Tontonan Budaya Anak

Perundungan dan penyiksaan (fisik) terhadap anak masih kerap terjadi. Tak terkecuali di arena sekolah, yang seharusnya menjadi zona paling aman. Perekonomian keluarga (kemiskinan) masih sering menjadi kendala pengasuhan anak. Serta pola pendidikan yang cenderung abai pada moralitas budi pekerti, menyebabkan “kerusuhan” dalam rumahtangga. Masih diperlukan gerakan sosial pengasuhan anak berbasis spiritual (moralitas), termasuk penerbitan buku cerita.
Dongeng, bisa menjadi tuntunan moralitas. Tetapi dibutuhkan media dongeng ke-kini-an. Antara lain melalui media mainstream (buku, lagu, dan film), dan akun media sosial (medsos) khusus dongeng anak. Pemerintah bisa bekerjasama dengan budayawan, dan tokoh-tokoh agama memproduksi serial cerita anak. Beberapa televisi, juga sukses meraih rating tinggi pada tayangan serial kepahlawanan anak. Misalnya, film dengan “tokoh” Syifa (heroik), dan Doraemon (kesetiakawanan).
Seiring industrialisasi tontonan, drama (serial televisi) anak, terbukti bisa menghasilkan keuntungan besar. Pengajaran melalui alur budaya, sejak lama diyakini bisa menembus kendala lintas generasi. Sebagai transformasi nilai moralitas, seni budaya memiliki kekuatan mempengaruhi perilaku sosial. Terutama pada proses tumbuh kembang psikologi anak, yang membutuhkan tokoh idola berbasis ke-gembira-an.
Drama anak dalam serial televisi hingga kini harus bersaing ketat dengan tayangan talk-show dewasa. Pada prime time (waktu tonton terbanyak) nyaris tidak memberikan kesempatan pada “si kecil” turut bergabung menonton televisi. Begitu pula pada sesi berita, seluruhnya miris ditonton anak-anak. Tak terkecuali berita tentang kekerasan pada anak. Bisa menimbulkan trauma pengancaman. Pada psikologi anak dikenal sebagai merasakan sebelum mengalami kejadian.
Masyarakat masih sering terheran-heran pada setiap kejadian pemberitaan kekerasan pada anak. Karena terasa ekstrem, tak kalah dengan pelaku terorisme. Seperti tragedi pelecehan seksual oleh guru honorer terhadap 20 murid SD Negeri di Malang (Jawa Timur). Juga kejahatan yang dilakukan oleh Kepala Sekolah SD terhadap 14 siswinya di Soppeng (Sulawesi Selatan). Di luar sekolah, tragedi kekerasan terhadap semakin miris, di luar nalar perikemanusiaan.
Namun berbagai upaya perlindungan anak, sebenarnya telah berbuah hasil manis. Kekerasan pada anak telah menurun. Berdasar catatan KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia), selama Januari-April 2019, “hanya” terjadi 37 kasus. Secara kuantitas, pelaporan kasus banyak terjadi di arena sekolah. Tetapi secara kualitatif, kekerasan di luar sekolah mengalami peningkatan ekstremitas. Tak terkecuali dilakukan oleh ibu kandung.
Negara masih harus meningkatkan advokasi pencegahan kekerasan pada anak sebagai pelaksanaan konstitusi. Secara tekstual, UUD pasal 28-B ayat (2) , mengamanatkan: “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dan kekerasan dan diskriminasi.” Tetapi penegakan hukum terhadap tindak kekerasan pada anak masih sering menggunakan KUHP. Sehingga menyebabkan banyak kasus serupa terulang.
Padahal sebenarnya telah terdapat undang-undang yang lebih lex-specialist. Yakni UU Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, telah cukup memiliki peraturan, termasuk sanksi pidana. Bahkan pemerintah telah menerbitkan Perppu Nomor 1 tahun 2016, tentang revisi UU Perlindungan Anak. Diantaranya, hukuman maksimal (mati), seumur hidup, serta tambahan hukuman “di-kebiri.”
Pada golongan anak baru gede (ABG) diperlukan peningkatan penyuluhan, dan “jaringan” (kelompok) duta remaja anti kekerasan. Karena semakin banyak tindak kriminal, sampai kejahatan disertai kekerasan, dan cyber-crime, melibatkan ABG. Buktinya, pada peringatan hari anak tahun (2019) ini, diberikan grasi (potongan hukuman) kepada 1.200-an terpidana anak.
Niscaya tidak mudah melindungi 85 juta-an anak. Tidak cukup hanya mengandalkan Kepolisian. Melainkan harus dibuat berbagai program berbasis budaya pemuliaan moralitas.

——— 000 ———

Rate this article!
Tontonan Budaya Anak,5 / 5 ( 1votes )
Tags: