Ada yang Menyebut Bung Karno Lahir di Ploso, karena Masuk Distrik Surabaya

Pagar dan pintu gerbang bekas bangunan Sekolah Rakyat (SR) di Ploso, Jombang. Di tempat ini diperkirakan R Soekeni Sosrodihardjo, ayahanda Bung Karno menjadi Mantri Guru. [Arif Yulianto]

Menggali Sejarah Bung Karno di Jombang (bagian – habis)
Kab Jombang, Bhirawa
Kabupaten Jombang, khususnya Kecamatan Ploso yang berada di utara Sungai Brantas, memiliki hubungan historis dengan Presiden pertama Republik Indonesia, Ir Soekarno atau Bung Karno. Selain rumah Bung Karno yang berada di Dusun Rejoagung Gang Buntu, Desa Rejoagung, Ploso juga ada bangunan sejarah lainnya yang erat hubungannya dengan Bung Karno.
Salah satu bangunan sejarah itu adalah bangunan Sekolah Rakyat (SR) yang jaraknya kurang lebih 200 meter dari rumah Bung Karno. “Saat tinggal di Ploso, ayah Bung Karno dulu katanya mengajar di sekolah rakyat itu,” kata Khoirul, orang yang merawat lahan bekas rumah tinggal Bung Karno di Dusun Rejoagung Gang Buntu, yang sekarang menjadi milik almarhum Solikan ini.
Menurut sejarawan Jombang, Dian Soekarno, sebelum menjadi seorang Mantri Guru atau Kepala Sekolah di SD Ploso (dulu SR), ayah Bung Karno, R Soekeni Sosrodihardjo pertama diangkat menjadi Mantri Guru di Kraksaan, Probolinggo. Kemudian oleh pemerintah kolonial belanda, dipindah ke Singaraja, Bali.
Di Bali inilah R Soekeni bertemu dan menikah dengan Ida Ayu Nyoman Ray Srimben yang merupakan keturunan Raja Buleleng, Bali. Kakak Bung Karno yang bernama Soekarmini dilahirkan di Bali. Kemudian saat Ida Ayu Nyoman Ray Srimben hamil tua mengandung Soekarno, terjadi kejadian yang di luar logika. “Ketika kapal yang membawa Bu Ida Ayu yang membawa Soekarmini, tiba-tiba kapalnya mendadak terjadi kerusakan mesin,” tutur Dian Soekarno, Senin (24/6).
Karena waktu itu masih kental nuansa spritual, kemudian beber Dian Sukarno, nahkoda kapal mendatangi pemuka agama di Bali untuk menanyakan sebab musabab terjadinya kejadian diluar nalar tersebut. “Kemudian dilihat, ternyata ada penumpang yang bukan keturunan orang sembarangan dan harus dilepas secara adat dengan upacara dan didoa’i agar kapal bisa berangkat,” tuturnya.
Akhirnya nahkoda kapal menyerahkan sepenuhnya kepada pemuka agama Bali dan kapal tersebut pun dilepas dengan upacara adat, akhirnya kapal pun bisa berangkat. Apa yang disampaikan Dian Sukarno, kata dia, juga dikuatkan cerita dari Peter Apolonius Rohi, seorang sejahrawan Sumba, Nusa Tenggara Timur dan sejahrawan Bali, Nyoman Suka.
“Kemudian sampailah (Ida Ayu Nyoman Ray dan rombongan) di Surabaya di Peneleh, gangnya dekat rumah HOS Cokroaminoto. Tidak lama tinggal di situ sebenarnya, kalau tidak salah, enam bulanan. Baru kemudian di pindah ke Ploso (Jombang), kemudian ke Mojokerto,” kata Dian Soekarno.
Kemudian R Soekeni pindah dari Surabaya ke Ploso (Jombang) pada sekitar tahun 1901. Diceritakan Dian Soekarno, R Soekeni juga memiliki kedekatan dengan tokoh-tokoh pergerakan seperti HOS Cokroaminoto. Kebetulan, Kyai Abdul Muchti, ayah Kyai Mochtar Muchti, pemimpin Thoriqot Shiddiqiyah, Ploso, Jombang, merupakan pengurus Syarekat Islam. Selain Kyai Abdul Muchti yang merupakan juragan tembakau, istri Kyai Abdul Muchti juga mengajar membatik. Cerita inilah yang melatarbelakangi interaksi antara Ida Ayu Nyoman Ray Srimben dengan istri Kyai Abdul Muchti.
“Diduga disitulah (Ploso, Jombang), Bung Karno lahir, karena Ploso (saat itu, red) adalah bagian dari Distrik Surabaya. Mengenai hal ini, saya juga sangat berhati-hati, karena belum saya temukan data yang sangat kuat untuk mendukung itu, walaupun ada ahli yang sudah mendapatkan datanya,” kata Dian Sukarno lagi.
Seperti yang disampaikan Kushartono dari keluarga Situs Persada Soekarno, Ndalem Pojok, Wates, Kediri kepada media ini sebelumnya, saat tinggal di Ploso inilah Koesno Sosrodihardjo pernah sakit keras. Sementara Dian Sukarno bahkan menyebutkan, saat menderita sakit, Koesno bahkan sempat mati suri. Karena saat itu tempat pengobatan masih sangat sulit ditemukan, maka dicarikanlah tabib untuk mengobati Koesno.
“Oleh penduduk setempat, Raden Soekeni dikenalkan dengan seorang tabib yang bernama Den Mas Mendung. Ternyata Den Mas Mendung ini adalah Raden Soerati Soemosewoyo yang akhirnya menjadi ayah angkatnya Bung Karno, karena Raden Mas Soerati Soemosewoyo ini adalah sepupu dari Raden Soekeni Sosrodihardjo,” terang Dian Sukarno.
Kemudian oleh Den Mas Mendung, Koesno pun dibawa ke Kediri untuk diobati di sana. Belakangan, tempat Koesno diobati di Kediri itu dikenal menjadi Ndalem Pojok, Wates, Kediri. Dian Sukarno menambahkan, ide untuk mengganti nama Koesno menjadi Soekarno sudah terbesit saat masih di Ploso, namun proses realisasinya terjadi di Ndalem Pojok, Wates, Kediri. Bung Karno kecil dikatakan Dian Sukarno, tinggal di Ploso, Jombang dan bolak balik Ploso-Kediri sekitar enam tahunan. “Kemudian pindahlah (R Soekeni) di Jalan Residen Pamudji, Mojokerto,” imbuhnya.
Selain itu, bekas bangunan Stasiun Kereta Api Ploso yang saat ini telah berubah fungsi menjadi sebuah toko dan rumah makan juga memiliki sejarah terkait eksistensi Soekarno di Ploso, Jombang. Stasiun inilah yang sering menjadi tempat R Soekeni maupun Soekarno kecil naik dan turun kereta api dari Kediri ke Jombang maupun sebaliknya. Dulu, terdapat jalur kereta api lama yang menghubungkan Babat (Lamongan)-Jombang-Kandangan (Kediri)-Malang.
Hubungan historis Bung Karno di Jombang juga tidak sekedar dengan bangunan-bangunan bersejarah, sejumlah tokoh dan ulama Jombang juga diceritakan memiliki hubungan sejarah dengan Bung Karno. Salah satunya yakni, Mas Kyai Soero Sentono, penasehat spiritual Bung Karno saat tinggal di Jogjakarta. “Bung Karno pernah menjemput langsung Mas Kyai Soero Sentono di rumah di Jalan Juanda, dulu Jalan Sencaki. Lewat rel kereta api depan RSUD Jombang (sekarang),” tambahnya.
Diceritakannya pula, Bung Karno juga memiliki kedekatan dengan KH Wahab Hasbullah (Mbah Wahab), inisiator dan pendiri Nahdlatul Ulama (NU). Mbah Wahab yang juga pendiri Pondok Pesantren (Ponpes) Bahrul Ulum, Tambak Beras, Jombang itu bahkan pernah membela Bung Karno saat terjadi pertentangan besar partai politik era pemerintahan Soekarno pada sekitar tahun 1950-an. Mbah Wahab menyebut kepala negara saat itu yakni Bung Karno dengan sebutan Waliyyul Amri Dharuri Bissyaukah (Pemegang kekuasaan negara darurat). [Arif Yulianto]

Tags: