Tidak Takut Pensiun Dini

M Mahargono(Golden shake-hand yang Mensejahterakan)

Oleh :
S. Mahargono
Staf pada Sekretariat DPRD Jawa Timur

Memasuki masa pensiun, masih menjadi momok paling menyeramkan. Ini bisa memicu penyakit post power syndrome. Terutama kalangan pajabat (minimal eselon II) di pusat sampai di daerah. Berbagai penyakit tiba-tiba terasa menggerogoti tubuh, diawali dengan peningkatan kadar kolesterol dan hypertensi. Namun berdasar pengalaman, nenek moyang terdahulu (aparatur negara era 1960-an) tidak keder menghadapi masa pensiun. Bahkan mensyukurinya, karena telah paripurna mengabdi kepada negara.
Nampaknya, paradigma “pengabdian,” menjadi tolokukur utama. Dulu, frasa kata “pengabdian,” diartikan sebagai kewajiban. Gaji dan kepangkatan, bukan menjadi tujuan. Memasuki masa pensiun, PNS dulu, mempersiapkan diri. Diantaranya memperbaiki pekarangan, dan sawah ladang. Sehingga ketika pensiun. penataan aset (termasuk tunjangan hari tua) sudah tertata. Siap menampung untuk memulai bekerja kembali.
Aset awal, plus tunjangan hari tua yang memadai, akan menjadi tumpuan. Toh, masih akan diperoleh tunjangan pensiunan tiap bulan. Maka masa pensiun bisa dijalani dengan perasaan lega dan bangga. Lalu bisa memulai bekerja mandiri, bertani, atau berdagang. Banyak pula yang memulai profesi baru lainnya, termasuk menjadi konsultan. Bahkan pada beberapa personel mantan PNS, pensiun bulanan terasa tidak seberapa penting lagi. Karena jumlahnya tidak seberapa.
Andai pensiun bulanan bisa ditukar dengan pesangon langsung, akan dipilih putus pensiun, agar dimiliki modal lebih besar. Contoh kasus ini pernah dilakukan oleh bank-bank milik negara, pada dekade awal 1990-an. Pensiun dini dengan pesangon menjadi pilihan. Banyak yang mengajukan pensiun dini, dan memilih berkarir swasta, dengan modal pesangon. Ternyata pensiun dini, menguntungkan kedua belah pihak. Pegawai maupun institusi.
Institusi dapat me-rasionalisasi pegawai, untuk memperoleh penghematan. Institusi menjadi lebih effisien. Rekrutmen baru disesuaikan dengan kebutuhan (dan tantangan) manajemen. Sehingga pesangon pensiun dini, ketika itu, dianggap sebagai golden shake-hand. Bagai ucapan “selamat jalan,” yang dikehendaki bersama. Karena menguntungkan kedua pihak, pensiun dini juga dilaksanakan di berbagai BUMN lainnya.
Terutama BUMN yang telah melaksanakan manajemen profesional, dan berkelas dunia. Antaralain jajaran telekomunikasi. Sedangkan BUMN jajaran sektor pertanian, ke-energi-an, masih setengah hati melaksanakan pensiun dini atas permintaan sendiri. Dan terbukti BUMN sektor ke-pertanian, belum memberi penghasilan memadai kepada negara. Masih banyak yang merugi. Dalam hal ini, beberapa Kementerian dan Lembaga, juga “merugi” karena banyaknya pegawai.
Pegawai Tidak Kompeten
Jumlah pegawai (terutama struktural), niscaya menuntut konsekuensi logis. Diantaranya biaya mamin (makan-minum), biaya listrik, dan berbagai tunjangan struktural yang tidak murah. Misalnya, tunjangan wajib yang berupa gaji ke-13 dan ke-14, serta biaya pendidikan. Seluruhnya dibebankan kepada APBN dan APBD. Karena itu, aparatur struktural dibatasi sampai usia 58 tahun. Sedangkan pegawai fungsional sampai 60 tahun. Guru, dokter, bidan, perawat, dan pustakawan, digolongkan sebagai aparatur fungsional.
Namun pengeluaran negara masih sangat besar. Karena itu dianggap perlu digagas pengurangan ASN (PNS). Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan RB), baru-baru ini mengumumkan akan mengurangi jumlah aparatur sipil negara (ASN, dulu PNS). Pengurangan itu diperkirakan sebanyak satu jiwa orang, sampai tahun 2017. Pengurangan berupa pensiun dini (dipercepat). Syaratnya, sudah berusia 50 tahun, dan sudah bekerja sebagai PNS selama 20 tahun.
Pengurangan ASN lebih terasa mendesak manakala ditakar dengan uji kompetensi. Sejak tahun 2012, Kemenpan RB, memperkirakan hanya 5% PNS memenuhi kompetensi. Artinya, dari sekitar 5 juta-an pegawai negeri di pusat, propinsi dan Pemkab serta Pemkot, hanya 235 ribu personel yang kompeten. Pernyataan itu bagai warning keras untuk seluruh PNS, mulai eselon I (golongan IV-E), hingga pangkat golongan III (Penata) dan II (pelaksana). Sedangkan golongan I, mungkin telah memenuhi standar kompetensi.
Padahal profesionalisme dan kompetensi menjadi persyaratan pengangkatan PNS dalam setiap jabatan. Hal itu menjadi amanat UU Nomor 43 tahun 1999, pasal 17 ayat (2). Begitu pula untuk mengurus kepangkatan (kenaikan), sulitnya setengah-mati. Kriteria lainnya meliputi masa kerja cukup panjang (rata-rata minimal 4 tahun), syarat kecakapan, tidak pernah menyalahi hukum dan perundang-undangan yang berlaku. Juga persyaratan keterpaduan dalam team-work serta keadministrasian. Belum lagi faktor PDLT (pengabdian, dedikasi, loyalitas dan tidak cacat kinerja) dengan parameter yang tak dapat dilihat.
Pada masa kini, PNS sebagai unsur aparatur negara telah di-paradigma-kan sebagai “pelayan” masyarakat. Posisi ini merupakan amanat  pasal 3 ayat (1) UU 43 tahun 1999.  Secara filosofis, ukuran keberhasilan kinerja lebih ditentukan oleh tingkat kepuasan masyarakat. Dengan demikian, parameter utamanya bukan hanya standar-standar administratif, melainkan lebih pada sikap (mental) dalam melaksanakan pekerjaan. Boleh jadi, dengan “kacamata” mentalitas itulah Kementeri PAN-RB, melihat potret PNS nampak in-competent.
Berkarir Pasca-Pensiun
Indeks kompetensi sangat rendah, (hanya 5% dari 4,7 juta PNS) berdasarkan parameter sikap, tentu saja berbeda dengan kinerja PNS di pemerintahan daerah yang diukur dengan parameter ke-administrasi-an. Pada setiap akhir tahun, secara team-work, selalu tercatat kinerja yang melampaui target. Di seluruh daerah, hasil kerja PNS yang dilaporkan dalam LKPJ Gubernur maupun Bupati/Walikota, Secara ke-administrasi-an, kinerja PNS berpredikat full-competent.
Mengapa ada perbedaan penilaian antara standar mentalitas dengan ke-administrasi-an? Beberapa Pemerintahan Daerah (termasuk Pemprop Jawa Timur) telah mulai menerapkan sistem “rapor.” Berisi antaralain beban kerja, waktu kerja, serta kemanfaatannya. Dengan itu setiap staf mengetahui indeks kinerjanya, sekaligus mengetahui seberapa penting eksistensinya dalam team-work pelayanan publik.
Bisa dipastikan, PNS yang menjalani ke-pegawai-an secara rutin (datang jam 07.30, pulang jam 16.00), rapor-nya akan biasa-biasa saja. Maka eksistensinya juga biasa-biasa saja. Dengan demikian PNS yang bekerja rutin-rutin saja tidak akan memiliki fungsi strategis. ASN model ini (tanpa inovasi, tanpa pengharapan karir) juga akan memilih pensiun dini.
Saat ini telah diberlakukan UU Nomor 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN, atau dulu PNS). Diantaranya persyaratan pensiun. PNS dapat memperhitungkan niminal jaminan hari tua yang akan diterima. Serta kemungkinan golden shake-hand, barter putus pensiun dengan pesangon. Pada sisi lain, banyak PNS yang memanfaatkan hak belajar untuk meningkatkan kompetensi. Awalnya, hak belajar dijadikan sarana kenaikan pangkat, sebagaimana dijamin UU 43 tahun 1999 pasal 12 ayat (2).
Sudah banyak PNS yang dibiayai untuk menyelesaikan studi jenjang Strata-2 dan Strata-3. Kelak, ijazahnya (dan kompetensinya) bisa menjadi sarana untuk bekerja setelah pensiun. Begitu pula tak sedikit PNS telah memiliki usaha dengan penghasilan lebih memadai, walau belum diurus sepenuh hati (karena masih sebagai PNS). PNS yang telah berijazah S-2 dan S-3, serta yang nyambi usaha, pasti akan menerima tawaran pensiun dini secara golden shake-hands.
PNS yang menerima pensiun dini, berkesempatan mengembangkan diri di tengah masyarakat. Karir baru yang cukup keren. Kalau beruntung, bisa mencalonkan diri sebagai Kepala Daerah, atau setidaknya calon legislatif.

                                                                                                           ——— *** ———

Rate this article!
Tidak Takut Pensiun Dini,5 / 5 ( 1votes )
Tags: