Urgensi Aspek Sosial dan Literasi Anak Didik di Tengah Pembelajaran Daring

Dr Lia Istifhama, MEI

Oleh:
Dr Lia Istifhama, MEI
Ketua III STAI Taruna Surabaya
Hampir setahun, sistem belajar di rumah atau yang disebut sekolah daring, diberlakukan, terutama di Kota Surabaya. Sejak keputusan Pemkot Surabaya yang menetapkan sekolah “di rumah saja” mulai 16 Maret 2020, nyatanya keputusan tersebut tetap berlangsung hingga Februari 2021. Bahkan tidak menutup kemungkinan masih diberlakukan, mengingat sinyal sekolah tatap muka diizinkan, belum tampak dalam kebijakan pemerintah.
Lantas, apa sajakah yang menjadi dampak dari sistem pembelajaran tersebut?
Hal pertama yang perlu dikaji secara cermat adalah aspek kognitif sesuai usia anak. Perkembangan kognitif dalam hal ini, mengacu pada tahapan kemampuan seorang anak memperoleh makna dan pengetahuan dari pengalaman serta informasi yang didapatkan. Perkembangan kognitif meliputi proses mengingat, pemecahan masalah, dan juga pengambilan keputusan.
Aspek kognitif menjadi perhatian utama, terutama berkaitan dengan anak dengan Pendidikan pra SD, yaitu PAUD maupun Taman Kanak-kanak (TK). Sebagai contoh, saat usia PAUD, dapat diukur kemampuan anak dalam hal mencari jawaban atas pertanyaan yang ditemuinya, mengamati dan mendengarkan instruksi, mengatur benda sesuai klasidikasi, dan terpancing keinginan untuk mendapatkan informasi. Sedangkan saat anak menempuh pendidikan TK, maka ia mengalami perkembangan lebih pesat, yaitu mengidentifikasi perpaduan warna, menggambar, berhitung, dan bercerita tentang dirinya sendiri. Saat anak mengalami step berikutnya, yaitu usia sekolah dasar, maka tingkat belajarnya pun telah disesuaikan dengan kurikulum sekolah yang telah disusun oleh para pendidik sesuai capaian pembelajaran. Sedangkan saat menempuh sekolah menengah pertama, pembelajaran di sekolah dipertajam dalam aspek moral, mengingat anak menginjak usia remaja. dan saat menempuh sekolah menengah atas, maka pola pembelajaran juga terkait proses pematangan mental dan kedewasaan siswa, mengingat dia akan menginjak perguruan tinggi.
Proses-proses pembelajaran sesuai usia tersebut, selama ini banyak ditempa di dalam lingkungan sekolah. Tentu dalam hal ini, proses pembelajaran tatap muka mengingat sekolah sebelum pandemi adalah sekolah dalam arti “sekolah” di lingkungan sekolah. Keluarga memang memiliki peran, namun waktu yang dihabiskan untuk proses belajar, memang dilakukan di sekolah, yaitu selama 8 jam sehari, bahkan tak sedikit sekolah yang menjalankan system full day school agar lebih maksimal mendidik siswanya. Hal ini tentu berlaku untuk Pendidikan SD, SMP, SMA. Sedangkan untuk PAUD dan TK, pendidikan memang masih didominasi lingkungan keluarga. Namun ada satu kesamaan yang tidak bisa diabaikan, bahwa dari Pendidikan PAUD hingga SMA, sekolah telah berfungsi sebagai sarana pembentukan sosial siswa, tidak sebatas aspek kognitif.
Sekolah yang dulu identik dengan pendidikan tatap muka, telah mempertemukan siswa dengan teman sebayanya. Akhirnya, terbentuklah pembelajaran modal sosial dengan indikator sikap saling percaya sesama teman, saling menolong (aksi timbal balik), dan terbentuknya jaringan sosial. Pentingnya modal sosial, dikaji banyak ahli, diantaranya Ibnu Khaldun, Fukuyama, dan James Coleman.
Aspek sosial tersebut, memang terbentuk secara dominan di dalam lingkungan keluarga, namun lingkungan sekolah harus diakui memiliki peran membentuk dan menguatkannya. Itu sebabnya, sangat dimengerti jika hampir semua masyarakat Indonesia memilih sekolah di lingkungan sekolah, dan sebagian kecil memilih home schooling.
Bukan hanya pembentukan hubungan sosial, lingkungan sekolah berperan menjadi penguat literasi, yaitu kemampuan membaca dan menulis. Meski cenderung konvensional, namun literasi sangat dibutuhkan bagi anak didik, terutama pada tingkat PAUD, TK, dan SD. Kemajuan teknologi akan sangat bagus jika bisa melebur di dalam literasi, bukan literasi yang melebur dalam digitalisasi. Literasi dalam hal ini, satu bangunan dengan hafalan. Ketika anak dilatih membaca berulang kali, maka ia secara tidak langsung berlatih menghafal. Jika ia dilatih membaca lalu menganalisa dalam tulisan, maka itu pun merupakan latihan menghafal naskah untuk kemudian dipahami. Dalam Islam, pentingnya Latihan menghafal bagi anak kecil, dijelaskan dalam sebuah hadis:
حِفْظُ الْغُلاَمِ الصَّغِيْرِ كَالنَّقْشِ فِي الْحَجَرِ وَحِفْظُ الرَّجُلِ بَعْدَ مَا يَكْبُرُ كَالْكِتَابِ عَلَي الْمَاءِ (رواه خاطب عن ابن عباس)
“Hafalan anak kecil adalah seperti tatahan pada batu dan hafalan orang sesudah tua adalah seperti menulis di atas air.” (HR. Khatib dari Ibnu Abbas, Kitab Al-Jami’us Shaghier, hadis nomor 3733).
Dari sini, kita kemudian semakin memahami fungsi-fungsi strategis sekolah dalam arti sekolah sesungguhnya, yaitu anak didik (bahkan digembleng) oleh gurunya dan berlatih kemandirian di tengah lingkungan sosialnya selama jam sekolah berlangsung.
Situasi pembelajaran daring atau sekolah di rumah, jika dikaitkan dengan aspek kesehatan, memang tidak bisa dipersalahkan. Namun yang menjadi critical point disini adalah, bahwa aspek sosial, aspek kognitif, aspek literasi, seyogyanya adalah bagian dalam kesehatan juga. Saat moral anak sehat, pemikiran dan perkembangan pengetahuannya sehat, maka akan sehat pula masa depan anak.
Yang terpenting untuk dipahami oleh semua pihak, bahwa peran kita semua sebagai warga negara Indonesia, sangat dibutuhkan untuk menyelamatkan kesehatan anak-anak. Bahkan, juga menjadi hal penting agar mempelajari system pembelajaran di luar negara yang kita cintai. Bagaimanakah sistem pembelajaran saat pandemi di negara-negara lainnya? Apakah juga menyelenggarakan sistem daring sepenuhnya ataukah ada model lainnya? Hal ini sangat penting agar ketertinggalan akademik tidak terjadi di Indonesia. Karena perkembangan model pendidikan suatu negara juga harus mempertimbangkan model pendidikan negara lainnya. [*]

Tags: