80% Anak Berhadapan dengan Hukum di Jatim

Kabid Perlindungan Perempuan dan Anak DP3AK Provinsi Jatim, Drs Herawanti Ananda MSi, saat membuka acara sosialisasi di Hotel Grand Mercure Surabaya.

Akibat Pornografi dan Narkoba
Surabaya, Bhirawa
Sebanyak 80 persen anak yang berhadapan dengan hukum di Jatim akibat kesandung masalah pornografi dan narkoba. Untuk itu, Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Kependudukan (DP3AK) Provinsi Jatim meminta kepada orang tua agar lebih memberikan pengawasan yang ketat pada anaknya.
Kepala Bidang Perlindungan Perempuan dan Anak (DP3AK) Jatim, Drs Herawanti Ananda MSi, mewakili Kepala DP3AK Provinsi Jatim Dr Rahayu SH MSi menuturkan, Pemprov Jatim melalui DP3AK Jatim telah melakukan berbagai pencegahan agar anak tidak berhadapan dengan hukum. Diantaranya mengajak kabupaten/kota untuk memberikan pengetahuan mengenai bagaimana agar anak tidak berhadapan dengan hukum.
“Kami selalu mengajak kabupaten/kota karena yang punya masyarakat. Misalnya memberikan pengetahuan mengenai bahaya narkoba, pornografi dan radikalisme,” ujar Ananda, saat membuka Sosialisasi Kebijakan Perlindungan Anak Berhadapan dengan Hukum Bagi Tokoh Agama, Tokoh Masyarakat, Tokoh Adat dan Pemerintah Daerah di Provinsi Jatim, di Hotel Grand Mercure Surabaya, Selasa (30/7).
Selain mengajak kabupaten/kota, DP3AK Jatim juga melakukan penguatan pada keluarga. Menurut Ananda, penguatan keluarga ini sangat penting agar anak mengetahui mana yang boleh dan mana yang tidak boleh dilakukan. Jika dilanggar akan berhadapan dengan hukum.
“Saat anak berhadapan dengan hukum, memang bisa dilakukan difersi atau pengampunan hukum antara pelaku dengan korban. Tapi jika korban atau keluarga korban tidak mau melakukan difersi, anak terpaksa menjadi binaan negara,” ujarnya.
Saat ini, lanjut Ananda, anak yang berhadapan dengan hukum yang dibina di Lembaga Pendidikan Khusus Anak (LPKA) di Kota Blitar sebanyak 300 lebih anak. Dari jumlah itu 80 persen anak kesandung masalah pornografi dan narkoba.
“Kasus pornografi akibat pengaruh media sosial dan media massa jumlahnya sangat banyak. Pemberitaan di media massa yang masih vulgar memunculkan anak penasaran dan ingin tahu. Saat orang tua gagal melakukan pencegahan rasa keingintahuan itu, anak akhirnya akan melanggar norma-norma agama seperti pemerkosaan, pelecehan dan pencabulan,” tuturnya.
Jika anak sudah berhadapan dengan hukum, kata Ananda, saat dia sudah kembali ke masyarakata stigma negatif itu tetap akan melekat. Padahal anak mempunyai hak yang sama untuk berkehidupan sosial yang sama. “Untuk itu, kami berterima kasih kepada Kementerian Pemberdayaan dan Perlindungan Anak yang mengadakan sosialisasi di Jatim. Ini adalah salah satu cara untuk melakukan pencegahan agar anak tidak berhadapan dengan hukum,” pungkasnya.
Sementara itu, Asisten Deputi Perlindungan Anak Berhadapan dengan Hukum dan Stigmatisasi Kementerian Pemberdayaan dan Perlindungan Anak, Hasan, dalam kesempatan tersebut mengatakan, tren anak yang berhadapan dengan hukum jumlahnya terus naik. Pada 2018 lalu, jumlahnya mencapai 2.400 anak di Indonesia yang terjerat kasus masalah hukum.
“Di Jatim juga trennya naik. Berbagai jenis kasus yang dihadapi anak-anak. Paling banyak karena pengaruh pornografi seperti kekerasan seksual, pelecehan seksual, pencabulan hingga pemerkosaan. Lalu disusul narkoba dan criminal-kriminal lainnya,” ujar Hasan.
Penyebab naiknya tren anak yang berhadapan dengan hukum karena pengaruh lingkungan yang tidak baik, faktor pendidikan dan faktor orang tua yang tidak peduli terhadap anaknya. “Makanya tugas kami adalah melakukan pencegahan agar anak-anak tidak berhadapan dengan hukum. Salah satunya melakukan sosialisasi, melakukan difersi agar anak tidak sampai berperkara hukum,” tandasnya. [iib]

Tags: