Tinggal Tunggu Waktu

karikatur NarkobaKEPUTUSAN Presiden Joko Widodo (Jokowi) menolak permohonan grasi 64 pengedar narkoba kelas kakap, mendapatkan apresiasi banyak kalangan masyarakat. Mereka berharap, keputusan itu segera diikuti dengan langkah nyata eksekusi.
Bukan tanpa alasan, jika rakyat Indonesia geram terhadap kejahatan narkotika. Sebab, ribuan generasi muda menjadi hancur karena barang laknat itu.
Namun, lambannya proses hukum dan ketidaktegasan pelaksanaan eksekusi terhadap putusan hukum yang dijatuhkan, menjadikan bisnis barang terlarang itu tetap eksis, meskipun pelakunya menghuni sel tahanan.
Salah satu gembong narkoba kelas wahid adalah Benny Sudrajat, atau yang juga dikenal dengan nama Oey Soey Pin. Pria itu divonis mati karena membangun pabrik ekstasi terbesar di Asia yang berlokasi di Cikande, Tangerang.
Pabrik digerebek pada 2006 silam dan Benny dijatuhi hukuman mati baik pada tingkat pertama, kedua dan kasasi. Namun, karena tidak kunjung ditembak mati, diam-diam Benny kembali membangun jaringannya dari balik sel LP Pasir Putih, Nusakambangan.
Lewat kaki tangannya, Benny bisa kembali membangun kerajaan bisnis haram itu di Pamulang, Tangerang. Tapi pabrik tersebut mengalami kebakaran dan Benny memindahkan pabrik itu ke Palasari, Cipanas, Cianjur, pada 2009.
Selain membangun pabrik narkoba di Cianjur, anak buah Benny lainnya, Victor, juga membangun pabrik narkoba di Tamansari, Jakarta Barat. Beruntung BNN mencium praktik ini dan Benny pun dicokok dari dalam sel, dan kembali duduk di kursi pesakitan.
Karena sudah divonis mati, jaksa penuntut umum (JPU) menuntut Benny dengan hukuman ‘nihil’ pada 18 Agustus 2011. Tuntutan ini diamini oleh Pengadilan Negeri (PN) Cilacap pada 22 September 2011 dan dikuatkan di tingkat banding pada 21 Desember 2011.
Benny memang sempat mengajukan kasasi, tapi MA tetap pada putusannya. Namun setelah 8 tahun berlalu, Benny ternyata tidak kunjung dieksekusi.
Keprihatinan tentang itu pula yang membuat Banjarmasin Post menjadikan berita tentang penolakan grasi 64 gembong pengedar narkoba kelas kakap oleh Presiden Jokowi sebagai headline pada edisi kemarin.
Jokowi saat mengisi kuliah umum di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Selasa (9/12), menyebutkan sedikitnya 4,5 juta masyarakat Indonesia telah menjadi pemakai narkoba. Dari jumlah itu 1,2 juta tidak bisa direhabilitasi karena sudah sangat parah, dan antara 30 sampai 40 orang setiap harinya meninggal dunia karena narkoba. Jokowi pun menyebut Indonesia sudah darurat narkotika.
Sebelumnya, Kejaksaan Agung (Kejagung) mencatat ada 136 terpidana mati yang masuk daftar tunggu eksekusi, karena masih melakukan upaya hukum. Ke-136 terpidana mati itu, sebanyak 64 untuk kasus narkoba dan 72 terpidana dari kasus non-narkoba, di antaranya dua terpidana teroris.
Mengutip pernyataan anggota Komisi III DPR, Sarifuddin Sudding, perlu ada tindak lanjut nyata dari pernyataan Jokowi itu yang akan bertindak tegas terhadap kejahatan narkotika. Tidak berhenti pada janji menolak seluruh permohonan grasi terpidana mati kasus narkoba, akan tetapi harus segera diikuti eksekusi.
Kita semua tentunya sepakat, bahwa narkoba adalah barang terlarang yang mengancam masa depan bangsa. Ancaman narkoba saat ini bahkan sudah luar biasa. Bukan saja di kalangan anak muda, bahkan orang yang sangat mapan dan sangat terpelajar pun bisa menjadi korbannya.
Seperti kasus penangkapan guru besar Universitas Hasanuddin (Unhas) Sulsel karena diduga mengonsumsi narkoba, beberapa waktu lalu.
Bahkan, tidak hanya dari kalangan berduit. Ancaman narkoba pun sudah menjerat masyarakat kelas bawah yang penghasilannya sebenarnya pas-pasan atau malah pengangguran. Akibatnya, ada dampak multiplier lainnya, yakni meningkatnya angka kejahatan, karena dipicu narkoba, baik karena ingin mengonsumsinya, maupun ingin mendapatkan keuntungan dengan menjualnya.
Efek jera memang sangat diperlukan untuk memutus rantai peredaran narkoba di kalangan masyarakat Indonesia. Untuk itu, penegakan hukum yang tegas dan cepat eksekusinya sangat diperlukan.
Semua terpidana mati narkoba harus dieksekusi, jika putusan inkrah sudah dijatuhkan. Demikian pula dengan terpidana yang hanya menjalani masa tahanan, seharusnya tidak mudah untuk diberikan keringanan hukuman seperti grasi atau remisi.
Ketegasan hukum ini sekaligus untuk mengonfirmasi kepada negara luar bahwa Indonesia punya sikap tegas tentang kejahatan narkotika.
Apalagi hukum positif di Indonesia masih memberlakukan hukuman mati sebagai hukuman terberat untuk kejahatan berat, salah satunya seperti untuk gembong narkotika.

                                                                                       ———————— ooo ————————-

Rate this article!
Tinggal Tunggu Waktu,5 / 5 ( 1votes )
Tags: