30 Persen Caleg Terpilih Berkat Uang dan Populariras

Jakarta, Bhirawa
Money politics dalam Pileg 9 April lalu, ditengarai bukannya merombak wajah DPR menjadi lebih baik. Tetapi justru akan lebih buruk dibanding DPR saat ini. Pasalnya, keterpilihan anggota DPR sekarang ini, lebih banyak ditentukan oleh berapa banyak uang ditebar atau popularitas saja. Bukan oleh kualitas dan integritas Caleg. Tidak jarang, yang berkualitas dan berintegritas tinggi, justru gagal terpilih.
Misalnya, Sidarto Danusubroto Ketua MPR RI, Amir Syamsoedin Menteri Hukum dan HAM, Roy Suryo Menteri Pemuda dan Olahraga, La Ode Ida Wakil Ketua DPD RI. Mereka orang orang berintegritas yang tidak terpilih alias gak katut dalam Pileg 2014.
“Tragisnya kondisi Pemilu semacam ini terus berlangsung, tanpa upaya berarti untuk dibenahi dan diperbaiki. Padahal pendewasaan demokrasi menuntut kejujuran dan keadilan (Jurdil) dalam penyelengga raan Pemilu. Mengatasi kebobrokan ini perlu dibuat aturan atau UU yang bisa membendung perilaku buruk seperti ini,” cetus Dosen Fisip UIN Syarif Hidayatullah Andar Nubowo dalam diskusi di DPD RI. Dengan tema “Peta Politik di Senayan Pasca Pileg 9 April 2014”. Hadir sebagai pembicara, Ahmad Najib Burhani dari LIPI dan Ahmad Jajuli anggota DPD RI.
Menurut Andar Nubowo, dari suatu penelitian, sebanyak 30% Caleg yang terpilih merupakan orang yang hanya punya banyak uang atau popularitas. Caleg terpilih tersebut pada umumnya tidak memiliki pengetahuan yang cukup untuk menjalankan fungsi-fungsi DPR. Mereka tidak memiliki kompetensi yang dibutuhkan sebagai wakil rakyat untuk memperjuangkan kepentingan konsituennya. Maka bisa ditebak, kinerja DPR 2014 bakal tidak jauh beda dengan DPR sebelumnya, atau lebih buruk lagi.
“Mengatasi semua hal tersebut, pendekatan kebudayaan dan kearifan lokal perlu digelorakan. Yakni dengan melibatkan pemangku agama, adat istiadat, dan nilai-nilai kearifan lokal. Juga memperkuat tindakan nonformal dalam resolusi konflik, dengan aturan yang jelas. Supaya ada legitimasi hukum yang mengikat dan permanen, ” jelas Nubowo
Ahmad Najib dari LIPI menyoroti adanya manifesto politik salah satu Capres, yang bisa merongrong keber lanjutan keutuhan NKRI dan dasar negara Pancasila. Manifesto yang ber bunyi “Negara juga dituntut untuk menjamin kemurnian ajaran agama yang diakui Negara dari segala bentuk penistaan dan penyelewengan dari ajaran agama”. Hal tersebut bisa diartikan, negara wajib mengatur warga dalam menjalankan ibadah agamanya.
“Indonesia negara yang dijalankan berdasarkan landasan hukum. Bukan negara yang dijalankan berdasarkan agama, seperti Iran. Pancasila yang menjadi dasar negara kita, sudah menjadi alat pemersatu bangsa, dan payung bagi semua warga negara. Tidak boleh lagi ada manifesto atau sejenisnya yang mengkaburkan arti Pancasila,” tandas Ahmad Najib.
Dia mengingatkan pembuat manifesto perjuangan, bahwa konseku ensi dari manifesto tersebut akan membuat negara makin terlibat dalam hidup ke agamaan warganya. Negara akan menjadi hakim dalam penentuan keyakinan keagamaan seseorang. Hal seperti ini hanya berlaku di negara Agama. Sedang Indonesia adalah Negara Hukum, bukan Negara Agama seperti Iran. [ira]

Tags: