ibu itu terus memohon, sambil menyumpah-serapahi kami sebagai petugas yang tidak punya hati, tidak punya peri kemanusiaan, dan keadilan. Namun, orang-orang zaman sekarang banyak yang pandai berakting. Kekacauan harus ditertibkan. Bisa jadi, anak itu adalah anak orang lain yang disewa. Mereka bagi hasil. Kami hanya menjalankan tugas sebagaimana yang diperintahkan atasan.

Seketika aku teringat perkataan ibu pagi tadi.

“Jadilah orang yang adil, jujur, berakhlak yang baik. Jangan suka semena-mena dengan orang kecil sebab dunia selalu berputar seperti bola. Harus selalu rendah hati dan jangan sombong. Jangan pernah berkata kasar dan menganiaya orang lain terutama sama orang tua dan perempuan sebab doa orang yang teraniaya tidak terhalang oleh apa pun,” ucap Ibu setiap kali aku berangkat bertugas hingga aku hafal.

Ibu selalu meninggalkan pesan seperti itu. Sewaktu-waktu aku merasa bersalah, tetapi beginilah tugasku untuk menertibkan kekacauan. Namun, aku merasa sangat beruntung diasuh oleh ibu seperti dia. Ibu juga selalu memerhatikan langkahku ketika aku keluar rumah. Matanya belum beralih sebelum punggungku hilang di kelokan jalan. Sementara Bapak sudah berangkat ke ladang. Katanya, hasil panen kopi dan lada untuk bekal nikah kelak. Ah, Bapak ada-ada saja. Pacar pun belum punya, bagaimana mau nikah?

***

Di siang hari pertengahan bulan Ramadan, kami menyusuri jalanan untuk menertibkan warteg yang buka tanpa menutup tirai. Ada beberapa warteg yang berjualan di siang hari tanpa penutup tirai. Kami langsung bertindak dengan memberikan arahan agar menutup etalase dan diberikan tulisan hanya untuk, ibu hamil, orang tua, anak-anak, musafir atau non-muslim.

Namun, ada saja pemilik warteg yang melawan. Padahal, kami memberitahukannya secara baik-baik. Barang dagangannya terpaksa kami sita habis.

Aku melihat anak kecil berpakaian lusuh, tidak memakai sandal sedang mencari makanan sisa. Aku merasa sedih melihatnya. Aku hendak menghampirinya, tetapi tiba-tiba temanku menepuk pundakku.

“Malah ngelamun! Ayo tugas kita masih banyak!”

Aku melaju dan masih terpaku dengan pemandangan di jalan itu.

***

Malam hari, kami mengadakan Razia Pekat Ramadan. Kami menggeledah beberapa hotel yang terindikasi melakukan praktik prostitusi. Tempat hiburan malam, tempat karaoke, dan tempat-tempat rawan seperti indekos yang sebelumnya telah mendapat aduan dari warga sekitar tak luput dari razia.

Kami menemukan banyak pasangan yang sedang beradu cinta. Padahal, kita sedang berada di bulan Ramadan. Mereka adalah pasangan yang tidak sah. Kami meringkus seorang lelaki yang diduga sebagai mucikari. Kami menemukan banyak alat kontrasepsi, pelumas, dan minuman keras. Orang-orang yang sedang kerasukan setan itu kami gelandang menuju kantor untuk mendapatkan sosialisasi dan hukuman.

Di tempat karaoke, kami menggerebek pengunjung yang diduga membawa narkoba.

Di sana ternyata ada comfort woman yang disewakan untuk menemani lelaki hidung belang semalaman. Sungguh pengalaman yang begitu menyedihkan dan hal ini bukanlah yang pertama kalinya.

Jam dua malam, Razia Pekat Ramadan selesai. Kami bisa beristirahat sejenak. Aku membeli beberapa potong roti untuk camilan. Di seberang jalan, lagi-lagi aku melihat anak lelaki kecil yang siang tadi kutemui di jalan sedang mencari makanan sisa di tong sampah. Aku gegas menghampirinya.

“Hei!” teriakku.

Bocah itu nampak ketakutan, tetapi dia masih berdiri mematung di bawah pohon palem. Wajahnya lusuh, badannya gemetar. Ia memandang diriku dengan penuh ketakutan dan curiga. Namun, bukan hanya anak itu. Hampir kebanyakan orang takut ketika melihatku berseragam.

“Sedang apa kamu?” tanyaku. Dia bungkam.

“Mau roti?”

Dia mengangguk pelan. Aku memberinya dua potong roti dan satu botol air mineral. Dia langsung mengunyah roti itu dengan lahap. Agaknya dia sangat lapar.

“Habiskan semuanya,” ujarku.

“Yang satu ini buat adikku, Pak,” ucapnya lirih. Beberapa remah roti mencuat dari mulutnya.

Hatiku terasa ngilu. Dalam keadaan susah, dia masih sempat memikirkan adiknya. Ya, keluarga adalah segalanya. Aku menatapnya dengan mata sebak dan dada sedikit sesak.

“Kamu tunggu di sini sebentar, ya?” Aku segera menuju toko di seberang jalan. Aku perhatikan anak itu masih menikmati rotinya.

“Ini untuk adikmu.” Aku sodorkannya satu plastik penuh roti, air, dan jajanan lain, juga jus jeruk dan susu.

Anak itu mengucap banyak terima kasih dan menangis. Ia sangat senang. Sedangkan aku, masih diliputi rasa sedih tentang kenangan pahit masa lalu. Aku menatap anak itu berlari riang menuju rumahnya. Sudah hampir subuh. Aku harus segera pulang.

“Kenapa kamu, Haikal? Matamu merah. Kamu ngantuk? Pulanglah!” ucap Immanuel.

Entah, setiap kali aku melihat anak kecil di jalan, aku teringat masa lalu. Aku dilahirkan di jalan entah oleh siapa. Aku tak pernah mengenal orang tua yang melahirkanku. Aku hidup di jalanan, meminta-minta, mengais-ngais makanan sisa demi kehidupan esok hari.

Aku bocah berusia lima tahun kala itu. Aku dilempar dari tangan ke tangan. Aku tinggal di mana saja. Emper toko, pasar atau pos ronda. Aku suka diajak mengemis oleh orang asing. Aku diajak untuk memasang wajah memelas. Suatu hari ketika ada razia satpol PP, aku lari lintang-pukang. Aku lemas dan hampir mati. Namun, Tuhan Maha Baik. Sepasang suami istri mandul menemukanku yang teronggok tak berdaya dan penuh luka-luka di belakang pasar.

“Mulai saat ini, aku adalah ibumu dan dia Bapakmu.”

Kehidupanku berangsur-angsur membaik. Aku tak perlu mengemis. Aku bahkan lupa aroma aspal jalan. Mereka menanggung biaya hidup dan sekolahku.

Mbok Saripah dan Pak Dullah, begitu para tetangga memanggilnya. Mereka yang telah berjasa dalam mendidikku hingga menjadi seseorang yang berhasil. Maka, aku suka sedih ketika melihat anak kecil dan gelandangan di jalan-jalan sebab aku tahu bagaimana rasa pahitnya berada di posisi mereka.

Aku suka membayangkan jika aku memiliki sebuah yayasan yang bisa membantu anak-anak terlantar, membantu mereka menggapai cita-cita, dan membebaskan mereka dari kesusahan. Namun, bukannya fakir miskin dan anak telantar ditanggung oleh negara? Lalu, mengapa masih banyak anak-anak terlantar dan kemiskinan di negara yang kaya ini? Barangkali butuh waktu yang lama sekali untuk merealisasikan undang-undang itu. Ya, suatu hari nanti.

***

Tanggamus, 8 Mei 2021
Penulis bernama Firman Fadilah. Sedang menempuh pendidikan di IAI An-Nur Lampung. Cerita pendeknya banyak dimuat di media online maupun cetak. Buku kumpulan cerpen pertamanya First Kiss (Guepedia, 2021) Tersedia di Bukalapak dan Tokopedia.

Rate this article!
Tags: