Waspada Hujan “Susulan”

Foto Ilustrasi

Hujan “susulan” pada musim kemarau, bagai mengiringi bulan Ramadhan sampai arus balik lebaran. Pada sebagian kawasan dimanfaatkan sebagai berkah bercocok tanam. Namun pada pada kawasan lingkungan yang buruk mengakibatkan banjir banding disertai tanah longsor. Masih banyak kawasan perbukitan gundul, berpotensi longsor menimbun permukiman. Sawah ladang juga tertutup material (tanah dan batu) yang luruh dari gunung.
Hujan susulan yang mengguyur Banyuwangi (Jawa Timur) telah menyebabkan banjir bandang, sekaligus membawa sedimen pekat. Punggung dan lereng gunung Raung yang gundul, tergerus hujan. Meluruhkan lumpur pekat (dan batang pohon yang tumbang ke ladang, aliran sungai, sampai ke pemukiman. Jalan propinsi poros Jember – Singojuruh (Banyuwangi) terputus, karena terendam lumpur tebal. Tragedi serupa pernah terjadi di Jember (3 Januari 2006) menyebabkan banyak korban jiwa.
Tercatat sebanyak 103 korban jiwa. Saat itu masih dalam suasana tahun baru, bertepatan dengan puncak musim hujan. Batu-batu besar (sampai seukuran rumah tipe 21) luruh ke perkampungan, menerjang rumah. Banyak ditemukan korban jiwa tertimbun lumpur, di dalam rumah, hanyut di sungai, sampai terbawa ke ladang. Kawasan terdampak paling parah di kecamatan Panti. Ironisnya, kawasan ini bersebelahan dengan area perusahaan perkebunan (BUMN).
Seluruh dunia menengok Jember. Sejak zaman penjajahan, Jember memiliki hamparan perkebunan paling luas di Jawa Timur. Pada era ttahun 2000-an, perkebunan dimiliki oleh Pemerintah Kabupaten, Pemerintah Propinsi, sampai BUMN (Badan Usaha Milik Negara), dan swasta nasional. Sebagian juga menjadi area wisata alam sangat populer (misalnya Pemandian Kebonagung, dan Rembangan). Pantainya (Puger, dan Papuma) juga sangat elok.
Nampaknya, usaha perkebunan tidak disertai analisis dampak lingkungan yang memadai. Lereng (dan punggung) perbukitan diubah menjadi hamparan kebun teh, dan kopi. Serta tanaman semusim, dan produksi kayu. Hanya sebagian (kecil) areal dijadikan hutan karet. Sehingga kawasan catchment area (area resapan air) kekurangan pohon tegakan abadi. Daya dukung lingkungan merosot. Menjadi tanah genting, rawan longsor.
Dampak lingkungan yang pedih (banjir disertai tanah longsor), juga terjadi do Ponorogo (akhir Maret 2017 lalu). Menyebabkan 60 orang korban jiwa. Musibah longsor catchment disebabkan kawasan perbukitan telah berubah menjadi ladang jahe. Kawasan resapan air hujan yang telah gundul, bukan hanya menyebabkan longsor di lokasi setempat. Melainkan juga meluncurkan (dengan deras) air hujan beserta sedimen longsoran ke daerah bawah, bagai air bah mengguyur aliran sungai.
BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) mencatat, setidaknya terdapat 315 kabupaten dan kota berada di daerah bahaya. Ini meng-akibatkan sekitar 63,7 juta jiwa penduduk berisiko terpapar dampak banjir. Berdasar mapping kebencanaan, tanah longsor mengancam 274 kabupaten. Sebanyak 40 juta lebih penduduk berisiko terpapar dampak longsor. Terutama di daerah rawan, kawasan perbukitan, di-identifikasi sebagai kawasan genting.
Di Jawa Timur, terdapat kawasan genting yang tersebar di ujung barat. Kawasan ini pada ranah politik dikenal sebagai Dapil (Daerah Pemilihan) tujuh. Ke-genting-an nampak di kabupaten Ponorogo, Trenggalek, Magetan, dan Pacitan. Selain Dapil VII, kawasan genting yang lain terdapat di Dapil II (Jember dan Lumajang), serta Dapil III (Banyuwangi, Situbondo, dan Bondowoso). Saat ini, kawasan genting juga nampak di Madura.
Seyogianya, anggota DPRD Propinsi Jawa Timur, dan DPR-RI dari Dapil yang genting, “memperjuangkan” wilayahnya. Patut mendesak pemerintah menggiatkan program sistemik penanganan dan pencegahan longsor. Sesungguhnya bencana tidak pernah datang tiba-tiba, melainkan dengan pertanda alamiah. Hujan yang tidak terserap bagai mencongkel kawasan gundul, luruh deras menimpa permukiman.
——— 000 ———

Rate this article!
Tags: