Urun Biaya BPJS

Kerugian pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) melalui BPJS ditaksir bisa lebih dari Rp 11 trilyun. Tetapi layanan kesehatan yang ditanggung BPJS tidak boleh surut. Karena negara memiliki kewajiban konstitusi memenuhi hak kesehatan masyarakat. Namun defisit BPJS mesti dicarikan penyelesaian. Termasuk mengurangi kecurangan biaya oleh rumah sakit. Juga “ke-genit-an” pasien minta layanan plus.
“Ke-genit-an” pasien, diantaranya layanan persalinan secara bedah sesar. Sejak lama (ketika dijamin Jampersal, Jaminan Persalinan) banyak pasien minta sesar. Walau sebenarnya masih bisa melahirkan dengan cara normal. Bahkan tak jarang persalinan sesar memilih tanggal khusus. Misalnya bertepatan dengan 17 Agustus, Tahun Baru (31 Desember), maupun angka-angka tanggal, bulan, dan tahun yang unik. Mirip nomor telepon cantik.
“Ke-genit-an” pasien dilaporkan terjadi di banyak daerah seluruh Indonesia. Bukan hanya pada kasus persalinan, melainkan juga “gaya hidup.” Antara lain perbaikan struktur gigi. Pada sisi lain, sangat banyak layanan BPJS kesehatan yang dibebankan pada fasilitas kesehatan (faskes) pertama di Puskesmas. Kinerja Puskesmas tak dapat dianggap sepele. Terdapat 144 jenis diagnosis yang harus ditangani.
Puskesmas juga melakukan diagnosis yang semestinya dilakukan oleh dokter spesialis. Misalnya, pneumonia dan bronkopneumonia, serta tuberkulosis (TBC) paru tanpa komplikasi (spesialis penyakit dalam). Seluruhnya membutuhkan kamar rawat inap dan dokter spesialis. Sehingga makin banyak Pemerintah Kabupaten dan Kota meningkatkan status Puskesmas bisa melayani rawat inap. Sekaligus mengurangi beban di RUSD.
Sudah banyak Puskesmas dengan klasifikasi pelayanan rawat inap, dan dokter spesialis. Tetapi di pedesaan, dokter spesialis tidak selalu siaga 24 jam di Puskesmas, karena dibutuhkan di tempat lain. Tak mudah menyelesaikan problem Puskesmas, sebagai garda terdepan pelayanan BPJS. Kecuali dengan fasilitasi pemerintah (pusat) untuk subsidi pendidikan dokter spesialis.
Harus diakui, BPJS Kesehatan juga belum memuaskan masyarakat. Masih banyak keluhan, keluarga pasien yang harus “nombok” tebus obat, yang seharusnya tersedia di RS mitra BPJS. Bahkan yang paling umum, peserta BPJS terkesan “di-nomor dua-kan” oleh petugas RS, tak terkecuali di RSUD. Antaralain dalam antrean kamar rawat inap. BPJS juga bagai tergagap-gagap dengan jumlah peserta yang sangat banyak. Ternyata, beban pertanggungan lebih menonjol dibanding omzet usaha.
Puncaknya, masalah BPJS berujung pada utang kepada rumahsakit sampai sebesar Rp 7,3 trilyun. Padahal sebagai pemegang premi kesehatan sebanyak 260 juta jiwa, bisa menjadi BUMN (Badan Usaha Milik Negara) yang sangat besar, dan memberi keuntungan. Tahun 2017 pemerintah memberi iuran PBI (subsidi premi) sebesar Rp 25,3 trilyun, untuk 92,3 juta jiwa masyarakat miskin. Selama empat tahun (2015 sampai 2018) BPJS menyerap iuran sebesar Rp 234,06 trilyun.
Hutang yang makin menggunung, bisa menyumbat layanan kesehatan. Sehingga diperlukan perbaikan, terutama manajemen kontrol. Telah diterbitkan Peraturan Menteri Kesehatan tentang Pengenaan Urun Biaya dan Selisih Biaya dalam Program Jaminan Kesehatan. Diantaranya, keluarga pasien wajib urun sebesar 10% total biaya. Tapi harus dengan persetujuan. Rawat jalan juga dikenakan urunan. Yakni Rp 20 ribu pada RS kelas A dan B, serta urun Rp 10 ribu untuk RS kelas C, D, dan klinik.
Tetapi kontrol layanan kesehatan juga diamanatkan UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. UU Kedokteran pada pasal 49 ayat (1) menyatakan: “Setiap dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran atau kedokteran gigi wajib menyelenggarakan kendali mutu dan kendali biaya.” Kecurangan kerja, bisa terjadi pada berbagai profesi. Termasuk mark-up harga layanan kesehatan.

——— 000 ———

Rate this article!
Urun Biaya BPJS,5 / 5 ( 1votes )
Tags: