Adopsi Inovasi

Mahathir M IqbalOleh
Mahathir M Iqbal
Dosen Ilmu Pemerintahan Universitas Islam Raden Rahmat Malang

Rencana meregulasi inovasi oleh Kemendagri bisa tak sejalan dengan sifat dasar munculnya terobosan dan replikasinya. Semangat inovasi di daerah tak terbendung meski daerah sering disalahkan atas berbagai tuduhan “otonomi kebablasan”. Merujuk data Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB), dalam kurun tiga tahun (2014-2016) penyelenggaraan kompetisi inovasi pelayanan publik, telah teridentifikasi ribuan inisiatif cerdas daerah, kementerian, lembaga, dan BUMN. Pada 2016 tercatat 2.476 inovasi terdaftar dalam kompetisi.
Menurut hasil kajian inovasi yang dilakukan Kementerian PAN-RB, dari ribuan inovasi itu, setidaknya 52 inovasi daerah dan pusat layak untuk direplikasi. Seluruh inovasi terseleksi itu terdiri atas terobosan dalam pelayanan dasar (kesehatan, pendidikan, dan kependudukan),
pelayanan perekonomian (perizinan, infrastruktur, dan transportasi), dan lainnya (peningkatan kinerja dan tata kelola). Menariknya, 38 inovasi (73 persen) merupakan hasil kreasi kabupaten, kota, dan provinsi (daerah).
Dalam praktik pemerintahan sehari-hari, replikasi sebenarnya merupakan kegiatan yang biasa dilakukan daerah. Biasanya, saat satu daerah berhasil melakukan terobosan, kemudian informasi tersebar, daerah lain berbondong-bondong melakukan studi banding.Tujuannya, daerah mengetahui secara langsung inovasi tersebut untuk kemudian menirunya.
Sayang, banyak cerita miring yang beredar dari praktik replikasi sporadis seperti itu. Rombongan studi banding biasanya hanya “belajar” sekitar dua jam, berdialog, dan melakukan observasi di lokasi inovasi yang dituju. Sebagian besar sisa waktunya justru digunakan untuk tujuan yang tak relevan seperti berwisata atau bertemu kolega dan sanak saudara.
Makanya, untuk mendorong praktik replikasi yang “cerdas” dan efektif, daerah perlu melakukannya dengan terencana, sistematis, dan berorientasi hasil dan dampak. Beberapa kriteria dan model replikasi telah dikembangkan oleh sejumlah institusi internasional. Di Indonesia, inisiasi model tersebut tengah dikembangkan Kementerian PAN-RB.
The Jawa Pos Institute of Pro-Otonomi (JPIP) sejak 2006 mengembangkan kajian awal adopsi inovasi melalui penetapan kriteria replikasi. Kajian atas berbagai literatur akademik dan praktis terkait transfer kebijakan (replikasi) menghasilkan empat kriteria pemilihan inovasi yang akan diadopsi. JPIP menyebutnya dengan singkatan MK3 (manfaat, kompatibilitas, kompleksitas, dan kebijakan).
Manfaat merujuk pada kajian keuntungan relatif dari inovasi yang akan diadopsi bila dibandingkan dengan praktik pemerintahan sejenis yang selama ini dijalankan. Daerah pengadopsi bisa mengukur manfaat mikro dan makro apa yang sekiranya didapat dengan mengimplementasikan inovasi yang akan ditiru. Analisis manfaat biasanya disandingkan dengan analisis biaya yang dikeluarkan. Khususnya, manfaat dan biaya untuk pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat.
Kompatibilitas menilai seberapa cocok inovasi yang akan direplikasi dengan kondisi dan situasi yang akan diadopsi. Beberapa indikator seperti budaya masyarakat dan aparatur, etos kerja, infrastruktur, serta lingkungan fisik dan sosial daerah pengadopsi bisa diukur tingkat harmonisasinya dengan inovasi. Dengan demikian, bisa diputuskan, semakin tinggi tingkat kecocokan, kemungkinan keberhasilan replikasi inovasi semakin baik.
Kompleksitas menunjukkan tingkat kerumitan inovasi yang akan direplikasi. Meskipun, prinsip inovasi, terutama dalam pelayanan publik, biasanya semakin menyederhanakan dan memudahkan prosedur, alat, dan berkas. Namun, tak ada salahnya daerah memahami kemampuannya, apakah sebuah inovasi yang akan diadopsi itu terlalu pelik untuk diadopsi atau tidak.
Kebijakan merujuk pada regulasi-regulasi sebelumnya yang berlaku di daerah pengadopsi. Sebelum replikasi dijalankan, perlu dilakukan kajian hukum, adakah peraturan yang berlaku di daerah maupun nasional yang bertentangan dengan inovasi yang akan direplikasi. Sebaliknya, bila ditemukan, regulasi yang mendukung dijadikan sebagai penguat replikasi. Bagi pemerintah, keabsahan hukum tentu penting agar inovasi dinilai bukan hanya layak secara teknis, tapi legal pula.
Selain JPIP, Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (Apeksi) bersama GIZ Jerman telah mengembangkan delapan langkah transfer inovasi pelayanan publik. Ada dua tahap transfer yang bisa diterapkan. Yaitu, tahap persiapan berupa aktivitas analisis kebutuhan, pemetaan kondisi daerah dan praktik baik, pemetaan pemangku kepentingan, dan membangun koneksi dengan daerah asal inovasi. Tahap berikutnya adalah pembentukan kelompok kerja, proses pembelajaran, dokumentasi proses pembelajaran, serta monitoring dan evaluasi.
Meski tampak rumit dan bertele-tele, kriteria dan langkah-langkah tersebut sangat penting untuk diperhatikan dan diikuti. Selain akan mendorong efektivitas pencapaian tujuan replikasi, memperhatikan model adopsi itu akan mengoptimalkan manfaat yang akan didapat untuk pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha. Terlebih lagi, demi mengembalikan kepercayaan publik atas upaya-upaya replikasi sporadis yang dinilai cenderung menghabiskan anggaran tanpa manfaat optimal.
Sementara itu, draf rancangan peraturan pemerintah (RPP) tentang inovasi daerah mengakomodasi ketentuan replikasi inovasi dalam BAB VI tentang Diseminasi Inovasi Daerah. Pasal 29 menyebutkan, penerapan hasil inovasi yang berhasil akan disebarluaskan oleh Mendagri. Inovasi daerah yang dinilai bisa diterapkan berskala nasional akan ditetapkan sebagai kebijakan nasional. Sementara itu, inovasi daerah yang bersifat spesifik dan lokal hanya akan direkomendasikan sebagai lokasi rujukan belajar.
Kelemahan draf tersebut, yakni cenderung berseberangan dengan temuan dan pengalaman studi JPIP, lembaga riset lainnya, dan tentunya daerah. Bahwa, prinsip dasar replikasi sejatinya merupakan langkah terbuka dan bebas yang dilakukan antardaerah. Faktanya, daerah telah lama mempraktikkan proses replikasi secara mandiri meski memiliki sejumlah kelemahan.
Karena itu, pemerintah tidak perlu mengeluarkan regulasi yang seolah mewajibkan penerapan inovasi daerah secara nasional. Selain mengurangi derajat otonomi daerah, kebijakan seperti itu berpotensi menghambat proses belajar dan kerja sama antardaerah yang produktif. Daerah sebenarnya lebih membutuhkan fasilitas dan pedoman cerdas replikasi. Tujuannya, visi “kebajikan” inovasi untuk mendatangkan kebaikan dan kemajuan bersama daerah dan nasional bisa terwujud.
Selain itu, tidak bisa dihindari satu realitas bahwa replikasi inovasi daerah bukan semata domain Kemendagri. Kementerian teknis terkait mesti terlibat agar penyebaran virus positif inovasi bermanfaat bagi publik lebih luas. Selain berkolaborasi dengan Kementerian PAN-RB terkait inovasi pelayanan publik, inovasi daerah dalam bidang teknis tertentu, seperti kesehatan dan pendidikan, bisa disinergikan replikasinya bersama Kementerian Kesehatan dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Kementerian dan lembaga teknis lainnya bisa dilibatkan juga untuk replikasi inovasi-inovasi daerah lainnya.

                                                                                                   ——————- *** ——————

Rate this article!
Adopsi Inovasi,5 / 5 ( 1votes )
Tags: