Ahok dalam Persimpangan Hukum

Tika Mutiani

Tika Mutiani

Oleh:
Tika Mutiani
Secretary of Himasalju (Himpunan Mahasiswa Science, Law, and Judge) dan Mahasiswa Hukum Ekonomi Syariah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Walisanga Semarang

Polemik demi polemik tentang penista agama yang kian hari semakin memanas, kini semakin menjadi sorotan publik setelah Basuki Tjahaja Purnama atau yang kerap disapa Ahok telah dinyatakan sebagai tersangka. Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Gerindra, Wenny Warouw menyatakan bahwa keputusan kepolisian untuk menetapkan Ahok sebagai tersangka adalah langkah yang sudah tepat. Apalagi sudah diawali dengan demo-demo dari masyarakat, dan para penyidik menentukan dengan bukti yang ada, itu harus diproses secara hukum yang berlaku. Cuma, asal benar-benar jangan sampai di tengah jalan masyarakat bisa kecewa.
Wenny Warouw juga menambahkan bahwa beliau merasa heran mengapa Polri tidak langsung menahan Ahok setelah ditetapkan sebagai tersangka. Menurutnya, ulah Ahok telah memenuhi semua unsur pidana sehingga bisa langsung ditahan. Namun, itulah realitas yang ada di Indonesia saat ini.
Padahal, Indonesia adalah negara demokratis dan menjamin kebebasan beragama kepada semua warga negaranya. Pernyataan tersebut juga telah tercantum dalam konstitusi negara Indonesia. Konstitusi ini juga menetapkan bahwa negara Indonesia harus didasarkan pada keyakinan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal tersebut tertera dalam sila pertama Pancasila, yaitu filosofi negara Indonesia yang dinyatakan oleh presiden Soekarno pada 1 Juni 1945. Oleh sebab itu, Negara Indonesia telah diatur tentang kebebasan beragama di UUD 1945 Pasal 29 ayat 2, yang berbunyi “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu”. Oleh sebab itulah Indonesia memberikan kebebasan beragama dan toleransi terhadap berbagai agama yang ada.
Selain itu, Indonesia juga merupakan suatu negara yang besar yang terlahir atas dasar kemajemukan. Kemajemukan tersebut terdiri atas, daerah, budaya, suku, ras, bahasa, dan agama. Untuk merawat dan menjaga kemajemukan tersebut, Indonesia berpegang teguh dalam satu kesatuan dengan semboyan “Bhineka Tunggal Ika” yang berarti “beraneka ragam” atau berbeda-beda. Kata “neka” dalam bahasa Sanskerta berarti “macam” dan menjadi pembentuk kata “aneka” dalam Bahasa Indonesia. Kata tunggal berarti “satu”. Kata ika berarti “itu”. Secara berbeda-beda tetapi pada hakikatnya bangsa Indonesia tetap adalah satu kesatuan.
Untuk menjaga satu kesatuan tersebut negara melalui pemerintahan harus bisa menjamin dan bertanggung jawab agar terwujudnya keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia atas dasar kemajemukan. Siapapun yang dengan sengaja mengusik dan mencoba merusak suatu tatanan kemajemukan bangsa, maka negara harus bersikap tegas untuk memproses secara hukum dengan adil tanpa pandang bulu, dan yang pasti harus sesuai dengan aturan perundang-undangan yang berlaku.
Polemik tesebutlah yang heboh akhir-akhir ini, yaitu pemberitaan mengenai pernyataan kontroversional yang mewujudkan suatu penistaan agama. Isu tersebut menjadi perbincangan hangat di berbagai kalangan, dari mulai kalangan publik, media, agama, dan pakar hukum.
Kritik pedas ditujukan kepada Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang telah mengeluarkan pernyataan kontroversional yang menyinggung surat Al-Maidah ayat 51. Menurut ketua umum MUI KH Ma’ruf Amin, pernyataan Ahok yang menganggap kandungan surat tersebut adalah sebuah kebohongan itu hukumnya haram dan termasuk penodaan terhadap al-Qur’an.
“Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat 51 secara eksplisit berisi larangan menjadikan non Muslim sebagai pemimpin dan ulama wajib menyampaikan isi surat tersebut kepada umat Islam. Nah, Ahok menyatakan bohong terhadap ulama yang menyampaikan ayat-ayat al-Qur’an, itu merupakan penghinaan terhadap ulama dan al-Qur’an, sehingga ini memiliki konsekuensi hukum,” kata Ma’ruf dalam konperensi pers di Sekretariat MUI Jalan Proklamasi, Jakarta Pusat, (Suara Merdeka, 12/10/2016).
Dari polemik tersebut telah menuai banyak kontroversi dari berbagai umat Islam, khususnya di Indonesia. Walaupun beliau telah menyatakan permintaan maaf kepada seluruh umat Islam dan umat Islam telah menerima permintaan maaf tersebut. Namun, hukum harus tetap ditegakkan. Bagi siapapun yang melakukan pelanggaran hukum harus diproses sesuai hukum yang ada.
Oleh karena itulah muncul adanya Aksi Bela Islam Jilid II yang terjadi pada 4 November 2016 lalu. Aksi tersebut dilakukan oleh ratusan umat muslim yang merasa ayat al-Qur’an telah dinistakan Dan berharap agar pihak yang penista tersebut segera diusut kasusnya dan diberi sanksi sesuai hukum yang ada.
Dalam Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) telah jelas ditegaskan pada pasal 156 tentang penistaan atau penodaan agama. Yang menyatakan bahwa ” Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yaitu, pada bagian (a) menyatakan bahwa yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut Indonesia. Pada bagian (b), menyatakan bahwa dengan maksud agar orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa”
Dengan adanya undang-undang tersebut tentunya sudah jelas bahwa sang penista agama harus segera diberi sanksi sesuai hukum yang ada. Akan tetapi, ntah bagaimana dengan hukum yang ada di negara ini. Meskipun sekarang Ahok telah ditetapkan sebagai tersangka tapi dalam kenyataannya sampai sekarang hukum pidana belum dijalankan.
Sampai sekarang penista agama tersebut seakan justru diistimewakan. Bagaimana tidak, meski kini telah dinyatakan sebagai tersangka tapi penista tersebut masih bebas. Dan kabar yang baru-baru ini, penista tersebut tidak hadir dalam pemeriksaan polisi saat penetapan dirinya sebagai tersangka. Di rumah lembaga kawasan menteng, ia justru menyatakan “Saya minta kepada para pendukung datang ke TPS pada 15 Februari 2017 untuk memenangkan kami satu putaran,”(Liputan6/16/11/2016). Bahkan penetapan Ahok sebagai tersangka dianggap sebagian kalangan hanya untuk meredam Aksi Bela Islam Jilid III yang rencananya akan dilaksanakan pada 25 November.
Seharusnya dalam polemik seperti ini pemerintah dalam hal yang krusial mampu menghargai keberadaan dan aspirasi umat Islam sebagaimana mestinya. Sebab, hal ini menyangkut keberlangsungan umat yang berjasa besar kepada bangsa dan negara. Seharusnya jika perorangan atau kelompok-kelompok kecil saja yang dilayani, maka golongan yang besar juga harus lebih dihargai lagi keberadaannya. Apalagi bila menyangkut penyampaian aspirasi. Untuk itu, jangan hanya demi satu atau dua orang kemudian umat mayoritas terabaikan.
Selain itu, adanya polemik ini diharapkan bisa menggugah berbagai organisasi-organisasi dan semua elemen umat Islam dapat mengambil pelajaran berharga tentang pentingnya perluasan dakwah yang mencerahkan dan menebar kedamaian, toleransi, dan menjadikan Islam sebagai rahmatal lil alamin secara autentik.

                                                                                                                ———– *** ————-

Rate this article!
Tags: