Oleh :
Anjrah Lelono Broto
Warkah Pagi
Sembari menyeduhkan secangkir peluk matahari
di waktu pagi menulis kisah-kisah perpisahan
rembang malam dan pertemuan dengan rentang siang
“engkaukah itu? engkaukah itu yang tiupkan sedu
dicerai mimpi lalu tergesa mencuci botol susu
anak-anakmu?”
peluk di dasar cangkir pun menjemput dingin
matahari pun meremaja cahayanya
tak jua pecah suara untuk jawab diingin
hanya rumputan bersahaja senantiasa membaca
dan menuturkan ulang pada angin
tentang ayah-ayah yang menjadi bunda.
(Mojokerto, 2021)
Di Kening Pernikahan Seyogyanya Ciuman Diprasastikan
di kening pernikahan masa pertama
lingga berjuang menjadi suami
yoni tanpa disadari menjadi istri
kisah-kisah haus di padang gersang
pun lunas dituntaskan
namun di kening pernikahan masa ke sekian
perabuan demi perabuan adalah pemandangan
serapah dan tangis pecah dikidungkan
menjadi kisah yang tak bijak diviralkan
meski selalu ada pelajaran
seyogyanya di kening pernikahan
bermasa ciuman diprasastikan
takkan ada luka dan dilukakan
sayang, ciuman
sebagaimana apa masih berjalan
dari premis ke premis tanpa terang kapan
menjelma simpulan
(Mojokerto, 2021)
Perjalanan Membaca
perjalanannya diakrabi dengan membaca
sajak-sajak lelakinya salma karami
lantas ia pun berkali santun mengangguk
pada tegur angin di antara ranting cedar
jujur ia akui, sajak-sajak lelakinya sri ajati
pun dibacanya tak hanya sekali
sebab pelajaran membaca di sini, diawali
jatuh butiran di pasir waktu adalah saksi
perjalanannya dihamili sajak-sajak lelakinya lili
sampai sajak-sajak lelakinya kara khatoon paksa henti
sejenak merangkai perjalanan berpuisi
Mungkin, ia lelah
membaca perempuan yang dipuisikan
(Mojokerto, 2021)
Sujud Garis
pinangan itu akan datang,
akan datang,
akan datang pada kalanya
jikalau tak kunjung datang
mari berterima dengan garisNya
sebab masih ada lain kehidupan
(Mojokerto, 2021)
Menanti Pengakuan dengan Dungu
serupa pengakuan yang melintas sekejap
datang lalu pergi pada waktu sepersekian
terlalu dungu jika jarum jam berputar lalu lindap
di antara lalang orang yang hanya bisa menatap
serupa pengakuan yang disimpan
pada bejana di atas para-para rumah diri
membiarnya berdebu adalah ritus kedunguan
yang kali ke sekian dilaku lalang orang
mungkinkah kita menanti dengan dungu
hingga pengakuan hanya sebatas keterserupaan
tanpa kekasih, tanpa Tuhan
(Mojokerto, 2021)
Gerbang Rahara
tak syak lagi, takkan lama lagi, akan kau masuki
gerbang rahara dengan telinga kami yang tuli
dengar suara denyut nadimu berkecapi
tamparlah kami, tinjulah kami sekuat hati
agar mata kami yang memandangmu sebagai bayi
belasan tombak dari gerbang rahara berhenti
masih kami dibalut takut, kuatkah nanti
gerbang rahara menelanmu dan kami dilanun sepi
(Mojokerto, 2021)
Tentangt Penulis :
Anjrah Lelono Broto, Aktif menulis esai, cerpen, serta puisi di sejumlah media massa. Beberapa puisinya masuk dalam buku antologi bersama Pasewakan (Kongres Sastra Jawa III, 2011), Malam Seribu Bulan (antologi puisi Dewan Kesenian Kabupaten Mojokerto, 2015), Margasatwa Indonesia (Lumbung Puisi IV, 2016), Klungkung Dalam Puisi (Dewan Kesenian Klungkung, 2016), Kunanti di Kampar Kiri (Hari Puisi Indonesia-HPI Riau, 2018), When The Days Were Raining (Banjarbaru’s Rainy Day Literary Festival 2019), dll. Karya tunggalnya adalah Esem Ligan Randha Jombang (antologi geguritan, 2010), Emak, Sayak, Lan Hem Kothak-Kothak (antologi cerkak, 2015), “Nampan Pencakan (Himpunan Puisi, 2017), Permintaan Hujan Jingga (antologi puisi, 2019), dan Kontra Diksi Laporan Terkini (antologi puisi, 2020). Terundang dalam agenda Kongres Bahasa Jawa VI (2016), Muktamar Sastra (2018), Kongres Budaya Jawa (2018), dan Musyawarah Nasional Sastrawan Indonesia III (2020). Karya naskah teaternya “Nyonya Cayo” meraih nominasi dalam Sayembara Naskah Lakon DKJT 2018. Sekarang bergiat di Lingkar Studi Sastra Setrawulan (LISSTRA).
———— *** ————-