Tertinggi di Jatim, Kasus Kekerasan Perempuan dan Anak Kabupaten Sidoarjo Akan Disurvei

Foto sekelompok anak-anak usia dini dan seorang perempuan, saat melakukan kegiatan di paseban alun-alun Kota Sidoarjo. [alikus/bhirawa]

Sidoarjo, Bhirawa
Kekerasan perempuan dan anak di Kab Sidoarjo, saat ini menduduki rangking teratas kasus kekerasan pada perempuan dan anak di Provinsi Jawa Timur.

Dinas P3AKB Kab Sidoarjo menyatakan pihak dinas tidak mungkin akan bisa sendirian dalam mencegah dan menurunkan kasus ini. Semua element masyarakat di Kab Sidoarjo, mulai Pemkab, wakil rakyat, swasta dan masyarakat, harus bersama-sama juga ikut terlibat dalam penanganan.

Analis Kebijakan Bidang Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Dinas P3AKB Kab Sidoarjo, Ritz Noor Widyastutik Antarlina Ssos, dalam waktu dekat pihaknya akan menggelar forum grup discusion (FGD) faktor apa saja yang menjadi pemicu tingginya kasus kekerasan perempuan dan anak ini.

“Kita akan menggandeng dengan UINSA Surabaya untuk melakukan survey ini. Survey akan dilakukan pada 18 kecamatan,” kata Ritz, Senin (10/10) kemarin.

Sejumlah pihak yang menjadi obyek survey ini diantaranya para korban kekerasan perempuan dan anak, masyarakat umum, OPD terkait, para pegiat masalah perempuan dan anak, lembaga yang ada di tingkat Kabupaten Kecamatan, Desa/Kelurahan.

“Survey ini, untuk bisa menjawab kenapa di Kab Sidoarjo kasus kekerasan pada perempuan dan anak tinggi. Apa tingginya kasus ini karena masyarakat sudah paham sehingga melapor,” ujarnya.

Diakui kondisi di Kab Sidoarjo memang rawan untuk terjadinya kasus kekerasan. Diantaranya, jumlah penduduk yang banyak, banyak perusahaan, gaya hidup dan gaya ekonomi sebagai kota penyangga Surabaya, dan penggunaan media sosial yang banyak digunakan oleh masyarakatnya.

“Hasil dari FGD ini, didengar hasil dan masukkannya. Selanjutnya dijadikan sebagai bahan untuk penetapan Perda terbaru pencegahan kekerasan perempuan dan anak,” katanya.
.
Menurut dirinya, Sidoarjo sebenarnya sudah ada Perbup dan Perda tentang pencegahan kekerasan pada perempuan dan anak. Perbupnya tahun 2006 dan Perdanya tahun 2007. Namun, Perda tersebut perlu harus ada revisi baru, sebab harus menyesuaikan dengan regulasi terbaru.

Apa setelah ada payung hukum, kasus kekerasan perempuan dan anak di Sidoarjo bisa menurun? Menurut Ritz harusnya demikian. Namun untuk melaksanakan amanat ini pihaknya tidak bisa berjalan sendirian. Semua element di Pemkab Sidoarjo juga harus mendukung.

Pimpinan tertinggi di daerah, baik eksekutip dan legislatif, menurut dirinya, juga harus ikut mengkampanyekan pencegahan kasus kekerasan perempuan dan anak. Baik lewat statemen maupun kegiatan aksi-aksi. Mulai di tingkat kabupaten, kecamatan, kelurahan dan desa.

“Semua element masyarakat Sidoarjo harus dilibatkan,” ujarnya.(kus.gat)

Tags: