Wacana Usulan Amandemen UUD 1945 Terkait PPHN

Belakangan ini, wacana untuk menghentikan usulan amendemen UUD 1945 demi mengatur wewenang MPR RI lewat Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) semakin santer menjadi perdebatan di ranah jagad perpolitikan tanah air. Usulan tersebut, muncul seiring menyusulnya pasca wacana amendemen penundaan Pemilu 2024 dan perpanjangan masa jabatan presiden yang kali pertama di usulkan oleh salah satu ketua umum partai politik di parlemen. Melihat realitas yang demikian, tidak sedikit pula perhatian publik tersita di wacana tersebut. Alhasil, polemik diseputaran usulan amandemen UUD 1945 itupun tidak bisa terelakkan.

Sejatinya, perdebatan usulan amandemen UUD 1945 secara teknis di parlemen tidak mesti harus terjadi jika semua pihak memahami bahwa UUD NRI 1945 Pasal 37 ayat (1), (2), (3) & (4) yang berlaku semenjak 2002 sudah mengatur dengan jelas dan tegas soal rincian tata cara usulan perubahan terhadap UUD NRI 1945. Sehingga proses usulan amandemen harus jelas dan definitif termasuk materi yang ingin diamandemen. Berbeda dengan hasil UUD 1945 sebelum perubahan memang tidak mengatur secara rinci dan tegas soal tata cara perubahan terhadap UUD. Regulasi itulah, yang mestinya tercermati secara detail agar kontroversi ini tidak berlanjut.

Itu artinya, saat merujuk dari UUD NRI 1945 Pasal 37 ayat (1), (2), (3) & (4) yang berlaku semenjak 2002, maka logikanya proses usulan amandemen harus jelas dan definitif termasuk materi yang ingin diamandemen. Sehingga, berpotensi mampu menutup celah hadirnya agenda yang disusupkan. Meskipun, sejatinya bisa dipastikan masih ada saja banyak pihak khawatir ada ‘penumpang gelap’ yang ingin mengembalikan Indonesia ke zaman ‘pra Reformasi’.

Selebihnya, ada yang perlu diingat bahwa perubahan konstitusi haruslah didasarkan pada pandangan dan visi serta misi bangsa Indonesia untuk kedepannya dan bukan didisain untuk kepentingan kelompok apalagi perseorangan, sehingga dengan begitu amendemen tidak perlu dilakukan terburu-buru. Jika pun terpaksa, amendemen dilakukan maka perlu melibatkan partisipasi publik.

Ani Sri Rahayu
Dosen Civic Hukum Universitas Muhammadiyah Malang

Tags: